27.8 C
Jakarta
Jumat, 13 Desember 2024

Istri Eks Napiter, dari Menjalani Hari Penuh Pengucilan hingga menjadi Agen Perdamaian

Pernahkah kita membayangkan, bagaimana kehidupan yang dijalani oleh seorang istri dari napiter eks terorisme? Bagaimana ia menjalani hari-harinya tanpa ada suami di sisinya? Bagaimana ia menghadapi pengucilan dan cibiran dari tetangga? Bahkan bagaimana ia menghadapi olok-olok dari kelompoknya sendiri manakala suaminya telah menyatakan bergabung dengan NKRI?

Jika kalian pernah bertanya-tanya soal itu, film documenter berjudul ‘Nurul Kholisoh Wife of Ex-Terrorist Prisoner’ dapat menjawabnya. Film ini disutradarai oleh Ani Erna Susanti, seorang mantan pekerja migran di Hong Kong yang kini bekerja di Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) sebuah wirausaha sosial yang menggunakan kreatifitas untuk mengembangkan Solusi terhadap isu-isu sosial, dan secara khusus berusaha memberikan narasi alternatif dari isu radikalisme.

Dalam film dokumenter ini, sosok Nurul tampil dengan pakaian syari, jilbab lebar, dan cadarnya. Namun, penampilan Nurul harusnya tidak menggeneralisir bahwa perempuan yang berjilbab lebar pastilah teroris. Nurul memang mengakui, sejak sebelum menikah ia da suami memang sudah terpapar kajian Islam garis keras yang mengantarkan mereka pada ekstremisme dalam beragama.

Ketika pada akhirnya suaminya yang menjadi pelaku teroris tertangkap polisi, hidupnya berubah 180°. Ia harus sendirian berjuang untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya yang masih kecil. Ia membuka toko plastik dan menjual berbagai pakaian. Selain itu kesulitan yang ia hadapi adalah pengucilan dari sebagian tetangganya. Tak jarang anaknya juga diejek sebab ayahnya dipenjara karena menjadi pelaku teroris.

Salah satu kawannya ada yang pernah mengambil jualan pakaian yang ia miliki. Mendengar kabar Nurul, ia memilih mengembalikan semua barang yang telah ia ambil. Ia tak mau berbisnis dengan Nurul lagi. Puncaknya adalah setelah suami Nurul melalui proses deradikalisasi dan menyatakan kembali bergabung dengan NKRI. Hujatan dan cacian ia terima dari kelompoknya. Ia dicap sebagai kafir dan cacian buruk lain.

Pada saat itulah, ia sadar. Keluarganyalah yang benar-benar ada untuk mendukungnya. Di saat teman-teman kelompoknya meninggalkannya, tetangga juga mengucilkannya, justru keluarganyalah yang senantiasa menerima Nurul dengan tangan terbuka. Hal ini menguatkan Nurul untuk kembali berdiri dan menghadapi hari-harinya. Ia melanjutkan aktivitasnya mencari nafkah lewat toko plastik yang ia miliki.

Jika saja keluarganya tak memberikan support untuknya, bisa jadi Nurul akan terombang-ambing selama masa deradikalisasi itu. Bahkan bisa jadi ia kembali bersama kelompoknya dan menjadi ekstremis lagi. Film ini setidaknya menunjukkan kepada kita, perlunya dukungan terhadap istri eks napiter terorisme. Bahwa mereka adalah manusia yang sama dengan kita, yang memiliki keluputan dan kesalahan. Mereka berhak untuk hidup layak bersama masyarakat.

Film lain yang memaparkan kehidupan istri mantan napiter terorisme berjudul ‘Boru Bawa Damai’. Film dokumentasi ini menceritakan tentang sosok Bu Kartini, suaminya pernah menjadi pelaku terorisme.
Film ini diangkat dari bagian riset Erin Gayatri, alumni Program Studi Agama dan Lintas Budaya pada The Center of Religious and Cross-cultural Studies (UGM) yang saat ini bekerja sebagai peneliti pada PSKP UGM. Film ini diawali dengan uraian fakta bahwa radikalisme agama dan terorisme telah menjadi persoalan serius yang terus menghantui kehidupan masyarakat Indonesia.

