Jika kita perhatikan, dalam sejumlah kampanye yang dilakukan oleh para politisi, beberapa waktu lalu. Banyak dari mereka yang menyinggung narasi sejarah dan relevansinya terhadap kehidupan bangsa di masa depan. Sayangnya, dalam banyak kasus, para calon wakil rakyat ini kerap memilintir jejak sejarah yang ada untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya tanpa memerhatikan bagaimana fakta dan data sebenarnya. Kekeliruan dalam penyampaian narasi ini tak ayal membuat publik yang mayoritas literasi politiknya masih rendah.
Kemudian terpelintir dalam kebohongan demi kebohongan yang akhirnya justru meruncingkan polarisasi masyarakat. Risiko peningkatan polarisasi ini dilandasi oleh fakta bahwa pemahaman sejarah publik kita belum memadai. Banyak individu terutama di Indonesia melihat sejarah hanya sebatas sebagai pelajaran sekolah yang tidak menarik untuk digali. Alasannya beragam, dari pendekatan guru yang mononton dan anggapan sejarah sebagai bagian dari masa lalu, yang tidak akan berpengaruh pada kehidupan masa depan.
Selain itu, sistem pendidikan yang kurang menekankan pada pembelajaran sejarah secara menyeluruh membuat materi sejarah hanya diajarkan sebagai fakta-fakta tanpa konteks, dan latar belakang yang komprehensif. Tak ayal, para siswa melihat sejarah hanya sebagai hafalan tahun dan nama pahlawan yang akan keluar di soal ujian. Belum lagi persoalan akses terhadap sumber-sumber sejarah yang berkualitas yang amat terbatas. Buku, dokumenter, dan sumber-sumber online yang tidak selalu mudah diakses dapat membatasi pemahaman publik.
Beberapa sumber terpercaya bahkan dulu sempat dilarang oleh pemerintah dengan alasan menjaga stabilitas politik. Potensi pemelintiran sejarah kian menjadi-jadi ketika banyak media massa di era digital kini hanya menampilkan sejarah dalam bentuk sensasional atau klise. Melalui judul clickbait hingga narasi bombastis, tak heran banyak hoaks yang beredar dan ini mengakibatkan pemahaman sejarah publik menjadi tidak komprehensif. Oleh karenanya edukasi sejarah di akar rumput perlu terus diperkuat.
Salah satu caranya adalah mengajak Masyarakat agar lebih aktif terlibat dalam menggali dan memahami masa lalu bangsa. Tidak harus melalui kunjungan museum, tapi bisa melalui cangkrukan atau nonkrong di warung kopi dengan menghadirkan aktivis dan sejarawan yang mau berbagi mengenai perspektifnya. Tidak hanya itu, kita juga perlu mendorong pemerintah agar jauh lebih terbuka dalam menyikapi diskusi-diskusi publik yang bertujuan untuk membongkar masa lalu dari perspektif korban, bukan hanya dari penguasa.
Selama ini pemerintah kerap bersikap tertutup dengan melarang gelaran film atau diskusi publik yang berkenaan dengan persitiwa masa lampau. Padahal, dengan memberikan landasan untuk memahami akar penyebab, perkembangan, dan pola-pola yang mendasari fenomena sosial-politik melalui sejarah. Kita dapat melacak asal-usul ideologi, konflik, dan ketegangan yang membentuk ekstremisme.
Selain itu, pengetahuan tentang sejarah membantu kita memahami bagaimana faktor-faktor historis. Seperti kolonialisme, perang, dan ketidakadilan politik telah membentuk narasi dan identitas kelompok yang menjadi dasar bagi ekstremisme. Bila pendekatan seluruh pihak akan sejarah baik itu dalam bentuk mata pelajaran di sekolah maupun konten di media sosial tidak berubah ke arah yang lebih terbuka, risiko polarisasi akan terbuka lebar. Fakta telah memperlihatkan bagaimana kelompok ekstremis di berbagai belahan dunia memanfaatkan ini agar tujuan mereka tercapai.
Misalnya, bagaimana kondisi sosial politik yang sedang terpuruk kemudian dimanfaatkan oleh politisi yang berkepentingan dan ISIS untuk memecah belah masyarakat yang mengakibatkan negara di Timur Tengah tersebut harus porak poranda. Melalui penyalahgunaan kondisi sosial-politik yang rapuh, politisi yang opportunistik dan kelompok seperti ISIS mampu memanfaatkan ketegangan tersebut untuk kepentingan mereka sendiri. Hal ini menghasilkan pembelahan dalam masyarakat yang semakin dalam, melemahkan struktur sosial dan politik yang ada.
Konsekuensinya, tidak hanya Suriah yang mengalami krisis multidimensional, tapi juga negara tetangganya terperosok ke dalam kekacauan dan kerusakan yang mendalam, menghadapi tantangan besar dalam membangun kembali stabilitas dan kohesi sosial-politik yang hilang. Dengan demikian, memahami sejarah memungkinkan kita untuk merumuskan pendekatan yang lebih efektif dalam mencegah dan mengatasi tantangan ekstremisme dalam konteks masa kini. Terlebih, kini kian banyak politisi yang menghalalkan berbagai cara agar dapat mendulang suara rakyat sebanyak mungkin tanpa memikirkan konsekuensi negatif atas tindakannya tersebut.