32.4 C
Jakarta
Jumat, 13 Desember 2024

Media Sosial dan Peran Remaja dalam Mencegah Radikalisme

Sebagian besar kelompok teroris berkonsentrasi pada ruang media. Mulai dari publisitas, penyebaran propaganda, perekrutan, pembentukan jaringan, dan mobilisasi. Sehingga media sosial digunakan sebagai alat untuk meradikalisasi oleh individu maupun kelompok untuk perubahan politis dan sosial, khususnya bagi remaja dan generasi muda. Media sosial yang efektif juga dapat membuat orang merasa terlibat langsung dalam suatu peristiwa dan menghubungkan mereka dengan berbagai sumber informasi.

Selain itu, media sosial dapat meningkatkan reaksi emosional seseorang sehingga mereka merasa terlibat langsung dalam peristiwa tersebut. Pemerintah telah melarang konten yang berkaitan dengan radikalisme dan terorisme. Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika Ditjen Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo menunjukkan bahwa Kominfo telah memblokir 11.803 konten dari tahun 2009 hingga 2019. Laporan tersebut menunjukkan bahwa 8.131 konten dari platform Instagram dan Facebook adalah yang paling banyak diblokir.

Terdapat 678 konten yang mengandung radikalisme dan terorisme diblokir di YouTube dan Google. Konten lainnya sebanyak 614 konten telah diblokir di Telegram, 502 konten filesharing, dan 494 konten di situs web. Data tersebut menunjukkan bahwa pemerintah ikut andil dalam mencegah radikalisme di media sosial, terutama Instagram. Dengan membuat konten positif dan membagikannya kepada teman-teman kita, kita dapat mencegah radikalisme di media sosial. Dari tahun 2009 hingga 2017, Kominfo penapisan atau memblokir 323 konten yang berkaitan dengan radikalisme dan terorisme. Ini termasuk 202 konten di situs web, 112 konten di Telegram, 8 konten di Facebook dan Instagram, dan 1 konten di YouTube.

Sementara selama tahun 2018, terdapat konten radikalisme dan terorisme sebanyak 10.499 konten diblokiri yang terdiri dari 7.160 konten di Facebook dan Instagram, 1.316 konten di Twitter, 677 konten YouTube, 502 konten di Telegram, 502 konten di file sharing, dan 292 konten di situs web. Sementara selama Januari sampai Februari 2019 telah dilakukan pemblokiran sebanyak 1.031 konten yang terdiri 963 konten di Facebook dan Instagram dan 68 konten di Twitter. Selain itu, pemblokiran juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pemerintah harus mengedepankan edukasi publik soal bahaya terorisme ataupun radikalisme, serta membuat publik melek media sosial supaya tidak cepat termakan oleh informasi-informasi yang menjerumuskan. Soal menyebarnya konten radikal, penyebar konten radikal itu tidak sembarang dalam menyasar target untuk mengikuti pahamnya. Sebelumnya, mereka akan melakukan profiling atau pengidentifikasian kepada target yang akan disasar, seperti latar belakang pendidikan dan agama.

Sangat penting untuk menghindari penyebaran ideologi radikal yang menggunakan kekerasan sebagai sarana aktivitas pergerakan penanaman ideologi Pancasila serta pendekatan agama. Pembelajaran nasional melalui organisasi kemahasiswaan adalah cara strategis, inovatif, terpadu, sistematis, serius, dan komprehensif untuk memerangi radikalisme. Dengan kapasitas dan kreativitas yang dimiliki remaja di Indonesia, diharapkan bisa turut ambil peran dalam pencegahan penyebaran terorisme dan radikalisme yang semakin marak akhir- akhir ini, antara lain :

1. Menggunakan media sosial dengan bijak
Tingginya tingkat penggunaan internet saat ini dimanfaatkan para pelaku teror untuk menyebarkan konten kebencian, benih ketakutan, dan hoaks. Jangan mudah terprovokasi, Selalu periksa kredibilitas informasi yang kamu baca dengan merujuk pada media berita nasional. Jangan terlalu gampang meneruskan video dan foto-foto yang dibagikan di chat group jika belum terkonfirmasi kebenarannya.

2. Melawan kebencian dengan kebaikan
Ada pepatah yang bilang, kejahatan merajalela bukan karena banyaknya jumlah penjahat. Tapi karena diamnya orang-orang baik. Menjadi pasif sesungguhnya tidak memperbaiki keadaan. Sikap demikian hanya menguntungkan teroris untuk semakin leluasa melancarkan aksi mereka.

3. Memperluas pergaulan dengan orang yang berbeda latar belakang
Cobalah menginisiasi pertemanan dengan orang-orang di luar inner circle kita biasanya. Jumlah teman tak harus banyak, yang perlu adalah keragaman latar belakangnya. Ini akan membuatmu jadi pribadi yang tidak cepat menaruh curiga dan melekatkan stigma. Jika remaja melulu bergaul dengan teman seagama, sesuku, atau sedaerah, sesungguhnya mereka sendiri yang kehilangan kesempatan untuk merasakan keunikan, keindahan.

TERBARU

Konten Terkait