Seperti yang sudah disinggung pada tulisan sebelumnya, Fatayat NU Jawa Barat adalah organisasi yang mencatat sebagai gambaran keberhasilan kepemimpinan perempuan dalam upaya pencegahan radikalisme-terorisme. Upaya yang mereka lakukan dengan dengan menggunakan pendekatan whole of government approach and whole of society approach, pendekatan di mana antara pemerintah dan sipil itu bekerja sama.
Dalam persoalan terorisme, para napiter perempuan biasanya didampingi oleh perempuan. Hal ini karena untuk mendekati napiter perempuan perlu memikirkan kebutuhan perempuan. Sehingga mampu melihat secara mendalam, masalah, latar belakang belakang, dan alasan mengapa perempuan tersebut terjerat dalam terorisme. Jika tidak didampingi oleh perempuan, maka perempuan akan termarginalkan dan tidak bisa melihat konteks kebutuhan serta alasan keterlibatan perempuan dalam terorisme yang lebih dalam.
Maka dari itu, ruang bagi perempuan untuk terlibat secara aktif dalam pencegahan dan pendampingan sangat penting. Konteks keterlibatan perempuan dalam pencegahan sudah dilakukan oleh Pengurus Wilayah (PW) Fatayat NU Jawa Barat. Kepemimpinan perempuan dalam konteks ini bisa dikatakan sebagai feminis leadership. Meskipun tokoh dalam feminis leadership tidak harus perempuan (red:laki-laki juga bisa) namun, titik poin yang perlu kita pahami adalah karakteristik pada gerakan yang dilakukan.
Di sisi lain, pemimpin perempuan dapat dikategorikan sebagai ikon feminis karena memiliki rekam jejak yang dekat dengan upaya perlindungan hak-hak perempuan. Dalam gerakan yang dilakukan oleh PW Fatayat NU Jawa Barat, adalah upaya pencegahan agar perempuan tidak jatuh dalam jeratan radikalisme, dengan melakukan advokasi Rancangan Aksi Daerah Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Teorisme (RAD PE).
Ada beberapa karakteristik yang dipahami dari gerakan yang dilakukan oleh Fatayat NU Jawa Barat, di antaranya: Pertama, courage (keberanian). Ada banyak ide yang out of the box, di mana tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Salah satunya, melakukan konsolidasi pengetahuan dengan hal-hal yang sederhana. Dalam upaya yang dilakukan PW Fatayat NU yang gawangi Neng Hannah memiliki cerita unik guna melakukan konsolidasi pengetahuan. Seperti mengajak satu-satu kepada warga untuk mengobrol dengan masyarakat, ke satu warung ke warung lainnya atau ke café. Bahkan sekedar makan bakso, merupakan salah satu wujud keberanian dalam dimiliki dalam feminis leadership.
Kedua, need (kebutuhan). Pemimpin yang feminis berbicara tentang kebutuhan yang ditemukan. Mereka tidak mengawang-awang berbicara konsep, akan tetapi karena melihat secara langsung di akar rumput. Berarti sudah memahami kondisi yant terjadi pada masyarakat.
Ketiga, fairness (keadilan) dan memiliki curiosity (keingintahuan) yang tinggi. Karena berangkat atas dasar pengalaman dan bergabung dengan masyarakat. Kepemimpinan feminis merasakan secara nyata, apa yang terjadi pada masyarakat. Atas dasar pengalaman itu, maka tindakan yang muncul adalah menciptakan keadilan dari semua pengalaman yang dirasakan. Tidak hanya itu, pengalaman-pengalaman tersebut memunculkan keingintahuan yang tinggi karena selalu mendapatkan temuan baru dalam setiap gerakan yang dilakukan.
Keempat, confidence (kepercayaan diri). Dalam konteks pemimpin perempuan, tidak banyak masyarakat yang memberikan kepercayaan penuh terhadap perempuan untuk mengambil keputusan atau melakukan gerakan yang lebih besar untuk menciptakan perubahan. Maka ketika, seorang perempuan menjadi pemimpin dan mendapatkan ruang tersebut. Kepercayaan diri selalu tumbuh untuk terus bergerak dan memberikan dampak lebih besar.
Kelima, pendekatan inklusif. Feminis leadership tidak bersikap otoriter. Ia melibatkan semua pihak untuk melakukan perubahan pada masyarakat melalui kerjasama multisektor, di mana setiap lembaga/individu/kelompok menjalankan perannya untuk mewujudkan perubahan. Dengan begitu, pendekatan inklusif ini juga mempertimbangkan setiap kelompok (utamanya kelompok rentan, terpinggirkan), menjadi sasaran objek dari kebijakan yang akan dirubahnya atau sasaran dari perubahan yang sedang diperjuangkan.
Ciri-ciri di atas setidaknya menunjukkan dari gerakan yang dilakukan oleh PW Fatayat NU Jawa Barat dalam upaya pencegahan radikalisme-terorisme. Tentu, sasaran paling utama dalam gerakan tersebut adalah perempuan, di mana sebagai kelompok yang paling rentan terpapar radikalisme. Dengan pendekatan multisektor yang diterapkan, pada faktanya mampu membuat perubahan di masyarakat. Fakta tersebut juga harus menjadi PR pemerintah untuk terus melibatkan perempuan dalam aksi pencegahan radikalisme-terorisme.