Dalam dunia politik dan pemilu, setiap individu memiliki ambisi untuk berkuasa atau memegang kendali. Olehnya itu, banyak hal dilakukan untuk mencapai ambisi tersebut. Bukan tanpa alasan bahwa setiap kekuasaanpun memiliki tujuan tertentu baik kearah yang maslahat ataupun yang justru menimbulkan mudharat. Kendati demikian, keduanya seolah tidak nampak di pelupuk mata dan terhipnotis oleh nafsu-nafsu kuasa. Tak jarang, orang melegalkan banyak cara untuk memuluskan aksinya.
Berkaitan dengan ini, kita sudah tak asing lagi dengan jaringan-jaringan kaum radikal dengan berbagai aksinya. Bukan menjadi masalah besar jika gerakkannya hanya masalah tarbiyah atau pengenai saranan belajar mengajar. Yang menjadi masalah besar yakni ketika sudah masuk ke ranah jihadi dan kekerasan. Bahkan kaum-kaum ekstremis juga mengancam demokrasi Indonesia. Lebih dari itu ambisi membangun negara khilafah juga cukup mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Agama menjadi santapan hangat sebagai tunggangan seseorang dalam mencapai apa yang diinginkan. Mengapa demikian? Hemat penulis, agama adalah suatu hal yang dianggap sakral bagi seseorang. Sehingga apa yang dikatakan atas nama agama menjadi hal yang bernilai sebagai sikap transendental manusia dan tuhan. Sayangnya, hal ini kadang dimanfaatkan seseorang unutuk membangun misinya dengan menyantumkan agama sebagai label kesalehan dan lainnya.
Misalnya mengenai gaya busana, produk skin care, makanan dan yang tak ketinggalan yakni masalah politik. Kendati Islam merupakan sebuah kepercayaan, nyatanya sistem perpolitikan juga dibahas dalam Islam, Nabi sebagai utusan Tuhan juga memiliki peran ganda yakni menjadi seorang nabi an juga menjalankan perpolitikan pada masanya. Kemudian, sistem perpolitkan ini dilanjutkan oleh para sahabat sampai menjadi sebuah dinasti-dinasti Islam. Atas pengaruh perkembangan maka beberapa negara dengan penganut sistem politik islam perlahan beralih.
Salah satunya, Turki masa Mustafa Kemal At-Taturk setelah digulingkannya kepemerintahan Turki Utsmani. Di sisi lain, Mesir yang pada saat itu mendapat krirsis multidimensal dan banyak mendapat pengaruh westernisasi yang kemudian menjadi sebab kemunculan Ikhwanul Muslimin pada tahun 1928 oleh Hasan Al Bana dengan tujuan memurnikan kembali ajaran-ajaran Islam. Ajaran ini dikenal dengan Islam fundamentalis dan bertujuan mendidirika negara khilafah. Singkatnya, Ikhanul Muslimin menjadi sebab beberapa gerakan islamis hingga kini.
Hal ini terjadi dikarenakan oknum-oknum radikalis/jihadis banyak diantaranya merupakan salah satu anggota dari Ikhwanul Muslimin. Dari sini dapat kita fahami bahwa, gerakan islamis di Indonesia tidak datang begitu saja melainkan memiliki sejarah yang begitu panjang. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa di dalam politik memiliki ambisi untuk berkuasa atas suatu hal. Kemudian Islam memiliki sejarah
perpolitikan pula, sayangnya tidak semua orang bisa memahaminya dengan cara yang kontekstual.
Melainkan tekstual berlandaskan teks-teks keagamaan (baca: Alquran dan hadis) tanpa disandingkan dengan disiplin ilmu dan konteks lainnya. Sehingga, gerakan-gerakan seperti antidemokrasi, pancasila dan lainnya kerap muncul dengan alasan atau dalih agama. Hal yang perlu diperhatikan, yakni bagaimana menyesuaikan antara kebutuhan dan kondisi masa lalu dengan masa kini dengan adanya berbagai macam pengaruh sosial dan geografisnya.
Di sisi lain, misi agama mengenai pesan damai dan cinta-pun juga kerap dilupakan. Padahal Islam sebagai sistem politik juga menghendaki adanya konsep dari nilai-nilai Islam seperti kedamaian dan cinta. John Turner juga menegaskan bahwa Islam merupakan hubungan Internasional bukan objek dari ortodoksi dari hubungan internasional. Atau dalam kata lain, Islam jika disandingkan dengan kepentingan politik membawa sejumlah pesan dan nilai dari Islam bukan sebuah ideologi atau ortodoksi yang berisi masalah eksistensi belaka.
Hemat penulis, radikalisme di Indonesia menjadi semakin marak karena berkaitan dengan pahaman utopis dari seseorang mengania surga dan neraka. Sehingga, orang-orang awam turut tergerus dengan adanya paham radikalis sampai kekerasan seperti melancarkan serangan bom dan aksi teror lainnya. Di bulan-bulan politik (baca:pemilu) gerakan kaum radikalis semakin anarkis dengan paham-paham yang dicuatkan khususnya di dalam media sosial. Terdapat penggiring adanya asumsi publik mengenai sistem demokrasi yang ada di Indonesia.
Media sosial menjadi salah satu panggung para kaum radikalis melihat banyaknya masyarakat yang menghabiskan waktunya di dalam genggaman internet. Tak sampai di sini, media sosial banyak menawarkan berbagai hal termasuk kecepatan dalam mengelola informasi. Tak heran penganut paham radikalis juga emakin anarkis dan pegikut yang cukup menjanjikan untuk menyebarkan provokasi. Hari-hari pemilu menjadi saat-saat yang kerap digunakan mengingat ini merupakan momentum demokrasi sebagai suatu hal yang sangat bertolak belakang dengan ideologi yang dianut oleh para paham radikalis. Sehingga, aksi-aksinya semakin memanas di saat-saat seperti ini. Wallahualam bishshawab