“Apakah ini saatnya aku meninggal?”, itu yang selalu Arum (bukan nama sebenarnya) pikirkan ketika ia mengikuti ibadah di gereja menjelang Natal.
Ia pasrah dan selalu terbayang dirinya akan meninggal karena dulu marak pengeboman gereja oleh kelompok teror. Bahkan, ia sempat tidak berani datang ke rumah ibadah. Saya pun terdiam sejenak mendengarkan pengakuan Arum tersebut. Tahun 2018 lalu, tiga gereja di Surabaya dibom. Pelaku pengeboman gereja berpikir kalau dengan dia menghancurkan tempat ibadah dan menghilangkan nyawa orang yang dianggap kafir, seperti sedang ‘berjuang di jalan yang benar dan berpahala sangat besar’.

Doktrin kekerasan sering kali diterapkan oleh pelaku yang hanya memahami kitab suci secara tekstual dalam kajian rutin. Mereka mengorbankan rasa kemanusiaan demi “membela agama”. Padahal, jika diperhatikan lebih dalam, ajaran agama sebenarnya mendorong manusia untuk lebih peduli terhadap sesama, berbagi, serta saling tolong-menolong di saat kesulitan.
Beribadah dan merayakan hari besar merupakan hak tiap warga negara yang memilih memeluk agama masing-masing. Namun, kelompok teror tidak bisa diam melihat kepercayaan lain tenang dalam beribadah. Mereka menganggap ‘cara beragama saya adalah yang paling benar, yang lain harus dimusnahkan’. Lebih mengejutkan lagi ketika pengeboman gereja di Surabaya, pelaku melibatkan perempuan dan anak.
Mereka adalah pelaku sekaligus korban dalam peristiwa teror. Lingkungan yang jahat dan tidak adil mendorong mereka untuk membuktikan kekuatan dan keahlian dengan cara yang salah, seperti mengaktualisasikan diri melalui aksi teror bom. Selama ini mereka memendam rasa kecewa dan tak berdaya karena selalu direndahkan dan didiskriminasi di dalam kelompok.
Lies Marcoes dalam Ngaji Keadilan Gender Islam (9/4/2021) mengungkapkan kalau bahwa perempuan-perempuan dalam kelompok teroris sering mendapatkan perilaku diskriminatif dari suami, ustaz, atau orang-orang terdekatnya. Perempuan yang dulunya hanya diperbolehkan menyiapkan persiapan logistik, dimanipulasi dengan ‘naik kelas’ dan tergabung dalam pasukan teror.
Dalam kelompok mereka, perempuan terus diteror dalam ranah privat dan ruang sosial, seperti kekerasan dalam rumah tangga, relasi antarindividu, yang termasuk konsep kepatuhan kepada suami, cara berpakaian, selalu dianggap sumber fitnah, dan menurunkan dosa. Mereka merasa perlu turut berpartisipasi dalam agenda yang dianggap mulia untuk membuktikan diri mereka mampu dan tak serendah anggapan kelompok yang selalu menomorduakan perempuan. Namun, emansipasi dengan cara melakukan gerakan teror ini salah.
Perempuan pelaku teror berpartisipasi sebagai pendakwah, pendidik, dan pengumpul dana.Saya tidak bisa membayangkan ketika saya beribadah harus dihantui oleh pikiran-pikiran ‘harus siap mati kalau terjadi bom’. Pergi ibadah bukannya merasa tenang, tetapi malah digentayangi oleh ancaman tak terlihat dan bisa terjadi kapan saja. Meskipun sudah dijaga ketat oleh aparat, kelompok, dan masyarakat secara sukarela di tempat ibadah, kecemasan pasti tetap menghantui karena pelaku secara licik mencari celah dan melakukan aksi teror terencana.
Perempuan oleh kelompok teroris dan masyarakat masih sering dipersepsikan sebagai makhluk yang lemah dan disepelekan. Maka, terkadang proses dan aksi perempuan luput dari perhatian. Pengeboman oleh perempuan dan anak mengejutkan dan perlu menjadi renungan. Sekali lagi, perempuan dan anak adalah pelaku dan juga korban. Agar kepemimpinan perempuan tidak dibajak ke arah yang salah.
Penting bagi kita untuk memberikan perhatian khusus terhadap pendidikan toleransi di lingkungan keluarga. Sikap diskriminasi harus dihindari, dan kita juga perlu aktif dalam pertemuan serta diskusi dengan berbagai komunitas dan latar belakang yang berbeda. Langkah-langkah ini diperlukan sebagai upaya pencegahan agar tidak terbentuk anggapan bahwa salah satu kelompoklah yang paling benar.
Apabila keluarga dan lingkungan mendukung untuk menghargai perbedaan, menjaga, dan merayakan keberagaman, kejadian-kejadian pengeboman tidak akan terulang. Ketakutan-ketakutan Arum ketika beribadah tidak akan terjadi lagi. Semua orang berhak beribadah dengan aman, nyaman, dan tenang. Bagaimana pendapat kalian? Mari menumbuhkan empati dan kepekaan dimulai dari diri sendiri.