35.2 C
Jakarta
Minggu, 8 September 2024

Ekstremisme VS Perjuangan Pendidikan Perempuan

Kembalinya Taliban yang berkuasa di Afghanistan pada bulan Agustus 2021 menandai perubahan dramatis dalam pendekatan negara tersebut terhadap hak-hak perempuan. Di bawah pemerintahan sebelumnya, kemajuan signifikan telah dicapai dalam memperluas kesempatan pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan, dengan semakin banyaknya sekolah dan universitas yang menerima siswa perempuan. Namun, penafsiran ekstrem Taliban terhadap hukum Islam telah menyebabkan pembatasan ketat terhadap kebebasan perempuan dan akses terhadap pendidikan.

Kelompok-kelompok ekstremis seperti Taliban seringkali mengadopsi ideologi radikal yang menghalalkan tindakan kekerasan sebagai sarana untuk mencapai tujuan mereka. Taliban, khususnya, telah menjadi simbol dari ekstremisme Islam di Afghanistan dan wilayah sekitarnya. Mereka memperjuangkan interpretasi yang keras terhadap Islam yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia.

Dengan menggunakan kekerasan sebagai alat untuk memperluas pengaruh mereka, Taliban telah menciptakan lingkungan yang dipenuhi dengan ketakutan dan ketidakstabilan, merenggut kebebasan individu serta menghambat perkembangan sosial dan ekonomi di wilayah yang mereka kuasai. Tindakan ekstremisme kekerasan yang dilakukan oleh Taliban juga menyulitkan upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Afghanistan.

Meskipun telah terjadi percobaan untuk mengakhiri konflik melalui dialog politik, kelompok ini terus melancarkan serangan-serangan keji terhadap warga sipil, tentara, dan pemerintah yang sah. Kebijakan Taliban yang keras terhadap perempuan dan minoritas juga menjadi sorotan internasional, mencerminkan pandangan mereka yang kaku dan intoleran terhadap perbedaan. Salah satu dampak paling langsung dari kembalinya Taliban adalah penerapan kembali segregasi gender di sekolah dan universitas.

Kemunculan Kembali Taliban dan Segregasi Gender
Banyak institusi pendidikan ditutup atau dibatasi hanya untuk siswa laki-laki, dan para perempuan dipaksa untuk mematuhi aturan berpakaian yang ketat termasuk dalam hal mengenakan jilbab. Selain itu, kebijakan Taliban telah membatasi mata pelajaran yang dapat dipelajari perempuan, dengan penekanan pada peran tradisional perempuan dibandingkan bidang akademis atau profesional.

Di bawah pemerintahan Taliban, anak perempuan di Afghanistan sekarang dilarang bersekolah setelah kelas enam. Perempuan dilarang masuk universitas dan bekerja di sebagian besar profesi. Mereka tidak punya suara, baik di dalam politik maupun lainnya. Mereka tidak bisa meninggalkan rumah tanpa pendamping laki-laki. Mereka tidak diperbolehkan pergi ke taman bermain, berjalan-jalan di taman umum, atau berolahraga. Mereka menghabiskan sebagian besar hari-hari mereka bersembunyi di dalam rumah mereka.

Meskipun situasi saat ini penuh tantangan bagi para Perempuan Afghanistan untuk mengenyam pendidikan, mereka tetap memiliki tekad yang kuat untuk memperoleh hak dasar mereka sebagai seorang manusia. Salah satunya adalah dengan melanjutkan Pendidikan secara online. Salah satu organisasi yang menawarkan pendidikan ini adalah Afghanistan Law & Political Science Association (ALPA), sebuah asosiasi cendekiawan Afghanistan di pengasingan. Dengan diketuai oleh Bashir Mobasher, seorang cendekiawan pengasingan asal Afghanistan lulusan American University.

Di bawah kepemimpinan Mobasher, kursus yang termuat dalam ALPA gratis dan ditawarkan kepada anak perempuan dan perempuan Afghanistan di kelas sepuluh hingga sekolah pascasarjana dan seterusnya. Dengan mata Pelajaran berkisar dari Ilmu Pengetahuan Alam hingga Studi Gender, Hak Asasi Manusia, Pemikiran Kritis, Seni, Kesehatan Mental dan termasuk Persiapan Beasiswa. Yang paling populer adalah kursus bahasa Inggris karena begitu banyak anak perempuan Afghanistan yang bermimpi untuk melarikan diri dari Afghanistan untuk belajar di luar negeri dan menjadi agen perubahan.

Gerakan ekstremisme di Afghanistan telah membawa perubahan signifikan dalam hak-hak perempuan, terutama terkait dengan akses pendidikan dan kebebasan pribadi. Sejak kembali berkuasa, Taliban menerapkan aturan yang sangat ketat berdasarkan penafsiran ekstrem terhadap hukum Islam, yang berdampak serius pada kehidupan dan kebebasan perempuan Afghanistan.

Dalam konteks ini, dampak gerakan ekstremisme sangat jelas: perempuan kehilangan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan hak-hak dasar lainnya. Namun, dampak ekstremisme juga memicu perlawanan yang kuat dari kalangan perempuan Afghanistan dan pendukung internasional. Perlawanan ini mencerminkan keteguhan dan semangat perempuan Afghanistan untuk menuntut hak-hak mereka.

Gerakan perempuan di Afghanistan tidak hanya mengadvokasi pendidikan tetapi juga memperjuangkan hak-hak dasar dan kebebasan pribadi. Dengan terlibat dalam aksi protes, pelatihan online, dan upaya advokasi lainnya, perempuan Afghanistan menunjukkan bahwa mereka menolak tunduk pada aturan ekstremis dan menemukan cara untuk terus belajar, tumbuh, dan memperjuangkan hak-hak mereka, meski dihadapkan pada penindasan dan ketidakadilan serta memiliki tekad untuk memperjuangkan masa depan yang lebih cerah.

TERBARU

Konten Terkait