35.2 C
Jakarta
Minggu, 8 September 2024

Bagaimana Pengalaman Istri ketika Suami Ditangkap Sebagai Teroris?

Selama ini, media hanya fokus memberitakan hal-hal bombastis tentang narapidana terorisme laki-laki daripada keluarga yang ditinggalkan, seperti istri, anak, saudara, dan korban lainnya. Padahal, istri teroris dan keluarga menanggung beban hidup serta stigma-stigma negatif dari segala arah. Betapa kagetnya Bu Atun (nama samaran) ketika suaminya ditangkap oleh Tim Densus 88.

Bu Atun berusaha membela dengan berbicara kalau suaminya tidak bersalah dan ingin suaminya dikembalikan. Selama ini, Bu Atun tidak tahu-menahu mengenai aktivitas suaminya secara detail. Ia hanya mengetahui jika sang suami adalah praktisi pijat refleksi dan setiap harinya selalu melakukan perbuatan baik. Seperti rajin salat, sedekah, dan rutin ke pengajian.

Bu Atun tak berdaya ketika pasangannya ditangkap. Berhari-hari, Bu Atun kebingungan, bertanya-tanya, dan menganggap hidup ini tidak adil kepadanya. Namun, ketika ia melihat anak-anaknya yang sedang bertumbuh, Bu Atun perlahan berupaya untuk bangkit dari titik rendah. Bu Atun memiliki dua orang anak, yaitu Musa 12 tahun dan Dani 4 tahun.

Tadinya, Bu Atun sehari-hari mengerjakan pekerjaan rumah. Kini, suaminya ditangkap dan harus mendekam di penjara. Mau tidak mau Bu Atun harus bisa menghidupi dirinya sendiri dan kedua anaknya. Ia pernah bekerja di yayasan tapi tidak bertahan lama karena ditekan oleh atasannya dan selalu diungkit kalau ia merupakan istri dari teroris.

Bu Atun pun keluar dan melakukan pekerjaan apapun yang bisa ia lakukan asalkan halal, seperti mengajar privat dan berjualan mie ayam. Waktu itu, Bu Ayun bersyukur karena mendapatkan modal untuk pengadaan gerobak, pelatihan usaha, dan penyediaan bahan-bahan mie ayam oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Anak-anak menjadi sumber semangat Bu Atun untuk terus hidup, bekerja, melanjutkan, dan memperbaiki kehidupan yang sempat porak-poranda. Dengan sabar dan perlahan, Bu Atun telaten dan merintis usaha mie ayamnya. Pelanggan pun bertambah dan bersimpati dengan cerita kehidupan Bu Atun. Bu Ina, salah satu pelanggannya mengajak Bu Atun berkegiatan sosial agar bisa sejenak memberikan rasa tenang. Pada saat Ramadan, Bu Atun dan tetangga berbagi makanan untuk berbuka puasa.
Ternyata, berkegiatan sosial juga bisa mengembalikan semangat Bu Atun untuk terus hidup. Itu tak mudah, beberapa kali timbul keinginan untuk menyakiti dirinya. Tapi, Bu Atun berhasil mengalihkannya dengan berkegiatan sosial. “Jadi perempuan single parent itu berat, ditambah ada di keluarga teroris,” ucap Bu Atun.
Perjuangan yang Bu Atun lakukan begitu banyak, seperti untuk diri sendiri, mendidik anak agar tidak terjerumus kepada terorisme, meyakinkan lingkungan sekitar akan keberadaan dirinya yang tidak seperti suami, memikirkan cara agar anaknya tidak trauma, membuat ekonomi kekuarga terus berjalan, dan menjaga hubungan dengan keluarga. Sudah jatuh, tertimpa jagat raya. Bu Atun bertekad untuk memutus rantai terorisme, jangan sampai anaknya mengikuti jejak sang ayah.
Melansir dari Magdalene.co, kondisi istri terors cukup kompleks dan tak bisa diseragamkan kondisinya. Seperti Bu Atun, ia tidak tahu menahu kalau suaminya terlibat dalam kelompok terorisme. Bu Atun dan anak-anaknya merupakan korban yang kerap dilupakan oleh pemerintah dan masyarakat. Bu Atun harus menjaga mental dirinya dan anak-anaknya.
Pemberitaan mengenai keluarga teroris yang sangat sedikit di media mengakibatkan masyarakat menjadi apatis, sinis, dan anti terhadap keluarga teroris. Media pun melekatkan keluarga teroris dengan atribut dan aksesoris, seperti cadar. Stigma negatif tersebut berujung kepada diskriminasi sosial terhadap keluarga teroris (Jannah dan Lessy, 2024).
Bu Atun sampai sekarang masih sering merasa rendah diri dan tidak beruntung. Hal tersebut wajar terlintas. Meski kerap mendapatkan cemoohan, pengucilan, dan gunjingan dari masyarakat, istri teroris tetap memilih berfokus untuk mencari rezeki untuk dirinya dan anak-anak. Sang istri mendadak menjadi bapak sekaligus ibu untuk anak-anak. Stres kerap ia rasakan karena tidak mendapatkan dukungan dari pasangan dan memikirkan pasangan yang mendekam di penjara.
Tiap hari, istri teroris harus melawan stigma dan beban yang berlipat. Mereka perlu memiliki kemampuan resiliensi atau kemampuan individu dalam menghadapi cobaan yang dialami, mengatasi, menguatkan diri, dan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Orang dengan resiliensi mempunyai pandangan bahwa kesalahan bukanlah akhir dari segala hal (Jannah dan Lessy, 2024).
Bu Atun memandang kesalahan yang dilakukan oleh suaminya sebagai pembelajaran yang mahal harganya agar dirinya, keluarga, dan sekitarnya tak jatuh kepada lubang yang sama. Kemampuan resiliensi ini perlu dikuatkan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Istri teroris dan keluarganya perlu dukungan dari pemerintah tidak hanya dalam ekonomi.
Melainkan akses kesehatan mental, support system, maupun pendampingan. Perempuan korban terorisme mengalami beban ganda dan berlapis. Mereka sangat rentan sehingga perlu mendapatkan perhatian lebih agar tidak tergelincir ke dalam lubang yang sama. Bagaimana menurut kalian?

TERBARU

Konten Terkait