Kasus residivis terorisme di Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang signifikan sejak tahun 2010. Banyak narapidana terorisme (napiter) yang kembali melakukan tindakan teror setelah menjalani masa hukuman. Residivis narapidana terorisme anak, mengacu pada anak yang pernah dihukum karena tindak pidana terorisme dan kemudian kembali melakukan kejahatan serupa setelah dibebaskan.
Fenomena ini menjadi perhatian serius di Indonesia, karena menunjukkan bahwa upaya deradikalisasi dan reintegrasi anak-anak terpapar radikalisme masih memiliki banyak kekurangan. Anak-anak yang terlibat dalam tindak pidana terorisme merupakan korban dan memerlukan perhatian khusus. Banyak dari mereka terlibat karena pengaruh orang terdekat, seperti tetangga, guru, teman bermain. Bahkan orang tua mereka sendiri.
Terdapat dua faktor yang menyebabkan hal tersebut. Pertama, faktor internal, seperti pemahaman agama, wawasan kebangsaan, jenis kelamin, umur, intelegensi, dan kematangan emosi anak. Kedua, faktor eksternal seperti keluarga, lingkungan, media, kemiskinan, dan pendidikan, memainkan peran dalam terlibatnya anak-anak dalam tindak pidana terorisme.
Beberapa program telah dilakukan untuk membantu anak-anak narapidana terorisme (napiter) agar dapat kembali ke jalur yang lebih baik. Salah satunya, Program Family Resilience yang dilaksanakan pada tahun 2019. Program ini melibatkan 56 anak napiter dengan berbagai usia. Bagian paling penting dari program ini adalah workshop dan monitoring di rumah. Tujuannya adalah untuk melakukan intervensi dengan berbagi pengalaman dan pengetahuan serta memberikan pengalaman baru kepada anak-anak.
Dengan pendekatan ini, diharapkan anak-anak dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik dan terhindar dari tindakan radikalisme dan terorisme di masa depan. Namun, perlu diingat bahwa anak-anak yang terlibat dalam tindak pidana terorisme juga memerlukan perlindungan hukum dan rehabilitasi. Sanksi pidana bagi anak pelaku terorisme berbeda dengan orang dewasa. Anak pelaku tindak pidana terorisme tidak dapat dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup.
Oleh karena itu, pendekatan yang berfokus pada pembinaan dan perlindungan anak sangat penting dalam mengatasi fenomena ini. Berikut adalah empat faktor yang mendukung kasus residivis terorisme pada anak ini seperti:
1. Kurangnya Dukungan Jaringan Sosial: Mantan narapidana anak terorisme mungkin kesulitan untuk kembali ke komunitas mereka dan menemukan penerimaan sosial. Hal ini dapat membuat mereka rentan terhadap kelompok-kelompok radikal yang menawarkan rasa persaudaraan dan tujuan.
2. Lemahnya Pembinaan di Lapas: Program deradikalisasi di lapas anak terkadang kurang komprehensif dan gagal untuk mengatasi akar penyebab radikalisme pada anak-anak.
3. Trauma dan Gangguan Mental: Anak-anak yang terpapar radikalisme mungkin mengalami trauma dan gangguan mental yang tidak terselesaikan, membuat mereka lebih mudah dimanipulasi oleh kelompok-kelompok ekstremis.
4. Masalah Ekonomi: Mantan narapidana anak terorisme mungkin kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan dan memenuhi kebutuhan hidup, sehingga mendorong mereka kembali ke kegiatan kriminal.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), hingga Desember 2022, terdapat 116 eks narapidana terorisme anak (mantan narapidana anak terorisme) yang kembali melakukan tindakan terorisme (residivis). Angka ini menunjukkan bahwa program deradikalisasi dan reintegrasi belum sepenuhnya efektif dalam mencegah anak-anak terpapar radikalisme kembali ke jalan kekerasan.
Ada beberapa Upaya Pencegahan Residivisme seperti:
1. Memperkuat Program Deradikalisasi: Perlu dilakukan pengembangan program deradikalisasi yang lebih komprehensif dan holistik, baik di dalam maupun di luar lapas.
2. Melibatkan Masyarakat: Penting untuk melibatkan masyarakat dalam upaya deradikalisasi dan reintegrasi mantan narapidana anak terorisme.
3. Meningkatkan Kesadaran Publik: Perlu dilakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya terorisme dan bagaimana cara mengidentifikasi anak-anak yang berisiko terpapar radikalisme.
4. Memperkuat Peran Keluarga: Keluarga memiliki peran penting dalam membantu anak-anak yang terpapar radikalisme untuk kembali ke jalan yang benar.
5. Memberikan Dukungan Psikologis: Mantan narapidana anak terorisme membutuhkan dukungan psikologis untuk mengatasi trauma dan gangguan mental yang mereka alami.
Di sisi lain, dalam kasus residivis pada anak anak menghadapi juga sejumlah tantangan seperti:
1. Keterbatasan Sumber Daya: Upaya deradikalisasi dan reintegrasi membutuhkan sumber daya yang besar, baik dalam hal dana maupun tenaga ahli.
2. Kurangnya Koordinasi Antar Lembaga: Masih terdapat kurangnya koordinasi antar lembaga terkait dalam menangani residivisme narapidana terorisme anak.
3. Stigma Sosial: Mantan narapidana anak terorisme seringkali dicap negatif oleh masyarakat, sehingga dificulta mereka untuk diterima kembali ke komunitas.