29.5 C
Jakarta
Minggu, 8 September 2024

Bagaimana Berjuang Istri Paska Suami Terjebak dalam Pusaran Terorisme?

Menjadi istri dari seorang teroris bagaikan terjebak dalam badai tanpa henti. Di satu sisi, cinta dan kesetiaan masih mengikat, di sisi lain, rasa cemas, hancur, dan stigma terus menghantui. Perjuangan para perempuan ini tak jarang luput dari sorotan, meninggalkan mereka terisolasi dan berjuang sendirian. Kisah sulitnya berjuang setelah suami terjebak di pusaran terorisme bisa sangat bervariasi, tergantung pada situasi dan konteksnya.

Salah satunya, Maya (bukan nama sebenarnya) harus menghadapi kenyataan pahit ketika suaminya, Ahmad (bukan nama sebenarnya), terlibat dalam kelompok terorisme. Ahmad awalnya adalah suami yang penyayang dan peduli, namun terpengaruh oleh ideologi radikal yang diperkenalkan oleh orang-orang yang berada di sekitarnya.

Maya merasa hancur dan bingung. Dia harus berjuang dengan perasaan kesedihan yang mendalam, kehilangan kepercayaan, dan rasa bersalah. Baginya, sulit untuk menerima bahwa orang yang dicintainya telah terlibat dalam aktivitas yang sangat merugikan dan berbahaya bagi masyarakat. Selain itu, Maya juga harus menghadapi tekanan dari pihak berwenang dan media yang menyorot kasus suaminya.

Dia merasa terisolasi dari lingkungan sosialnya, karena banyak orang yang menghindari dan mencurigainya. Maya juga menghadapi masalah finansial, karena Ahmad adalah tulang punggung keluarga. Dia harus mencari cara untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sambil menghadapi biaya hukum yang besar untuk membela suaminya.

Meskipun menghadapi semua tantangan ini, Maya bertekad untuk tetap kuat dan mendukung suaminya. Dia mencari bantuan dari keluarga dan teman-temannya, serta mendapatkan konseling psikologis untuk membantunya mengatasi dampak emosional dan mental yang ditimbulkan oleh situasi tersebut. Kisah seperti ini menunjukkan betapa sulitnya perjuangan seseorang setelah suami terjebak di pusaran terorisme.

Namun, dengan tekad dan dukungan yang tepat, banyak orang mampu melewati masa sulit ini dan menemukan kekuatan untuk melanjutkan kehidupan mereka. Sedikitnya terdapat lima dampak kondisi tersebut terhadap perempuan. Pertama, kehilangan dan Trauma. Kepergian suami, meninggalkan luka mendalam. Trauma psikis menghantui, diperparah dengan stigma dan pengucilan dari masyarakat. Kedua, Beban Ekonomi. Tanggung jawab keluarga beralih ke pundak istri. Membesarkan anak, memenuhi kebutuhan hidup, dan mencari nafkah sendirian menjadi perjuangan berat.

Ketiga, diskriminasi dan stigma. Istri teroris kerap dicap negatif, dijauhi, dan mengalami diskriminasi. Hal ini memperparah rasa terisolasi dan memperlambat proses pemulihan. Keeempat, kesehatan mental. Stres yang berkepanjangan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental. Kelima, keamanan dan privasi. Merasa khawatir akan keamanan diri dan keluarga, serta privasi yang terganggu oleh perhatian media atau pihak berwenang.

Dampak-dampak tersebut sudah dilalui oleh sejumlah perempuan yang tergabung dalam Forum Support Perempuan Tangguh (Fospeta). Fospeta dibentuk pada 2022 yang menjadi wadah bagi para istri mantan napiter agar lebih memiliki resilien di masyarakat yang didampingi oleh ivision for Applied Social Psychology Research (DASPR).

Saat ini, Fospeta telah menciptakan dua hal bagi para anggotanya. Yakni, menjadi Komunitas Pendukung yang hadir untuk membantu mantan napiter. Fospeta menjadi ruang aman untuk berbagi pengalaman, saling menguatkan, dan mendapatkan dukungan psikologis. Selanjutnya, Fospeta menjadi ruang pendidikan dan kesadaran. Peningkatan edukasi tentang terorisme dan radikalisme bagi masyarakat dapat membantu mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap istri teroris.

Dalam forum yang digelar oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, salah seorang anggota Fospeta, Mulyati (bukan nama sebenarnya), mengungkapkan telah mengalami perubahan yang luar biasa. Awalnya, Mulyati sering merasa rendah diri dan tidak berguna dalam menjalani kehidupannya. Saat ini, mulai merasakan dirinya berguna dan bermanfaat bagi orang lain, terutama dalam mengontrol emosi terhadap anak-anaknya.

Perubahan lain yang mencolok adalah semangat hidup yang semakin membara, serta rasa legowo yang kini menghampirinya dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Selain itu, Mulyati juga mampu mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi, bahkan mampu melewati trauma masa lalunya dengan lebih baik.
”Saya juga pernah menemui orang-orang yang pernah mengalami kejadian yang sama. Saya merasa memiliki empati yang tinggi terhadap orang tersebut. Terakhir, saya bersyukur akan setiap aspek dalam kehidupannya,” terangnya.

Perjuangan istri teroris tak kalah berat dibandingkan korban terorisme lainnya. Dukungan dan pemahaman dari masyarakat sangatlah penting untuk membantu mereka sembuh dari trauma, membangun kembali kehidupan, dan mencegah terulangnya tragedi terorisme.

TERBARU

Konten Terkait