Sudah lima tahun, tidak terasa saya sudah lima tahun bekerja di isu pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia. Sejauh ini, saya melihat keluarga seperti koin yang memiliki dua sisi di isu ini. Pertama, keluarga bisa menjadi alasan bergabungnya seorang individu pada aksi ekstrem. Kedua, keluarga juga bisa sekaligus dapat menjadi percepatan individu untuk bisa kembali pada pemikiran yang lebih baik dan positif.
Pada 23 Desember 2023 di Jakarta, saya diminta untuk menjadi moderator pada acara seminar yang dilakukan Division for Applied Social Psychology Research (DASPR). Seminar ini mengangkat tema pencegahan radikalisme di kalangan pemuda. Saya terkesan dengan salah satu narasumber, Febri Ramdani, seorang credible voice di Ruangobrol.id. dan sekaligus individu yang pernah berangkat ke ISIS.
Dalam presentasinya ia mengungkapkan bahwa 70% motivasinya untuk berangkat ke Syiria adalah keluarga (khususnya sang ibu).
Adapun sisanya dikarenakan fasilitas yang dijanjikan ISIS (25%) dan faktor ideologi (5%). Bahkan ia juga memaparkan sekilas sejarah keluarganya yang merupakan praktisi Nahdlatul Ulama (NU). Yang sudah kita tahu NU merupakan kelompok keagamaan Islam di Indonesia yang didirikan oleh Hasyim Asy’ari, kepala Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur, Indonesia yang erat kaitannya dengan akulturasi budayanya.
Cerita yang disampai Febri, mengingatkan kembali akan sebuah teori yang pernah saya baca karya Papalia & Martorell yang berjudul “Experience Human Development”, diterbitkan oleh McGraw-Hill Education pada 2013. Mengambil intisari dari beberapa bagian buku itu, saya melihat bagaimana periode anak usia 12-18 tahun atau disebut remaja, mengalami perkembangan yang beragam dan membingungkan. Perubahan itu tidak hanya secara fisik, tetapi juga emosional dan kognitif yang cepat.
Hal inilah, akhirnya saya tahu mengapa remaja seringkali mengalami perubahan suasana hati dan krisis identitas, seperti mempertanyakan dirinya siapa dan ingin menjadi apa? Dan menurut saya, hal ini menjadi penting. Seperti yang saya rasakan saat remaja, fase ini membuat saya lebih rentan menerima doktrin-doktrin yang mengarah pada intoleransi dan kebencian pada umat lain yang berbeda agama.
Saya juga merasa, di usia remaja, teman sebaya adalah orang paling dekat daripada orang tua atau keluarga. Sehingga, teman sebaya memiliki pengaruh yang signifikan pada anak dengan usia 12-18 tahun.
Hal ini juga sama halnya yang dikemukakan Nasir Abas dan Zora Sukabdi dalam bukunya “Jauhkan aku dari Terorisme” yang diterbitkan pada 2011 oleh Grafindo Khazanah Ilmu. Dua penulis ini menjelaskan, bahwa pertemanan menjadi sangat penting di usia remaja dan mempengaruhi banyak hal dalam hidup mereka terutama rentannya mereka dipengaruhi pemikiran radikal ekstrem. Oleh karena itu, menurut saya sangat mudah untuk melibatkan remaja dalam aktivitas terorisme.
Para remaja dimasukkan ke dalam konflik dan kelompok radikal melalui penggunaan propaganda yang ringan dan sederhana. Jadi, untuk memahami keterlibatan anak atau remaja dalam terorisme, faktor individu dan faktor lingkungan perlu dianalisis lebih dalam. Berdasarkan pengalaman pembacaan literatur saya, saya melihat faktor-faktor individual itu dari masalah kesehatan mental, depresi, trauma, kepribadian narsis, dan kepribadian impulsif seorang anak. Usia, tingkat pendidikan, dan keadaan ekonomi juga merupakan faktor-faktor yang dapat memengaruhi kecenderungan remaja memiliki paham radikalisme.
Faktor-faktor ini hampir sama dengan yang ada pada grup remaja yang dikatakan menyimpang, juga dikenal sebagai “geng” menyimpang. Lagi-lagi hal ini saya kutip dari sebuah tulisan yang berjudul “Gang Prevention: An Overview of Research and Program” yang diterbitkan pada 2010 oleh Juvenile Justice Bulletin. Howell menjeaskan bahwa remaja yang menjadi korban pelecehan dan memiliki masalah mental, ditelantarkan, dan berperilaku antisosial memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk bergabung dengan kelompopk yang menyimpang.
Sedangkan faktor lingkungan termasuk saya melihat itu dari sisi pertemanan, keluarga dan orang tua, pendidikan, dan hubungan dengan media sosial dan internet. Dalam Publikasi dan Media KPPPA pada 2020 yang berjudul “Berpikir Kritis, Hindari Anak dari Janji Manis Teroris” memberikan penjelasan bahwa faktor utama yang menyebabkan anak terpapar radikalisme dan tindak pidana terorisme adalah orang tua atau keluarga, majelis taklim, pertemanan, dan media sosial. Rasanya menyakitkan.
Saya melihat keluarga adalah ruang aman bagi anak. Namun ternyata keluarga menjadi salah satu faktor keterlibatan remaja pada kelompok terorisme. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. Sehingga, keluarga bukan hanya berkaitan dengan orang tua, tetapi bisa paman, nenek, atau kakek.
Tentu dalam banyaknya pemikiran tentang keluarga, saya melihat keluarga seharusnya menjadi rumah dalam arti yang sesungguhnya. Baik secara fisik tempat berlindung bagi seorang anak pulang, dan juga rumah dalam artian non fisik, yaitu ikatan. Didikan dan ideologi yang didapatkan dari keluarga bahkan saya lihat sulit secara emosional bagi seorang anak dapat melihat dan kritis terhadap kebenaran ideologi yang dimiliki orang tua atau wali asuhnya.
Maka dari itu, peran keluarga begitu penting bagi remaja. Rentannya usia remaja baik dari segi psikologis dan pergaulannya, menjadikan keluarga sebagai penentu yang dapat menentukan arah bagi anak. Apakah keluarga seperti yang sebutkan di awal sebagai sisi koin yang akan melibatkan anak dalam kelompok ekstrem? Atau malah sebaliknya menjadi ruang aman bagi anak untuk tumbuh dan berkembang secara sehat dan anti-kekerasan.