29.5 C
Jakarta
Minggu, 8 September 2024

Anak Korban Terorisme: Tumbuh Bersama Ketakutan dan Rasa Tidak Aman

“Nenek tiba-tiba mengajak ke rumah sakit untuk melihat mama. Seharusnya mama pulang sore tadi,” kata Janita.
“Saya takut. Saat itu mama penuh perban dan dipasang infus. Saya sampai nggak berani deketin mama. Nenek bilang kalau mama kena bom, ”lanjut Janita.

Kejadian bom yang menimpa salah satu orangtua Janita (bukan nama sebenarnya) menjadi waktu yang terburuk yang dirasakan. Janita yang saat itu masih sekolah dasar belum sepenuhnya mengerti. Kejadian itu benar-benar membuatnya kaget dan merasakan banyak perbedaan di rumah, seperti mama yang biasanya kuat jadi terbaring tak berdaya.

Tumbuh Bersama Ketakutan dan Rasa Tidak Aman
Melansir dari theconversation.com, anak yang orang tuanya menjadi korban bom itu tumbuh dengan ketakutan dan rasa tidak aman. Hal tersebut mereka alami sendiri dan didorong oleh pemberitaan di media yang terkadang tidak berpihak kepada korban. Media masih cenderung lebih banyak menyiarkan pelaku, fotonya, dan kronologi kejadian teror. Janita memandang dunia sebagai tempat yang kejam sekaligus menakutkan.

Dalam sebuah forum yang saya ikuti, Janita mengungkapkan dampak fisik dan psikologis yang dirasakannya dan orangtuanya. Diketahui, saat ini, sudah ada organisasi korban bom, yaitu Yayasan Keluarga Penyintas (YKP) dan Yayasan Penyintas Indonesia (YPI). Organisasi tersebut, menjadi wadah dan ruang untuk mendukung satu dengan lainnya para penyintas. Korban bisa mempunyai ruang aman untuk kencurahkan kesedihan, kerentanan, dan unek-unek.

Selain Janita, terdapat juga Mahesa juga merupakan korban peristiwa teror 2005 silam. Sama dengan Janita, Mahesa pun mengingat-ingat bahwa banyak hal yang berubah di keluarganya setelah orang tua jadi korban teror. Menurut Mahesa, ayahnya mengambil cuti dengan waktu yang cukup lama untuk menenangkan diri. Mahesa mendukung dan menguatkan ayah supaya ia tetap semangat untuk bertahan dan berobat. Baik Janita dan Mahesa sebagai anak korban terorisme itu mereka dipaksa harus kuat dan menguatkan orang tua, padahal diri mereka sendiri butuh pertolongan.

Unek-unek yang berada di kepala mereka bertahun-tahun pun terpaksa dikubur karena belum menemukan tempat bercerita yang tepat. Ingin bercerita kepada orang tua, namun takut menambahi beban dan menghambat pemulihan. Psikolog dan psikiater masih sangat sulit untuk dijangkau oleh kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Ketika orangtua menjadi korban bom, hal tersebut mengganggu keseharian anak dalam beragam aktivitas. Mereka tidak bisa fokus mengerjakan tugas sekolah, merasa rendah diri, kekurangan figur orang tua karena orang tua belum pulih secara fisik maupun mental, mereka dipaksa lebih mandiri, kekurangan waktu bermain, dan setiap hari dihantui ketakutan dan ketidakpercayaan kepada orang lain.

Apabila Bisa Ngobrol dengan Pelaku, Apa yang Ingin Dikatakan?
Hingga kini, Janita dan Mahesa masih merasakan luka dan kehilangan atas kejadian tersebut. Ada dua harapan besar dari Janita dan Mahesa kepada pelaku dan pemerintah. Pertama, berharap agar masyarakat tidak mudah terpengaruh ajaran yang mengatasnamakan agama. Kedua, pemerintah bisa memberi rasa aman dan mencegah kejadian bom terulang kembali.

Janita dan Mahesa merupakan anak korban terorisme yang mengalami kesedihan dan harus bertanya-tanya tentang apa yang terjadi kepada orang tuanya. Mereka pun harus meraba-raba hidupnya ke depan harus seperti apa. Trauma mereka membekas hingga mereka beranjak dewasa.

Melansir dari brottsoffermyndigheten.se, ketika kita bertemu dengan korban terorisme, kita perlu mendengarkan secara aktif mengenai apa yang ingin korban sampaikan kepada kita. Penting untuk menanggapi kesaksian korban secara serius, agar mereka merasa didengarkan dan dipahami.

Pemerintah Bisa Apa?
Pemerintah perlu menyediakan akses konseling dan pendampingan kepada korbam hingga pulih. Penyediaan akses konseling ini harapannya tidak hanya kepada korban langsung seperti mama Janita dan ayah Mahesa. Janita dan Mahesa sebagai keluarga korban yang terkena dampak buruk tragedi bom pun perlu kemudahan akses konseling dan pendampingan hingga pulih.

Pencegahan aksi terorisme perlu dilakukan melakui kolaborasi pemerintah, masyarakat sipil, sekolah, dan lingkungan. Semoga korban lebih diperhatikan dan ada upaya serius dari pemerintah, baik korban langsung maupun tak langsung agar pulih. Hal ini dilakukan agar korban mampu mengerjakan aktivitas keseharian dan upaya pencegahan agar kejadian tidak berulang.

TERBARU

Konten Terkait