Ada pertanyaan menarik yang masuk ke saya via akun Instagram ketika memposting pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang pernah dilakukan oleh Prabowo Subianto terhadap penculikan aktivis 98 silam. Dalam postingan cerita itu, saya membagikan gambar yang berisi pelanggaran oleh Prabowo Subianto dalam buku “Kronik Penculikan 98” yang ditulis oleh Muhidin A. Dahlan.
“Bagaimana dengan politik identitas yang selama ini melekat kepada Anies Baswedan,” pertanyaan itu saya baca pelan-pelan.
Jika menilik latar belakang politik Anies Baswedan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2017 telah menjadi fenomena dan menjadi perhatian masyarakat. Bukan hanya publik DKI Jakarta, tapi juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Munculnya kasus penghinaan AlQuran Q.S. Al-Maidah [5]: 51 oleh salah satu pasangan calon (Paslon) telah membangkitkan semangat keberagamaan umat Islam. Dari hal tersebut, muncul aksi damai 212 untuk datang berunjuk rasa di Jakarta, menjadi bagian yang sangat fenomenal.
Aksi ini disinyalir menjadi kuatnya hubungan antara agama dengan negara yang kemudian disebut politik identitas. Anies Baswedan dikenal sebagai politisi yang kerapkali disebut sebagai aktor dari menguatnya politik identitas itu sendiri. Identitas agama Islam ini sangat kuat dengan hadirnya kelompok Muslim kanan yang menyebabkan polarisasi politik yang begitu besar pada masyarakat.
Ditambah dengan dukungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dianggap sebagai sarangnya kelompok Muslim kanan, yang menyerukan pendirian negara khilafah di Indonesia. Hal tersebut semakin menguatkan citra Anies Baswedan sebagai politisi yang dikenal dengan politik identitasnya. Namun, menggandeng Muhaimin Iskandar, di mana latar belakang keagamaannya adalah kelompok Islam tradisionalis (red; NU) yang menyerukan toleransi dan perdamaian. Arah politik Anies Baswedan dianggap sudah berubah.
Dengan begitu, citra Anies Baswedan perlahan mulai runtuh dengan karakter politik identitas dengan kehadiran Muhaimin Iskandar. Namun, jika melihat partai Gelora yang menjadi salah satu partai pendukung Prabowo-Gibran, maka kita justru melihat politik identitas sangat kuat. Sebab dalam partai Gelora, bisa dikatakan sebagai sarang kelompok Islam konservatif. Namun, citra Islam konservatif lebih melekat kepada Anies Baswedan dengan beberapa peristiwa yang pernah terjadi pada masa jabatannya.
Bagaimana Kita Sebagai Masyarakat?
Berupaya untuk menjaga keutuhan negara-bangsa, merawat demokrasi adalah pilihan tentang bagaimana negara dan kekuasaan dikelola. Hal tersebut sudah lama dikonsolidasikan sejak Reformasi 1998. Kenyataan ini juga menjadi kebutuhan mendesak yang harus dilakukan dan tidak bisa ditawar lagi. Salah satu masalah yang terus muncul pada saat Pemilu, adanya politik identitas yang terus ada dalam proses demokrasi itu sendiri.
Munculnya berbagai paradoks demokrasi, terutama sejak Pemilu 2019 dan pemilihan lainnya sebelum dan sesudahnya, dengan semakin kuatnya kecenderungan politisasi identitas. Kondisi ini semakin menyadarkan kita sebagai masyarakat ada banyak PR yang harus diketahui untuk terus bersikap bijak sebagai bangsa. Dalam setiap kontestasi pemilihan, penyebaran berita palsu atau informasi yang menyesatkan memicu pertumbuhan infodemi yang sulit dikendalikan, ujaran kebencian, kampanye hitam, dan lain sebagainya.
Konsekuensi dari kacamata sosial di atas, menciptakan polarisasi yang begitu besar. Dalam kasus ini, masyarakat akan saling bertengkar untuk memperjuangkan ideologi yang diyakini. Jika kita melihat kasus politik identitas, maka masyarakat hanya fokus terhadap masalah keagamaan. Kenyataan ini akan menciptakan masalah besar bagi masyarakat. Padahal, pasca Pemilu, semua pihak semestinya bekerja sama untuk memperjuangan kepentingan bersama demi mewujudkan perubahan bagi masyarakat Indonesia itu sendiri.
Rakyat memiliki kekuatan yang sangat besar untuk mendorong para pemimpin bertanggung jawab terhadap janji kekuasaan yang sudah diberikan. Selain itu, pasca Pemilu, polarisasi yang akan terjadi di masa akan datang melalui latar belakang masalah di atas. Seharusnya pula, para wakil rakyat dan pemimpin rakyat menyadari adalah pelayan masyarakat yang harus memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau golongan.
Utamanya dalam politik identitas yang berbasis agama, akan sangat rentan menciptakan perpecahan bagi masyarakat karena agama adalah hal yang paling krusial. Maka dari itu, kesadaran untuk menjaga rasa persatuan dan persaudaraan itu perlu dimiliki oleh bangsa Indonesia. Pasca Pemilu, semua harus kembali berdamai dan semua menjadi bangsa yang dipimpin oleh pemimpin yang kita pilih, atau yang bukan kita pilih.