Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, terdapat peningkatan jumlah napiter perempuan pelaku terorisme. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan bukan hanya sebagai korban, tetapi juga sebagai pendukung dan pelaku terorisme. Jika tidak disikapi dengan serius, tidak menutup kemungkinan jumlah perempuan pelaku terorisme akan semakin bertambah.
Sayangnya, selama ini masih ada banyak hambatan untuk mengatasi masalah tersebut. Penyebabnya adalah kekurangan sumber daya, infranstruktur, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman untuk mendampingi narapidana terorisme. Beruntung, ada dua orang perempuan yang mau berdedikasi dan berkomitmen untuk mendampingi eks napiter terorisme dan menjadi wali napiter ketika mereka masih ada di dalam lapas.
Meskipun tidak bergerak dalam ruang dan payung yang sama, keduanya sama-sama memiliki motivasi yang mirip. Mereka menganggap prinsip Islam adalah Rahmatan lil ‘alamin. Eks napiter juga manusia dan merupakan bagian dari masyarakat. Sehingga keduanya merasa terpanggil untuk merangkul para perempuan napiter dan eks napiter terorisme.
Karakteristik para napiter terorisme rata-rata hampir sama. Mereka bersikap keras dan sulit didekati. Mereka juga memiliki pemahaman Islam yang kaku. Sehingga seringkali menganggap orang yang berseberangan pikiran dengan mereka sebagai thagut. Di antara para napiter perempuan itu, bahkan ada yang menyimpan dendam kepada Densus 88 karena menembak mati suaminya.
Sebagai pendamping wali napiter di Lapas Perempuan Bandung, Bu Suci Winarsih membagikan pengalamannya saat mulai mendampingi para napiter perempuan. Di awal pertemuan, ada napiter yang tidak mau menjawab salamnya. Ada pula yang tidak bersedia bertemu dengan tamu laki-laki. Untuk menghadapi napiter yang bersikap seperti ini, tentu wali napiter tak bisa serta merta menggungat pemahaman mereka yang keras. Apalagi jika hal itu menyentuh prinsip agama yang selama ini mereka anut.
Bu Suci membagikan ceritanya yang berjuang keras untuk memahami karakter tiap personal. Ia mengajak mereka untuk mengobrol tanpa adanya penghakiman. Jika ada napiter yang membawa bayinya di Lapas, ia berinisiatif untuk memberikan perhatian kepada anaknya terlebih dahulu. Di hadapan para napiter, ia memposisikan dirinya sebagai kawan, saudara, bahkan ibu. Hal ini juga terkonfirmasi dari pengakuan salah satu napiter yang ditanya bagaimana pendapatnya tentang Bu Suci.
Barulah jika kedekatan itu terbangun, Bu Suci pelan-pelan akan masuk untuk mengenali psikologisnya. Ia mengakui, semua napiter di Lapas pasti psikologisnya juga sempat terganggu. Apalagi para pelaku terorisme. Jika ada napiter yang telah mulai terbuka dan bertanya tentang pemahaman yang selama ini mereka anut, Bu Suci akan membuka ruang diskusi. Tak hanya itu, ia juga menghadirkan buku sebagai sumber literasi yang mengacu pada narasi Islam Moderat. Metode literasi ini ini terbukti berperan besar untuk mengubah haluan para napiter terorisme.
Lain halnya dengan Bu Silvia Rahmah sebagai pendamping eks napiter yang telah bebas. Ia menghadapi tantangan yang berbeda. Biasanya, eks napiter terorisme dikucilkan oleh masyarakat. Ia dilarang membeli dari warung-warung tetangga, anaknya juga tak diperbolehkan bergaul dan bersekolah di kampungnya. Ketika ia datang untuk mendampingi eks napiter, seringkali ia dianggap bagian dari kelompoknya. Sehingga, mau tak mau ia harus menjelaskan identitas dan tujuannya mengunjungi eks napiter.
Dengan terjun ke masyarakat, Bu Silvia paham bagaimana kesulitan yang dihadapi para eks napiter perempuan. Sehingga, ia juga berupaya mengedukasi masyarakat untuk mau menerima para eks napiter terorisme perempuan sebagai bagian dari mereka. Jika mereka dikucilkan di masyarakat, bukan tidak mungkin ia akan kembali ke kelompoknya yang berpemahaman keras, karena hanya dengan kelompoknyalah ia merasa diterima.
Hal ini dibenarkan oleh Pak Satori selaku anggota Densus 88. Dulu salah satu pelaku bom JW Marriot di Surabaya, membawa bom dari Solo ke Surabaya. Sebelumnya ia tidak berniat sejauh itu. Namun, tindakan masyarakat yang mengucilkannya mendorongnya untuk mengambil pilihan itu. Saat itu, istrinya hamil tua dan hendak melahirkan. Tak ada satu pun yang bersedia menolongnya. Hanya kelompoknyalah yang bersedia menolongnya. Sehinggai ia merasa punya hutang budi.
Lain halnya dengan Bu Suci, di dalam lapas ketika ia berupaya mendekati napiter terorisme kerapkali ia mendapat ancaman dari kelompok napiter melalui pesan Whats App. Sebagai bentuk pertahanan diri, ia merahasiakan keluarga dan alamatnya.
Hal positif yang didapatkan oleh para pendamping napiter perempuan ini mereka menyadari jadi lebih sabar. Mereka terlatih untuk menahan diri dan menurunkan egonya kala berinteraksi dengan napiter yang punya sifat keras. Selain itu, mereka juga tak segan-segan belajar ilmu agama lagi sehingga bisa mereka gunakan sebagai counter balik jika para napiter kukuh dengan argumennya.
Akhirnya kesabaran para pendamping napiter perempuan ini terbayar. Setelah beberapa tahun menjalankan proses pendampingan, sedikit demi sedikit para napiter perempuan berubah sikapnya. Memang tak semua bisa berubah sesuai yang diharapkan. Ada sebagian kecil napiter perempuan yang masih bersikap keras dan mengkafirkan orang lain yang berbeda pandangan dengannya. Namun, ada lebih banyak napiter yang bersedia kembali kepada keluarganya, kepada masyarakat, bahkan mau kembali berjuang untuk bertahan hidup.
Sekadar perubahan sikap untuk menjawab salam dari semua golongan dan mau menerima tamu laki-laki sudah perubahan yang besar. Beberapa dari para napiter ini atas kesadaran dirinya meminta dokumen pernyataan kesediaan mengakui dan bergabung dengan NKRI. Mereka memang membutuhkannya jika ingin mengurus administrasi seperti pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
Di antara para napiter banyak yang masih menganggap suaminya adalah imamnya. Sehingga ketika ia telah memutuskan perlahan kembali ke jalan yang lebih baik, ia akan tetap menunggu suaminya. Eks napiter perempuan bahkan bersedia untuk membimbing suaminya untuk kembali ke jalan yang benar dan memperbaiki pemahaman agamanya.