Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden sudah selesai. Ada satu lagi, pesta demokrasi yang tidak bisa dilewatkan, yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pilkada akan dilaksanakan secara serentak pada November 2024. Demokrasi menjamin adanya kebebasan setiap individu negara dalam menentukan segala sesuatu yang menjadi pilihannya. Kebebasan inilah yang menjadikan masyarakat seakan memiliki privilage yang kemudian memanfaatkannya dalam berbagai kesempatan yang ada. Berawal dari adanya demokrasi (baca: kebebasan) sampai gerakan yang justru menjadikan adanya sebuah batasan. Apakah ini terjadi sebagai sebuah kebetulan? Nayatanya tidak. Karena, hal ini sudah dipertimbangkan dengan berbagai kepentingan yang ada pada tubuh (sebut saja) kelompok ekstremisme tersebut.
Berbekal Ideologi Sampai Followers yang Kian Meningkat
Keberadaan kaum-kaum radikalis menjadi ancaman bagi stabilitas negara Indonesia, mulai dari politik, keamanan sampai ideologi. Pasalnya, kaum radikalis memiliki perbedaan ideologi yang cenderung ke arah penolakan terhadap ideologi Indonesia. Hal ini tentu menjadi ancaman bagi keutuhan negara Indonesia. Di media sosial, gerakkannya masif dilakukan untuk menarik minat masyarakat. Apalagi dengan kondisi “haus ilmu agama” atau keinginan beragama yang tinggi akan tetapi keilmuan yang masih tergolong awam.
Ini tentu menjadi angin segar dan kabar bahagia bagi kaum radikalis dalam menyebarkan sebuah propagandanya. Ada banyak propaganda yang dilakukan kelompok tersebut. Bahkan, propaganda yang dilakukan cukup laku dengan jumlah viwers di media sosial sampai followers yang cukup menjanjikan. Mereka kerap kali membuat meme yang membawa provokasi khususnya di media sosial seperti instagram, X, facebook dan lainnya.
Kelompok radikalis (salafi jihadi dan salafi takfiri) menggunakan label agama untuk memperlancar usahanya dalam menyebarkan sebuah propaganda dengan aksi-aksi yang menggunakan hukum Islam sebagai dasar pergerakan. Hemat penulis, mereka hanya menjadikkan Islam sebagai kedok untuk melancarkan misinya. Di sisi lain, Islam yang difahami masih secara tekstual tanpa adanya penalaran dan kontekstualisasi. Misalnya hukum-hukum peperangan, jihad dan lainnya. Yang disayangkan pesan Islam yang penuh cinta dan damai luput dari perhatian para kaum radikalis tersebut.
Kaum Radikalis dalam Pemilu
Pemilu menjadi momen yang menjanjikan bagi para kaum radikalis. Mereka menggiring asumsi publik pada aksi yang mereka canangkan. Kelompok jihadis yang cenderung pada penolakan demokrasi dengan mengusung khilafah ini berkiblat pada Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Adapun aksinya mengarah pada tindak kekrasan dan penyerangan-penyerangan. Sopar Peranto, peneliti dari Habibie Center mengataka bahwa individu dan kelompok yang tersindikasi ISIS tidak turut meramaikan pesta demokrasi. Lebih dari itu Sopar Peranto mengatakan bahwa pada momen inilah mereka melakukan sejumlah kegaduhan yang menjadi PR tehadap adanya proses pemilu.
Salah satu akun media sosial seseorang yang tersindikasi radikal membuat postingan dengan menyudutkan masing-masing paslon. Jika kita melihat betapa media sosial sangat berpengaruh bagi masyarakat Indonesia, maka hal inilah yang kini menjadi tantangan untuk keutuhan negara Indonesia. Al Chaidar mengatakan bahwa kelompok radikalis juga ingin menunggangi politik Indonesia untuk melancarkan perjuangannya dalam menjadikan negara khilafah di Indonesia. Kendati beberapa usaha yang dilakukan belum membuahkan hasil.
Upaya Pencegahan dan Penanganan
Menanggapi isu-isu ekstremisme sampai kekerasan di dalam masa-masa pesta demokrasi, pemerintah turut mengambil tindakkan. Hal ini bukan tanpa alasan melainkan demi keberlangsungan negara Indonesia. Apalagi jika melihat para korban (seseorang yang akhirnya terjerat radikalisme) dengan jumlah yang tidak sedikit dan cenderung masih sangat belia, maka pemerintah cukup aktif dan waspada agar masalah nasional ini bisa perlahan diminimalkan.
Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) menjadi salah satu upaya dalam mewujudkan adanya wacana dalam penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan. RAN PE mencakup 3 (tiga) pilar, yang di dalamnya meliputi pertama pilar pencegahan, yakni kesiapsiagaan, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi. Kedua pilar penegakan hukum, pelindungan saksi dan korban, dan penguatan kerangka legislasi nasional; ketiga, kemitraan dan kerja sama internasional. Dengan ini, RAN PE diharapkan menjadi soft solution dalam penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan.
Selain pemerintah, tentunya masyarakat yang memiliki kesadaran penuh dalam melawan ekstremisme juga turut andil untuk turut serta mengawal pesta demokrasi agar tetap berjalan dengan khidmad dan penuh kedamaian. Hal ini bisa dilakukan dengan gerakan-gerakan seperti di dalam lingkup keluarga sebagai kelompok paling kecil, komunitas, organisasi dan gerakan di bidang literasi, media dan lain sebagainya. harapannya Islam sebagai agama tidak ditunggangi oleh oknum-oknum yang bermabisi pada kepentingan pribadi.