Ini adalah kenyataan bahwa kaum muda, terutama anak-anak, terlibat dalam radikalisme dan terorisme keagamaan. Setiap peristiwa kekerasan atau terorisme keagamaan selalu melibatkan sekelompok anak remaja, baik di tanah air maupun di belahan dunia lain. Mengingat fakta ini, kebijakan dan program deradikalisasi baru harus dibuat yang secara khusus mengutamakan anak remaja.
Sebagian besar peristiwa radikalisme dan terorisme di Indonesia selalu melibatkan anak remaja. Anak remaja selalu menjadi pelaku aktif, meskipun mereka tidak dapat berfungsi sebagai ideolog atau mentor spiritual. Satu keluarga, termasuk anak-anak, bertanggung jawab atas semua peristiwa tersebut. Keterlibatan kaum muda di balik fenomena terorisme bahkan lebih mencengangkan. Sebagai contoh keterlibatan kaum muda pada aksi terorisme adalah pengeboman yang terjadi di Surabaya pada 2018, lalu.
Serangan bom di beberapa tempat tersebut ternyata adalah satu keluar dan terdapat anak-anak berusia 10 tahun ke bawah yang menjadi pelaku kekerasan dan bom bunuh diri. Artinya, anak-anak telah menjadi korban radikalisasi ideologi keagamaan oleh para orang tua yang seharusnya menjadi penjaga ideologi bagi anak-anaknya. Kepenganutan kaum muda terhadap ideologi radikalisme merupakan isu yang harus dicermati di tengah bonus demografi yang tengah berlangsung di negeri ini.
Kementerian Perencanaan Pembangunan memperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada 2045 mencapai 321 juta jiwa. Adapun jumlah penduduk dengan usia produktif, diperkirakan mencapai 209 juta jiwa. Jika ledakan usia angkatan kerja produktif tidak dikelola secara baik, bonus demografi dapat menjadi musibah daripada berkah. Pada gilirannya, ledakan penduduk bisa menimbulkan berbagai bentuk patologi sosial seperti kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, ketimpangan sosial, dan semacamnya. Dalam kondisi semacam ini, paham radikalisme keagamaan rawan menjangkiti para remaja.
Mengapa harus remaja? Bagi para pelaku radikal, usia remaja menjadi potential recruit yang mudah dibujuk “narasi tipis” ideologi radikalisme. Anak remaja adalah segmen usia yang rentan terhadap keterpaparan paham keagamaan radikal. Kebanyakan pakar radikalisme dan terorisme menunjuk pada faktor psikologis-sosial sebagai pemicu keterlibatan anak muda dalam fenomena radikalisme seperti (1) krisis psikologis, (2) identifikasi sosial, (3) pencarian status, dan (4) balas dendam terhadap ”musuh”.
Dalam rangka mengantisipasi semakin maraknya keterlibatan remaja dalam pusaran ideologi radikalisme, negara perlu mempertimbangkan hal-hal berikut: Pertama, membuat materi dan teknik deradikalisasi yang sesuai dengan sifat psikologis remaja. Harus diakui bahwa program deradikalisasi negara ini tidak menggunakan teknik atau materi yang menggugah, menginspirasi, dan relevan dengan kebutuhan mental dan psikologis remaja. Sebabnya adalah bahwa target program deradikalisasi selama ini adalah kelompok usia dewasa.
Kedua, program ini telah berkembang ke wilayah yang sebelumnya dianggap privat, seperti rumah. Selama ini, program BNPT untuk deradikalisasi hanya melibatkan ormas keagamaan dewasa yang terbatas. Jumlah remaja yang tidak terlibat dalam program deradikalisasi jauh lebih besar dalam konteks ini. Ketiga, mengatasi dislokasi dan deprivasi sosial para remaja melalui program pelibatan sosial (social inclusion). Selama ini, proses kognitif dan psikologis remaja kurang terawasi dengan baik oleh orang-orang dewasa di sekitarnya.
Mereka menjadi radikal karena komunikasi sosial mereka dengan orang-orang terdekat terputus. Solusinya, baik anak-anak maupun harus sesering-seringnya diajak berdialog dan berkomunikasi dengan orang dewasa.
Keempat, menanamkan wawasan keagamaan dan kebangsaan. Harus diakui bahwa perspektif keagamaan generasi muda lebih jauh terpisah dari perspektif kebangsaan. Akibatnya, keyakinan keagamaan mereka menjadi tidak jelas, abstrak, dan antisosial. Dalam situasi seperti ini, pemahaman keagamaan dapat menyebabkan loyalitas yang terpisah, atau loyalitas terpisah, di kalangan remaja. Loyalitas terhadap prinsip-prinsip keagamaan berkorelasi negatif dengan loyalitas terhadap negara dan kebangsaan mereka.
Kelima, role model yang dapat digunakan sebagai rujukan dan panutan dalam kehidupan keagamaan remaja harus dibuat. Namun, karena kehidupan bangsa ini lebih banyak dijejali figur “pendosa” yang tidak patut dicontoh, anak-anak remaja kita mengalami krisis keteladanan di kalangan orang dewasa. Menemukan sebuah jarum di tengah onggokan jerami kering adalah seperti menemukan orang dewasa yang patut dicontoh bagi anak muda kita.