29 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Perempuan dalam Pusaran Terorisme

“Saya heran, kenapa ya ketika berbicara tentang radikalisme dan terorisme, wajah pembicaraan itu seperti urusan atau kepentingannya laki-laki saja.”

Sepenggal pernyataan Bu Lies Marcoes dalam bincang gender yang bertajuk “Membaca Perempuan dalam Gerakan Radikalisme” di atas menarik ingatan saya pada peristiwa-peristiwa aksi teror yang dilakukan perempuan dalam kurun waktu 7 tahun ke belakang. Peristiwa ini sekaligus mengubah pandangan saya-bahkan mungkin masyarakat Indonesia bahwa aksi radikalisme terorisme tidak ajeg pada male-oriented.Seperti aksi yang dilakukan oleh Dian Yulia Novi sebagai pelaku bom panci di Bekasi, Ika Puspita Sari dengan aksi bom bunuh diri, peledakan bom di rumah ibadah Surabaya oleh satu keluarga hingga aksi penyerangan terhadap polisi Mako Brimob oleh Siska Nur Azizah dan Ditta Siska Millenia pada 2018.

Tak tanggung-tanggung, sederet aksi radikalisme terorisme kini melibatkan perempuan sebagai pelaku utama. Pergeseran peran ini tentu menciptakan kegelisahan bagi semua pihak. Bagaimana tidak, perempuan yang digambarkan masyarakat sebagai manusia yang lembut dan penuh kasih sayang kini telah pupus ditandai dengan keterlibatan mereka dalam aksi brutal radikalisme terorisme.

Perempuan dan Doktrinisasi Agen Terorisme
Jika kita cermati, keterlibatan perempuan dalam aksi radikalisme terorisme di Indonesia mulai muncul berkelindan dengan aksi terorisme yang dilakukan oleh pasangan mereka. Nelly Lahoud dalam The Neglected Sex: The Jihadis’ Exclusion of Women from Jihad memaparkan “Women Encouraged to Remain in the Private Sphere, the Home, Or In Supporting Roles”. Artinya, dalam ideologi yang dipahami kelompok teroris, perempuan memiliki peran penting untuk menjaga rumah, mendukung di ranah yang privat dan melindungi aksi para pelaku teror. Sebagaimana Putri Munawaroh (istri Nurdin M. Top), Inggrid Wahyu Cahyaningsih (istri Sugeng Waluyo yang membantu pelaku teroris Bom Cimanggis), Munfiatun (istri kedua Nurdin M. Top) dan lainnya.

Kini, perempuan menjadi pelaku teror utama. Hal ini tak terlepas dari propaganda atas nama agama yang menarik minat perempuan bahwa perempuan bisa menjadi martir dalam aksi teror. Peran perempuan dalam aksi teror tidak lagi sebagai perantara ataupun pelindung dari para suaminya yang juga teroris. Namun, bagaimana perempuan dipaksa dan dicuci otaknya untuk menjadi pelaku aktif dalam aksi teror. Senada dengan penelitian Devorah Margolin dari The George Washington University “The Changing Roles of Women in Violent Islamist Groups” bahwa perempuan adalah pemodal, perekrut, pembawa ideologi kepada generasi mendatang, dan dalam beberapa kasus, bahkan kepada para pejuang. perempuan memainkan peran penting bahkan pelaku utama.

Akhir 2016, aksi Dian Yulia Novi dengan cara meledakkan bom di Bekasi dan Ika Puspitasari dengan rencana meledakkan diri di Bali menjadi para pencetus perempuan pelaku aksi teror untuk kali pertama di Indonesia. Aksi keduanya berhasil digagalkan. Namun dua tahun kemudian, aksi terorisme kembali terjadi dengan munculnya Siska Nur Azizah dan Dita Siska Millenia yang berencana melakukan penusukan terhadap anggota kepolisian di Mako Brimob.

Pertanyaan mendasarnya adalah apa facktor yang menjadi penggerak perempuan melakukan aksi terorisme?
Ibu Lies Marcoes, Direktur Rumah Kita Bersama Foundation menjelaskan bahwa setidaknya ada dua faktor yang melatarbelakangi ketertarikan perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia. Pertama, perempuan setuju akan gagasan khilafah. Perempuan percaya bahwa kekhilafan adalah satu-satunya jalan untuk menjawab semua persoalan hidup baik sebagai hamba Tuhan maupun masyarakat dalam suatu negara. Untuk mengamini impian kekhalifahan tersebut, mereka tempuh dengan aksi terorisme yang mereka nilai sudah benar.

Kedua, budaya patriarkal yang mengakar dalam tradisi muslim konservatif. Budaya ini meletakkan perempuan pada posisi kedua setelah laki-laki. Menurut mereka, kelompok radikal dapat menampung dan menyalurkan aspirasi yang mereka inginkan serta memberi kesempatkan bagi mereka untuk melakukan aksi teror. Inilah yang mereka yakini sebagai bentuk ‘kesetaraan’ yang mereka dapatkan agar posisi mereka sama dengan laki-laki yang berani berjihad di jalan Allah.

TERBARU

Konten Terkait