Dalam suatu diskusi di Jakarta, saya dipertemukan dengan Dhania, mantan pengikut ISIS di Syuriah yang berasal dari Indonesia. Usianya terhitung belia, terlihat energik, supel, mudah bergaul bahkan aktif bersuara. Saya sejenak berpikir, bagaimana bisa perempuan muda seperti Dhania bisa bergabung dengan kelompok ektrimisme. Sebagaimana yang saya pahami, jalan masuk perekrutan anggota ISIS sangat ekslusif, incarannya pun kaum introvert.
Senada yang dikatakan oleh Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto bahwa ISIS umumnya merekrut kaum muda yang suka menyendiri dan pendiam. Jika dalam lingkungan masyarakat, para anggota kelompok ekstrimis biasanya tidak banyak atau jarang bergaul dengan masyarakat sekitar. Namun sepertinya, tipikal persona combat kelompok terorisme mengalami perubahan, terlebih pada kaum perempuan.
Perempuan dikenal sebagai manusia yang lembut dan penuh kasih sayang, citra keibuan yang digambarkan oleh kaum perempuan menjadikannya sebagai agen subordinat dalam aksi terorisme. Artinya, kaum perempuan dijadikan agen kedua setelah kaum laki-laki (agen superior). Josh Sterling dalam Liberal and Conservative Representations of The God Society menyatakan bahwa perempuan pada dasarnya agen subordinat yang memiliki daya tarik sosial untuk memikat perempuan lainnya.
Sehingga, keanggotaan perempuan dalam aksi terorisme tidak lebih dari urusan domestik dan penjagaan relasi pertemanan. Seperti Putri Munawaroh, perempuan yang menyembunyikan keberadaan gembong teroris, Nurdin M. Top serta Tini dan Nurmi Usma, istri dan anak dari Santoso yang terbukti membantu kelompok jaringan teroris Santoso. Saat ini, perempuan justru direkrut menjadi teroris dan ditempatkan pada posisi-posisi strategis bahkan utama. Propaganda kelompok radikalisme terorisme tidak hanya menempatkan perempuan sebagai istri atau ibu untuk melahirkan generasi penerus mereka. Namun menempatkan perempuan sebagai pejuang yang bisa terlibat langsung dalam aksi terorisme (martir).
Mata Rantai Perempuan dan Aksi Terorisme
Banyak faktor yang menyebabkan perempuan menjadi agen teroris. Penelitian Ningsih Wirandani dan Zuli Qodir yang bertajuk Women as Terrorists: a Motivational Factor Becomes a Terrorist In Indonesia menarik untuk dicermati bersama. Keduanya mengambil model Moghaddam yang diawali dengan analisis bahwasanya seseorang saat memulai keinginan untuk meringankan kesulitan dan memperbaiki situasi hidupnya dengan upaya-upaya namun akhirnya gagal bisa menyebabkan rasa frustasi yang besar.
Bahkan mereka menganggap beberapa orang menjadi musuh sehingga harus dilawan. Ketika kemarahan mereka terhadap musuh-musuh mereka meningkat, beberapa orang semakin bersimpati terhadap kekerasan, ideologi ekstremis, dan kelompok teroris yang beraksi. Lebih lanjut, berdasarkan bentuk atau pola terorisme yang dilakukan perempuan, Moghaddam memaparkan bahwa ada 6 lantai yang menghantarkan seseorang menjadi agen radikalisme terorisme. Lantai dasar, interpretasi psikologis.
Rasa kecewa dan perasaan frustasi bisa menjadi titik awal yang dapat menghantarkan diri menjadi pelaku terorisme. Seperti SN, ia merasa frustasi dengan keluarga sehingga mencari jalan keluar untuk permalahannya dengan jalan ekstrimisme. Lantai pertama, consideration of action, yakni waktu mempertimbangkan tindakan. Seperti Dhania, masalah keluarga dan aktualisasi diri membuatnya memutuskan untuk menerima ISIS dan mengajak 26 anggota keluarganya ke Suriah. Dengan pertimbangan bahwa ISIS di Syuriah bisa menjadi jalan keluar bagi permasalahan keluarganya. Ini adalah efek berkelanjutan dari tangga yang pertama.
Lantai kedua, transfer of aggression, yakni pemindahan perilaku agresi. Ada proses atau pola ada pola untuk memahami dan menerima tindakan terorisme. Pada tingkat ini individu akan mudah terlibat secara moral. Seperti tindakan Dian Yulia Novi, calon pelaku bom bunuh diri yang ditangkap di Bekasi, ia menganggap bahwa terorisme bukanlah suatu yang salah.
Lantai ketiga, moral involvement, ada keterlibatan moral. Maksudnya, pelaku teror sudah memikirkan perjuangan untuk mencapai masyarakat ideal dengan berbagai cara salah satunya aksi terorisme. Seperti Dian yang berpartisipasi secara moral dalam mengejar tujuan yang sama dengan organisasi teroris yang ia temui.
Lantai keempat, solidification, yakni kekompakan para anggota teroris dengan jalan legitimasi organisasi teroris. Pada tahap ini pelaku teror sudah benar-benar tergabung dan tidak bisa melarikan diri ke mana-mana. Pada kasus Dian, ia sudah dibai’at oleh suaminya sehingga semakin mudah dan kuat untuk melakukan aksi terorisme.
Lantai kelima, act of terror. Lantai ini digambarkan sebagai tempat terjadinya aksi terorisme. Tahapan atau level ini dapat dilihat pada kasus Dian Yuli Novia pada tahun 2016 yang menjadi pionir pertama kali teroris perempuan di Indonesia dengan rencana bom bunuh diri di Istana. Tindakan ini adalah terobosan aksi terorisme di Indonesia yang menunjukkan peran perempuan sebagai aktor aktif. Tingkat terorisme menunjukkan bahwa untuk akhirnya memutuskan melakukan aksi terorisme (lantai lima) berarti telah melewati lantai satu dan melanjutkan ke lantai empat hingga berakhir di lantai lima.
Berdasarkan mata rantai di atas, perempuan dan aksi terorisme tidak muncul begitu saja secara tiba-tiba. Terdapat tahapan yang menghantarkan mereka menjadi pelaku aksi terorisme mulai dari indoktrinisasi, perekrutan hingga aksi teror. Mata rantai ini dilakukan secara tertata dan massif. Di sisi lain, aksi terorisme yang dilakukan perempuan di Indonesia dipandang sebagai perubahan pola lama, seperti pendukung, pendamping, dan penyedia pelaku teroris,