Memahami Dinamika Polarisasi Politik di Era Media Sosial

Selama bertahun-tahun, pemilihan presiden telah menjadi salah satu momen paling penting dalam kehidupan politik sebuah negara yang bersistem demokrasi. Saatnya bagi rakyat untuk memilih pemimpin mereka, yang akan memengaruhi jalan negara selama lima tahun ke depan. Media sosial semakin penting saat ini dalam membentuk opini publik dan memengaruhi dinamika politik, terutama dalam pemilihan presiden.

Tidak diragukan lagi, efek positif dan negatif selalu ada. Kali ini, efek negatifnya adalah polarisasi politik yang dihasilkan oleh media sosial. Di Indonesia sendiri, pemilu tahun 2024 telah selesai dan Pilkada serentak akan segera terlaksana. Sebagai generasi muda harus siap menghadapi tantangan polarisasi politik, yang mana fenomena tersebut selama setiap pemilu.

Memahami Dinamika Polarisasi Politik di Era Media Sosial

Polarisasi politik adalah suatu fenomena di mana orang berbagi pendapat dan perspektif karena politik. Berbeda pendapat tentang masalah, ideologi, kebijakan, dan identitas dapat menyebabkan perpecahan atau pembelahan ini. Hasil pemilu dan politik secara keseluruhan dapat sangat dipengaruhi oleh peran polarisasi dalam pemilu. Jika masyarakat terbagi menjadi dua kubu yang saling bertentangan, permusuhan, intoleransi, dan ketidakadilan dapat muncul selama pemilihan.

Ini dapat menyebabkan pemilih berfokus pada identitas atau afiliasi politik dan mengabaikan program dan kebijakan kandidat atau partai. Selain itu, polarisasi memiliki potensi untuk meningkatkan konflik sosial dan politik yang sudah ada di masyarakat. Polarisasi dapat mengancam integrasi dalam masyarakat dengan memperburuk konflik yang suda ada dengan isu-isu lain. Selain itu, polarisasi dapat menurunkan kualitas demokrasi dengan memperlemah dukungan terhadap keputusan bersama dan memperkuat sikap oposisi.
Polarisasi juga dapat membuat proses keputusan menjadi sulit dan mengganggu stabilitas politik.

Ketidakpercayaan pada pemerintah dan institusi juga meningkat karena polarisasi, seperti media dan lembaga penegak hukum. Hal ini dapat terjadi ketika individu merasa bahwa pemerintah atau institusi tersebut hanya melayani kepentingan kelompok tertentu atau tidak berpihak pada pandangan mereka sendiri. Selanjutnya, peningkatan teknologi informasi dan komunikasi, seperti media sosial, memperkuat polarisasi. Opini publik yang semakin terpecah di media sosial menunjukkan polarisasi politik masyarakat di dunia maya.

Ini menyebabkan perbedaan pendapat, perilaku politik, dan pembagian sosial. Media sosial tidak hanya memberi tahu orang tentang masalah yang harus dipertimbangkan, tetapi mereka juga memberi tahu orang tentang cara bertindak terhadap masalah tersebut. Ini menempatkan negara dalam bahaya yang signifikan, terutama menjelang pemilihan umum, ketika media massa. Baik yang konvensional maupun daring, memiliki peluang untuk memasukkan kepentingan politik tertentu dalam pemberitaan mereka.

Hasil survei yang dilakukan oleh CIGI dan Ipsos menunjukkan bahwa sekitar 58% orang Indonesia setuju bahwa media sosial dapat meningkatkan polarisasi politik, hanya 6% yang merasa polarisasi politik berkurang, dan 37% lainnya tidak merasakan dampak apa pun. Polarisasi politik terjadi ketika masyarakat terbelah dalam dua kutub bersebrangan karena isu, kebijakan, atau ideologi. Media sosial dapat memperkuat pembagian antara kelompok-kelompok politik yang berbeda.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami bagaimana penggunaan media sosial dapat memengaruhi persepsi dan pandangan kita terhadap isu-isu politik. Namun, perlu dicatat bahwa dampak media sosial terhadap polarisasi politik tidak hanya terjadi di Indonesia. Di seluruh dunia, sebanyak 47% responden tidak menganggap ada dampak polarisasi politik dari penggunaan media sosial. Meski demikian, sebanyak 44% responden menilai polarisasi politik meningkat dan hanya 8% responden yang menyatakan adanya penurunan polarisasi politik di media sosial.

Untuk menghindari terjebak dalam filter balon yang dapat memperkuat polarisasi, kita harus berhati-hati saat menggunakan media sosial dan memastikan bahwa kita mendapatkan informasi dari berbagai sumber. Perdebatan dan retorika kampanye juga dapat menunjukkan dampak polarisasi dan filter bubble pada pemilihan presiden. Pihak-pihak yang terlibat dalam politik dapat menggunakan pesan-pesan yang lebih radikal dan emosional untuk memobilisasi basis mereka.

Ini dapat meningkatkan ketegangan politik dan menyebabkan lingkungan yang kurang kondusif untuk percakapan konstruktif. Selain itu, hal ini juga dapat menyebabkan peningkatan penggunaan retorika yang memecah belah dan polarisasi dalam upaya untuk memenangkan pemilih. Akhirnya, pengaruh polarisasi dan filter bubble dapat memengaruhi cara pemilih menerima dan mengolah informasi selama pemilihan presiden.
Mereka cenderung mencari konfirmasi terhadap pandangan mereka sendiri, yang menguatkan keyakinan mereka yang sudah ada.

Sementara meremehkan atau mengabaikan pandangan yang berlawanan. Ini membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih sulit, karena pemilih memiliki akses terbatas pada berbagai sudut pandang yang beragam. Dalam pemilihan Pilkada Serentak 2024, penting untuk memahami bahwa pengaruh polarisasi dan filter bubble bukan hanya memengaruhi cara kampanye politik dilakukan. Akan tetapi, juga bagaimana pemilih mendekati dan memahami proses pemilihan itu sendiri.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top