Masihkah kita ingat, peristiwa Bom Mariot di Surabaya tahun 2009? Salah satu pelakunya adalah seorang supir. Ia membawa bom sendirian dari Solo hingga Surabaya. Sebelum peristiwa itu terjadi, ia ditahan di penjara. Saat itu ia memang telah terpapar paham ekstremisme dan menjadi pelaku teror. Saat dia berada di penjara, istrinya hendak melahirkan. Ia meminta tolong kepada saudara, tetangga, dan kawan. Namun, tak ada satu pun yang mau menolongnya. Saat ia merasa putus asa, jaringanya datang untu menolong istrinya yang hendak melahirkan. Dari situlah ia merasa berhutang budi kepada jaringannya, sehingga ia bersedia membawa bom itu sendirian dari Solo hingga Surabaya.
Dari peristiwa ini kita dapat memetik nilai penting. Eks napiter terorisme, bahkan yang telah menjalani proses deradikalisasi di dalam lapas maupun di luar lapas, dapat kembali ke jaringannya jika ia terabaikan di masyarakat. Bayangkan saja, seorang mantan napi dengan kejahatan yang lain saja bisa tetap dikucilkan oleh masyarakat dan sulit mendapatkan pekerjaan. Apalagi mantan napi dengan kasus terorisme. Masyarakat bukan hanya mengucilkan dirinya seorang, tapi juga keluarganya, terutama istri dan anak-anaknya.
Seorang eks napiter terorisme yang sedang menjalani proses deradikalisasi di luar lapas, mengaku dilarang oleh masyarakat untuk berbelanja di warung tetangga. Anaknya juga dilarang bersekolah serta berbaur dengan anak-anak seusianya. Tentu kita bisa membayangkan betapa susahnya hidup yang mereka jalani di luar lapas. Jika suatu saat ada anggota keluarganya yang sakit dan tak punya biaya untuk pergi ke dokter dan ia hanya punya cukup uang untuk membeli obat di warung, mereka akan mengalami kesulitan.
Jika anak-anaknya dilarang bersekolah dan bergaul dengan kawan-kawannya, ia akan merasa tak nyaman tinggal di daerah itu. Bisa saja ia tak bisa mendapatkan pendidikan formal. Padahal, melalui pendidikan formal lah, rasa cinta terhadap tanah air akan ia dapatkan. Para pendamping eks napiter juga amat menyadari masalah ini. Mereka perlu bekerja lebih keras lagi untuk meyakinkan masyarakat agar menerima eks napiter dengan tangan terbuka. Para pendamping ini sadar, jika masyarakat gagal merangkul eks napiter, besar kemungkinan ia akan kembali kepada jaringannya lagi. Sebab orang-orang yang berada di jaringan itulah yang masih berpihak kepada mereka.
Sayangnya, masalah pengucilan dan penolakan oleh masyarakat ini juga dipahami dan disikapi oleh kelompok terorisme dengan cara yang berbeda, Ingkatkah kita kejadian bom di Surabaya pada tanggal 13-14 Mei 2018? Dilansir dari detik.com, pada tanggal 13 Mei 2018, bom meledak di tiga titik berbeda: Gereja Katolik Santa Maria, Gereja Kristen Indonesia, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Pelakunya adalah ayah, ibu, dan keempat anaknya. 17 orang tewas dalam peristiwa tersebut, enam di antaranya adalah pelaku bom.
Pada tanggal 14 Mei tahun yang sama, bom meledak di Polrestabes Surabaya. Pelakunya adalah seroang ibu, ayah, dan ketiga anaknya. Semuanya tewas, kecuali seroang anaknya. Mengajak seluruh keluarga, termasuk istri dan anak dalam melakukan aksi terorisme adalah modus baru. Suami atau ayah sebagai kepala keluarga lah yang pertama kali memutuskan untuk meledakkan bom. Ia paham, mungkin saja ia bisa mati atau tertangkap. Sementara keluarganya yang tersisa, yang masih hidup, mungkin akan mengalami penolakan dari masyarakat.
Ia sadar, keluarganya aka mengalami masa sulit ketika ia tak ada di sisinya. Maka ia menyimpulkan, untuk mengajak seluruh anggota keluarganya, istri maupun anak untuk melakukan bom bunuh diri. Ia mengiming-imingi bahwa mereka kelak akan berkumpul lagi surga. Miris mendengarnya. Ia mempengaruhi istrinya. Memang rata-rata para istri dari golongan mereka adalah tipe perempuan yang menganggap suami adalah imamnya.
Ia bersikap penurut kepada suaminya, sami’na wa atho’na. Ia beranggapan dengan taat kepada suami, ia akan dijamin surga. Terkait hal ini, para pelaku perfilman, telah mengangkat masalah ini dalam karya mereka. Judul filmnya ‘Nurul Kholisoh Wife of Ex-Terrorist Prisoner’. Film yang disutradarai oleh Ani Ema Susanti, mantan pekerja migran di Hongkong, menceritakan perjuangan Nurul sebagai istri dari terpidana kasus bom Sarinah-Thamrin tahun 2016. Anak-anaknya dibully dan dikucilkan sebab memiliki ayah pelaku terorisme. Ia juga diasingkan oleh jaringannya sendiri saat suaminya menyatakan kembali ke NKRI.
Saat menghadapi kesulitan itu, justru keluarga terdekatnyalah yang menolong dan mau merangkulnya. Nurul akhirnya sadar, hanya keluarganyalah yang benar-benar tulus dan selalu ada untuknya ketika ia mengalami masalah. Maka, sebagai anggota masyarakat minimal kita sadar. Kita punya peran yang cukup besar untuk melakukan upaya pencegahan dan deradikalisasi eks napiter terorisme. Kita bisa memeluk mereka sebagai bagian dari masyarakat. Bukannya malah mengasingkan mereka.
Bukankah prinsip Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, membawa Rahmat bagi seluruh alam? Semua agama juga mengajarkan kebaikan dan perdamaian. Para eks napiter itu banyak yang sudah menyadari kesalahannya dan ingin kembali ke jalan yang benar. Banyak yang sudah menyatakan kembali kepada NKRI. Jika kita sebagai masyarakat menolak mereka, lantas kepada siapa mereka lagi mereka bisa berharap?