Jujur, pertama kali saya mengetahui bahwa ada pertemuan antara korban dan pelaku terorisme, saya merasa aneh, kaget, dan bertanya-tanya. Mungkin tidak hanya saya saya yang penasaran mengapa pertemuan yang sangat sensitif tersebut diperlukan untuk kedua belah pihak. Untuk apa, ya?
“Kok bisa, ya orang kepikiran melakukan serangan kepada ratusan masyarakat yang nggak tahu apa-apa?” begitu suara hati Kiran (bukan nama sebenarnya).
Kiran pendam dalam-dalam selama belasan tahun. Tidak terbayang betapa mengganjal, penuh pertanyaan, kemarahan, kekecewaan, dan rasa yang campur aduk kepada pelaku bom. Sangat wajar anak korban teror seperti Kiran merasakan hal tersebut. Ayahnya meninggal saat tragedi bom. Betapa kaget, sedih, putus asa terjadi secara bersamaan. Anak korban teror punya keinginan kuat meledakkan unek-unek yang ia kubur belasan tahun itu.
Kenangan manis bersama ayah selalu Kiran kenang dan terlintas secara acak dalam keseharian. uatu saat ada kesempatan untuk bertemu dengan pelaku bom dalam acara deradikalisasi yang diadakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Kiran pun diundang dan bertemu dengan orang yang waktu itu membuat ayahnya meninggal. Beragam dukungan dari keluarga besar, lingkungan, dan komunitas para korban terorisme meyakinkan Kiran untuk datang. Kiran pun jadi punya keinginan untuk menyampaikan hal yang belum tersampaikan, meskipun tidak semuanya.
“Bapak bisa nggak membayangkan kalau jadi saya? Setelah kejadian itu saya berjuang untuk sekadar bernapas melanjutkan hidup. Kok bisa Bapak tega melakukan itu?” Kiran menyampaikan yang suara yang ia pendam belasan tahun dengan bergetar.
“Saya waktu itu nggak bisa berbuat apa-apa, serba kekurangan, dan harus pindah-pindah tempat tinggal ke yang lebih sederhana. Saya menderita,” lanjut Kiran sebagai anak korban terorisme.
Setelah masuk penjara, beberapa pelaku terorisme mengalami perubahan sikap, sementara yang lain tetap teguh pada ideologi mereka. Transformasi ini tidaklah mudah, karena ideologi tidak dapat dihapus begitu saja. Prosesnya memerlukan waktu yang panjang, melibatkan rehabilitasi psikologis, pendidikan, dan pembimbingan spiritual. Beberapa narapidana mungkin terbuka untuk refleksi dan pemahaman yang lebih mendalam tentang konsekuensi tindakan mereka, sementara yang lain terus menolak bantuan.
Upaya pencegahan pemikiran radikalisme di dalam penjara sangat penting, dengan program-program yang fokus pada deradikalisasi dan rekonsiliasi dengan masyarakat. Meskipun sulit, perubahan sikap yang terjadi dapat menjadi langkah awal dalam membangun perdamaian dan keadilan, tidak hanya untuk narapidana, tetapi juga untuk masyarakat luas.
“Saya dulu tugasnya melakukan survei tempat yang akan menjadi target. Saya sempat ragu, tapi di pikiran saya dulu, saya harus melaksanakan semua yang diperintahkan oleh atasan. Saya sangat minta maaf,” ujar pelaku teror.
Sementara ingatan buruk tentang hari silam muncul dalam batin Kiran, narapidana itu melanjutkan kalimatnya, “Saya menyesal dan sadar. Saya tiap hari tersiksa karena kesalahan yang saya lakukan tidak bisa ditebus dengan apapun.”
Melansir dari Aceh Anthropological Journal, 2019, pertemuan antara para tahanan dan korban terorisme menjadi salah satu cara untuk menyentuh hati mereka dan diharapkan membuat mereka sadar bahwa tindakan pelaku menyebabkan penderitaan bagi orang lain. Pemisahan narapidana terorisme dengan narapidana lain pun perlu dilakukan agar setelah bebas, mereka tidak melakukan perilaku lama dan hubungan lama yang kembali menjerumuskan. Supaya pelaku tidak melakukan tindakan pidana serupa atau lainnya (residivis).
Dalam pertemuan antara pelaku dan korban terorisme, tidak semuanya berhasil dan memuaskan karena keberhasilan metode ini terantung pada kecenderungan tiap tahanan teroris sendiri. Langkah pertemuan ini, paling tidak bisa memacu korban mengeluarkan unek-unek yang baru bisa mereka suarakan dengan lantang. Kekecewaan, kemarahan, kebingungan yang terus mereka pendam sangat tidak baik untuk melanjutkan kehidupan. Sebelum pertemuan perlu memperhatikan kondisi fisik dan psikologis kedua belah pihak terlebih dahulu.
Sangat wajar korban merasa belum siap membuka luka lama dan trauma, tetap merasakan ketakutan, tremor, dan tidak bisa menatap muka pelaku. Bagaimana menurut kalian, apakah pertemuan korban dan pelaku ini bisa memberikan dampak baik atau lebih banyak dampak buruknya kepada korban dan pelaku terorisme?