Media sosial seperti Instagram, TikTok, Facebook, dan Youtube serta platform media online lainnya merupakan ruang yang sangat ciamik untuk mempromosikan sesuatu. Jangkauannya jauh lebih besar dibandingkan dengan media massa. Utamanya TikTok, beberapa waktu belakangan ini, ia menjadi aplikasi yang paling digandrungi oleh gen Z dengan penerapan FYP yang berfungsi untuk mencari massa di media sosial. Platform media sosial juga dimanfaatkan untuk mengkampanyekan Pemilu dalam rangka menyebarkan ide, gagasan politisi kepada masyarakat.
Namun, masalahnya adalah Pemilu tahun 2024 diwarnai dengan politik identitas, polarisasi politik, infodemi elektoral dan perilaku buzzer. Argumen ini berdasarkan dari pengalaman Pemilu sebelumnya (red: tahun 2019), serta berbagai peristiwa kampanye yang sudah dilakukan oleh para pasangan Capres-Cawapres dalam berebut massa. Jika menilik beberapa Pemilu yang sudah dilaksanakan pada masa silam, politik identitas agama terjadi pada Pilpres tahun 2014, Pilkada Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 serta Pilpres tahun 2019.
Tiga masa pemilihan ini memicu ketakutan masyarakat tentang penggunaan identitas agama untuk mencuri massa dan menghalalkan segala cara agar mendapat perhatian dari masyarakat. Sebagai bagian masyarakat sipil, penting sekali untuk menyuarakan pendapat, masukan bahkan kritik terhadap cara para politisi untuk mengambil suara rakyat. Hal ini karena berkaitan dengan cara masyarakat untuk hidup di masa yang akan datang.
Seharusnya, perbedaan pilihan dalam Pemilu tidak boleh menciptakan perpacahan antar masyarakat. Menyongsong perdamaian dalam Pemilu, seharusnya menjadi landasan setiap individu untuk menghindari perpecahan di masa yang akan datang. Politik identitas, apapun bentuknya, mulai dari suku, rasa, antargolongan terutama atas nama agama (SARA) akan mengotori ruang publik.
Hal ini bisa dilihat dari Pemilu tahun 2014 dan Pemilu 2019. Kubu yang memperjuangkan ideologi nasionalis demokratis berhadapan dengan kubu yang memperjuangkan nilai-nilai Islam yang dikhawatirkan untuk pembentukan ideologi negara agama. Padahal isu identitas agama dalam politik Indonesia mestinya sudah berakhir sejak perdebatan Pancasila sebagai ideologi sejak tahun 1945 hingga tahun 1957.
Muncul politik identitas agama (Islam) karena dipercaya dapat meningkatkan popularitas dan bisa mengumpulkan suara masyarakat. Disamping karena masyarakat Muslim adalah kelompok mayoritas di Indonesia, hal ini juga karena ajaran Islam memiliki tingkat penerimaan sangat tinggi oleh masyaralat. Oleh karena itu, memanfaatkan ajaran agama (Islam), bisa dikatakan sebagai bahan yang ampuh untuk mendapatkan suara masyarakat utamanya dalam ranah politik. Pada Pemilu tahun 2024, salah satu politik identitas yang masih jelas terekam pada momen kampanye.
Salah satunya, ketika ulama Jawa Barat memberikan fatwa wajib untuk memilih pasangan Anies-Muhaimin. Fatwa yang dikeluarkan oleh tokoh agama. Hal ini menciptakan polarisasi di tengah-tengah masyarakat. Mengapa demikian? Potensi terpecah belah antar pendukung sangat besar karena pengaruh agama itu sendiri. Tidak hanya itu, fatwa tersebut juga ramai diperbincangkan di media sosial, bahkan menjadi bahan pembicaraan netizen dan menciptakan budaya digital saling menghujat satu sama lain.
Media Sosial: Pemecah atau Pemersatu?
Kita memahami bahwa media sosial menjadi ruang yang tidak terbatas untuk memberikan informasi atau berpendapat sebebas apapun. Artinya, perbedaan pilihan yang pada mulanya dimiliki oleh masing-masing individu, sudah bisa diekspresikan di khalayak melalui media sosial. Kenyataan ini membuat setiap pengguna media sosial akan berkomentar terhadap pendapat yang kita sebarkan di media sosial.
Dalam konteks pemberitaan atau informasi fatwa wajib memilih salah satu paslon tersebut, tentunya dibuat heboh dengan informasi itu. Banyak yang berkomentar tidak setuju atau justru menanggapi dengan banyak pendapat. Tidak hanya itu, masyarakat di Indonesia bukan hanya terdiri dari masyarakat Muslim saja, akan tetapi sangat beragam. Artinya, adanya fatwa wajib justru membuat masyarakat Muslim di kalangan internal sendiri akan terpecah belah.
Dalam konteks ini, fungsi media sosial bisa menjadi alat perang dari kelompok yang memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda. Ditambah lagi dengan adanya buzzer, semakin menguatkan peperangan yang terjadi di media sosial. Dalam memahami persoalan ini, pengguna media sosial, kita semua sebagai masyarakat, sudah semestinya memiliki pengetahuan dan literasi yang cukup dalam memahami konteks sosial.
Literasi media juga sangat penting dimiliki agar tidak semakin melebur pada keributan yang terjadi di media sosial. Dengan begitu, kita gampang terlena dengan viral, selebritas ataupun konten FYP yang bisa dikenal oleh khalayak.