Ironisnya, akhir-akhir ini perempuan juga banyak terlibat dalam aksi-aksi terorisme atas nama agama. Namun demikian peran perempuan dalam pusaran radikalisme agama dan terorisme masih belum banyak mendapat perhatian. Menurut The Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) ada 39 perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme antara tahun 2009 sampai tahun 2021. Namun angka ini diambil hanya dari jumlah perempuan yang terlibat terorisme dan sudah menjalani proses hukum, tetapi sebenarnya di luar sana masih banyak perempuan yang sebenarnya terlibat dalam radikalisme dan terorisme tetapi belum menjalani proses hukum.

Bagian awal film ini memaparkan setidaknya ada lima kemungkinan seorang perempuan menjadi terorisme, yaitu pernikahan, penebusan dosa, balas dendam, belajar ilmu agama, dan peluang kesetaraan gender. Dengan menjadi pelaku terorisme, perempuan jadi punya kesempatan yang sama dengan laki-laki.
Namun demikian, perempuan sebenarnya punya peran yang sangat strategis untuk mencegah tindak terorisme dan melakukan deradikalisasi terhadap eks napiter terorisme. Bahkan hal ini dapat dilakukan oleh sosok perempuan yang pernah sangat radikal seperti Bu Kartini Panggabean.

Bu Kartini menikah dengan suaminya sekitar tahun 2000. Saat itu, ia dan suami telah terpapar paham radikal. Artinya, keduanya telah mengenal paham radikal sejak sebelum menikah. Bahkan, Bu Kartini mengenal konsep Negara Islam Indonesia (NII) dari kajian-kajian yang pernah ia ikuti sejak masih duduk di SMP. Saat SMA, ia tak mau hormat kepada bendera merah putih, sebab ia menganggap aktivitas itu haram.

Menurut Bu Kartini, paham teroris tidak mengenal tempat dan orang. Apakah itu di pondok pesantren, di sekolah umum, atau bahkan di masyarakat. Apakah ia seorang guru, murid, atau siapapun dapat terpapar paham terorisme. Suami Bu Kartini Bernama Ahmad Ghazali. Ia dikenal sebagai ideolog. Pernah mereka merantau ke Malaysia selama 10 tahun lamanya. Selama masa itu, keduanya sempat menyebarkan ideologi terorisme yang mereka yakini.

Menurut Kartini, ideologi terorisme memang susah untuk dihilangkan. Sebab, jika paham tersebut telah masuk ke dalam pikiran seseorang, orang tersebut akan menghayatinya sepanjang hidup dalam setiap perilakunya. Jika pun bisa hilang, proses yang harus dilakukan harus pelan-pelan dan bertahap.
Menurut pengakuan Bu Kartini, titik balik hidupnya terjadi setelah penangkapan suaminya beserta kawan-kawannya oleh polisi. Kartini sendiri juga sempat ditahan beberapa lama. Kartini sadar, ternyata perbuatannya selama ini berakibat buruk untuk dirinya dan keluarganya. Ia mengingat anak-anaknya yang masih kecil dan masih membutuhkan sosok ayah dan ibunya.

Sejak saat itulah, Kartini dan suaminya memilih berdamai dan bergabung dengan NKRI. Mereka mengabdikan diri sebagai seorang pendidik di Yayasan Pesantren Al Hidayah. Alasan Kartini terjun ke dunia pendidikan selain mengajak anak-anak untuk bersekolah, ia juga menganggap menjadi pendidik adalah salah satu cara untuk menyebarkan kebaikan yang buahnya dapat dipetik di dunia dan di akhirat nanti.

Kedua film di atas menunjukkan kepada kita, bahwa perempuan yang pernah terpapar ideologi teroris pun punya kesempatan untuk kembali membangun hidupnya dan bergabung dengan NKRI. Film di atas juga mengajarkan, sosok perempuan yang paling radikal sekalipun dapat menjadi agen perdamaian dan mengabdi kepada negeri. Film ini diharapkan mampu menggugah semua perempuan di luar sana yang pernah dan masih terjebak dalam lingkaran terorisme. Bahwa mereka masih punya kesempatan yang sama untuk kembali hidup bermasyarakat, berjuang demi keluarganya, bahkan menjadi agen deradikalisasi dan perdamaian.

TERBARU

Konten Terkait