Apakah anak pelaku maupun mantan narapidana terorisme tahu atas kasus ayah mereka? Apakah mereka mendapatkan penanganan ketika mereka terlibat langsung melihat penangkapan ayahnya? Bagaimana orang tua menjelaskan kasus yang hadapi ayah mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini sejauh ini sulit untuk saya bisa bayangkan akan selesai dalam satu malam. Pada 2019, saya pertama kalinya harus berhadapan dengan anak-anak para narapidana terorisme (napiter) yang mayoritas berasal dari Jabodetabek. Seperti anak-anak pada umumnya yang pernah saya temui dalam komunitas Taman Baca Masyarakat di Serang Banten, saya menganggap anak-anak ini tidaklah berbeda, seperti hak mereka mendapatkan pendidikan dan perlindungan.
Namun, setelah mengenal kasus ayah mereka lebih jauh serta situasi mereka di sekolah dan lingkungan sosial, membuat saya semakin yakin mereka perlu mendapatkan intervensi khusus. Saya tidak bisa membayangkan jika saya di posisi mereka, bagi anak-anak yang mengalami bullying di sekolah karena ayah mereka masuk penjara sebagai “penjahat”, atau dinamika sosial di lingkungan pertemanan mereka di sekitar rumah. Intimidasi dan cibiran merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan.
Berdasarkan cerita dari para istri dan sekaligus ibu, anak-anak mereka terdampak secara langsung dari apa yang dilakukan ayah mereka. Pertama, mereka mendapatkan trauma karena melihat langsung penangkapan ayah mereka. Kedua, mereka mendapatkan stigma yang ter-labelkan bahwa mereka adalah anak teroris. Ketiga, bagaimana kondisi psikologis dan perspektif mereka berubah terkait figur ayah.
Pernah dalam satu situasi intervensi Resiliensi Keluarga yang dilakukan Division for Applied Social Psychology Research (DASPR) pada 2019 dan 2021, beberapa istri bertanya apa yang ia harus lakukan apakah ia harus menceritakan di mana ayah mereka atau tetap disembunyikan dengan alasan ayah mereka bekerja di luar kota dan seterusnya? Meski diberikan gambaran secara umum oleh profesional psikolog, hal ini tentu masih membingungkan bagi seorang istri dan ibu. Mereka bergejolak dengan pertanyaan-pertanyaan dan kemungkinan yang akan terjadi jika mereka harus bercerita situasi sebenarnya tentang ayah mereka. Barangkali jika mereka tetap menyembunyikan hal ini, bagaimana jika anak-anak mereka tahu dari orang lain seperti tetangga atau teman bermain mereka.
Pentingnya Strategi dan Menyusun Narasi Seorang Ibu
Ketika hilangnya sosok ayah dalam rumah, membuat anak-anak pasti bertanya. Ke mana ayah mereka pergi? Kenapa? Dan kapan kembali? Tentu di sinilah peran seorang ibu begitu penting menarasikan dan melihat kondisi anak-anak mereka apakah perlu tahu yang sebenarnya atau perlu menunggu hingga usia tertentu?
Kemampuan seorang ibu, baik itu dari latar belakang yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah formal hingga ibu yang berlatar belakang dari lulusan perguruan tinggi di tuntut sama. Mereka harus menghadapi anak-anak yang dengan polosnya bertanya di mana ayah mereka? Kenapa tidak pulang? Dan bahkan jika mereka mendengar itu dari televisi atau berita di internet atau tetangga, lalu bagaimana ibu membuat strategi komunikasi untuk menjelaskan semuanya?
Pertanyaan-pertanyaan ini pun tidak bisa dijawab secara komprehensif oleh seorang pendamping keluarga napiter maupun mantan napiter. Saya juga tidak bisa membayangkan jika itu terjadi pada situasi saya, strategi seperti apa yang harus saya gunakan? Belum lagi persoalan menjelaskan hal ini pada keluarga besar, terutama orang tua sendiri maupun mertua.
Sejauh ini, mereka mengandalkan insting mereka sebagai seorang ibu dan juga anak. Sejauh yang saya tahu selama melakukan pendampingan sejak 2019, mulai dari ayah-ayah mereka ditangkap hingga bebas, hal ini masih menjadi misteri yang belum terpecahkan. Belum ada intervensi yang secara khusus menyentuh hal ini. Meski ada kasus beberapa keluarga yang berhasil menarasikan situasi keluarga mereka terutama kasus ayah mereka, tetapi tidak sedikit yang masih belum bisa berhasil menjelaskan bahkan masih menutupi.
Seorang ibu memiliki banyak pertimbangan yang mereka anggap baik untuk anak-anak mereka. Ada yang menunda untuk memberikan penjelasan karena situasi anak yang masih belum cukup usia untuk mengerti. Ada juga yang mempertimbangkan konsep “ayah yang baik” akan berubah karena anak mereka tahu bahwa ayah mereka pernah dipenjara. Namun, jika tidak ada intervensi apa pun juga anak akan melihat bahwa ternyata ia telah ditinggalkan ayahnya. Ayahnya tidak sayang lagi kepada keluarga. Perasaan tidak dicintai oleh sosok ayah sejauh pengalaman saya akan memberikan dampak psikologis bukan lagi janka pendek, tetapi jangka panjang (seorang profesional psikolog anak bisa menjelaskan hal ini lebih komprehensif).
Maka dari itu, pada tulisan ini saya lebih banyak bertanya dari pada harus menjelaskan gambaran umum bagaimana seorang ibu melakukan intervensinya kepada anak untuk mengatasi masalah ini. Hal ini bukan hanya permasalahan yang hanya cukup dengan memberikan edukasi satu atau dua kali kepada para perempuan sebagai ibu dalam situasi ini. Namun, jauh lebih panjang harus ada pendampingan profesional untuk membantu situasi ini tidak menjadi masalah berkepanjangan. Misal, bagaimana jika bagi anak yang telah melihat langsung bagaimana ayah mereka ditangkap dengan protokol polisi yang mereka anggap “tidak memanusian ayah mereka”, bukankah potensi balas dendam atau kebencian terhadap pemerintah melakukan ketidakadilan itu akan ada?
Semoga dengan tulisan ini menjadi salah satu pemantik perlunya diskusi lebih jauh untuk melakukan kerja bersama, baik antar organisasi masyarakat sipil maupun pemerintah untuk menganggap hal ini serius. Penting untuk melakukan rehabilitasi dan reedukasi bagi para napiter, tetapi penting juga untuk melakukan rehabilitasi dan reedukasi terhadap anak-anak mereka.