33.9 C
Jakarta
Selasa, 15 Oktober 2024

Tidak Ada Pengeboman Hari Ini dan Nanti: Dialog Lintas Agama dan Budaya adalah Kunci

“Kami iri dengan Borobudur yang dijaga oleh beragam masyarakat Indonesia”, begitu kata orang Afghanistan yang saya dengar di Pameran Bamiyan-Borobudur 2017 lalu saat dialog lintas agama dan budaya. Kalimat tersebut selalu teringat dalam benak saya. Saya jadi merenung kondisi Afganistan saat ini. Seberapa parah kondisi Afganistan?

Dianggap Berhala, Patung Buddha Raksasa Diledakkan
Kemudian, orang Afghanistan bercerita mengenai kejadian yang dikecam, yaitu kelompok teroris yang menghancurkan patung Buddha raksasa di Lembah Bamiyan, Afghanistan. Patung Buddha raksasa tersebut diledakkan pada tahun 2001 karena dianggap berhala. Lembah Bamiyan merupakan salah satu situs warisan dunia UNESCO.

Situs ini berguna bagi pendidikan, sosio-spiritual, sejarah, ekonomi, pariwisata, arsitektur, dan lain-lain. Bamiyan yang indah jadi harapan banyak orang Afghanistan, setelah dihancurkan menjadi dipenuhi oleh debu dan asap. Rusaknya patung Buddha di Bamiyan ini merupakan tragedi arkeologi dan dunia kehilangan warisan global. Melihat rongga-rongga yang tersisa setelah hancurnya tempat spiritual membuat masyarakat merasakan ketakutan mendalam dan tidak merasa aman dalam keseharian.

Melansir dari projects.iq.harvard.edu, situs Bamiyan menyimpan akibat dari peperangan budaya modern. Pemugaran patung Buddha akan menghapus tindakan kekerasan besar-besaran yang dilakukan oleh kelompok teroris. Hilangnya patung Buddha tidak mengurangi nilai situs tersebut, peristiwa penghancuran tidak dapat ditarik kembali dan dicatat dalam ketiadaan.

Apa Pentingnya Sinergi Beragam Pihak?
Orang Bamiyan itu pun mengatakan kalau ia kagum dengan situs warisan dunia Borobudur yang dijaga bersama-sama oleh anak-anak, warga, komunitas, dan pemerintah. Penting sekali sinergi antara berbagai pihak untuk mengajarkan pentingnya menghargai budaya lain di sekitar dan menolak tindakan kekerasan kepada orang yang berbeda pendapat, ideologi, agama, dan sebagainya.

Ketika di Sekolah Menengah Atas (SMA), saya bergabung dengan kelompok anak-anak pelestari cagar budaya, Young Guardian Club Borobudur (YGC Borobudur). Kegiatan yang dilakukan oleh YGC Borobudur yaitu berkampanye agar pengunjung turut melestarikan cagar budaya, tidak membuang sampah sembarangan dab lainnya. Komunitas tersebut mengingatkan agar tidak naik stupa dan melarang melakukan vandalisme (mencoret-coret dinding).

Kami naik dan mendatangi pengunjung Candi Borobudur dengan poster yang sebelumnya kami gambar dengan krayon dan spidol. Kini, bagi masyarakat, Candi Borobudur dan kawasan sekitarnya bukan hanya milik umat Buddha, melainkan milik semua umat dan milik dunia. Maka, semua orang perlu melindungi, merawat, dan melestarikannya.

Borobudur Juga Pernah Diledakkan
Meskipun sekarang terlihat aman dan damai, ternyata pada tahun 1985 Candi Borobudur pernah diledakkan secara beruntun. Melansir dari nasional.tempo.co, pascapeledakan, petugas naik ke candi dan melihat keadaan mengenaskan, seperti pecahan batu berserakan dan potongan tubuh Sang Buddha kepalanya patah dan tergeletak.

Bom tersebut selain merusak, juga memberikan dampak sosial seperti melahirkan rasa takut dan tidak aman bagi masyaraka yang tinggal di sekitar candi. Orang-orang tidak datang ke Borobudur dan berdampak kepada pariwisata yang menurun. Kejadian hancurnya stupa dan arca Candi Borobudur dicap sebagai peristiwa terorisme nasional.

Dialog Lintas Agama dan Budaya yang Seperti Apa?
Pameran Bamiyan-Borobudur yang saya kunjungi serta bergabung dengan kelompok pelestari cagar budaya mengingatkan saya akan pentingnya dialog lintas agama dan budaya. Diskusi dan pertemuan akan membuat orang memiliki beragam perspektif orang lain, sehingga bisa mencegah ekstremisme dan kekerasan. Menurut Prof. Musdah Mulia yang dilansir jurnal perempuan, dalam dialog lintas agama, semua pihak harus jujur dan berani mengungkapkan common understanding (pemahamam umum atau kepercayaan yang diterima secara luas) dan fakta adanya perbedaan dengan menghargai dan hormat.

Menurutnya juga, dialog perlu dilakukan terus-menerus agar memahami ajaran budaya atau kepercayaan. Selain itu, dialog akan efektif ketika partisipan memiliki niat tulus dan komitmen kuat untuk memahami beragam perspektif. Kegiatan tersebut dilakukan untuk meningkatkan pemahaman, bukan menjatuhkan kelompok lain.

Dalam dialog perlu menimbulkan aksi kemanusiaan yang nyata. Salah satunya kolaborasi. Kolaborasi dalam dialog mampu mengubah mereka yang semula saling membenci, penuh curiga, memusuhi, dan antipati menjadi menghargai dan empati. Dalam dialog hal yang paling berbahaya adalah menganggap diri paling benar dan melakukan kekerasan.

Perasaan ‘paling benar dan yang lain salah’, apalagi diikuti dengan tindakan merusak meninggalkan trauma yang membekas bagi masyarakat. Baik yang terkena dampak secara langsung maupun tidak langsung. Trauma tidak bisa disembuhkan secara cepat, perlu penanganan yang konsisten dan sinergi pemerintah, psikolog, konselor, keluarga, dan lingkungan. Bagaimana menurut kamu? Yuk, sebarkan tulisan ini ke kawan-kawan agar lebih paham bahaya dari terorisme.

TERBARU

Konten Terkait