Tantangan Generasi Muda Melawan Ekstremisme Kekerasan

Radikalisme tidak hanya memiliki satu makna saja, melainkan sangat tergantung pada sudut pandang yang digunakan dalam melihatnya. Sudut pandang ini bisa berasal dari aspek agama, sosial, atau konflik, sehingga menghasilkan pemahaman yang beragam. Di Indonesia, fenomena radikalisme pada perempuan semakin meningkat. Perempuan muda, termasuk generasi muda dalam milenial dan Z, terlibat dalam pemahaman dan tindakan kekerasan terkait radikalisme.

Faktor-faktor seperti diskriminasi sosial, budaya, ekonomi, dan politik, serta budaya patriarki, turut mempengaruhi keterlibatan perempuan dalam radikalisme. Keterbatasan akses terhadap pengetahuan dan pendidikan juga turut berperan dalam hal ini. Kelompok perempuan, terutama generasi milenial dan Z, diharapkan dapat aktif dalam memerangi radikalisme di dunia maya. Perkembangan teknologi, khususnya internet dan media sosial, membuat generasi muda dan perempuan menjadi lebih mudah terpapar pada paham radikal.

Tantangan Generasi Muda Melawan Ekstremisme Kekerasan

Radikalisasi yang sebelumnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan membutuhkan waktu lama, kini dapat dilakukan dengan cepat dan terbuka. Konten-konten radikal dengan narasi yang kuat tersebar luas melalui media sosial dan situs web, meningkatkan kerentanan generasi muda dan perempuan terhadap paparan radikalisme. Perkembangan teknologi ini membuat tahapan generasi muda dan perempuan untuk menjadi radikal bahkan berujung kepada teroris, menjadi lebih cepat.

Jika mengacu pada staircase to terrorism, teknologi menciptakan short cut proses untuk menjadi teroris langsung manapaki tangga ketiga untuk menjadi teroris. Fathali Moghaddam seorang psikolog kelahiran Iran, penulis, profesor psikologi di Universitas Georgetown menjelaskan bahwa tangga ketiga adalah kondisi dimana seseorang mengidentifikasi diri dengan mengadopsi nilai-nilai moral dari kelompoknya. Pada tangga ketiga ini seseorang mulai berkenalan dengan ideologi radikal yang menawarkan solusi bagi kondisi sosial politik berlanjut pada upaya mempelajari ide-ide, nilai-nilai, dan strategi perjuangan kelompok radikal.

Seseorang yang sudah berada pada tangga ini cenderung akan eksklusif dan memisahkan diri dengan pihak lain yang dianggap berbeda. Dengan fenomena radikalisme terorisme di kalangan generasi muda dan perempuan yang dipermudah oleh adanya teknologi internat maka diperlukan berbagai intervensi oleh negara untuk mencegah radikalisasi semakin meluas. Pemerintah harus mempunyai mekanisme untuk membendung konten-konten radikal di internet agar tidak diakses masyarakat.

Keterlibatan generasi muda dan perempuan dalam radikalisme dan terorisme menguat sejak kelompok radikal ISIS eksis di Indonesia. Data-data menunjukkan bahwa generasi muda dan perempuan merupakan kelompok rentan yang menjadi target radikalisasi hingga menjadi pelaku teror secara langsung. Selain upaya pencegahan tersebut, pada tingkat dasar negara harus mambangun suatu ketahanan pada masing-masing keluarga di Indonesia agar tidak mudah dipengaruhi oleh ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.

Ketahanan keluarga ini harus dibangun sejak dini yang melibatkan unsur masyarakat sipil dan organisasi massa untuk membantu pemerintah. Dengan upaya pencegahan beredarnya konten-konten radikal di internet, pengawasan dan penindakan kelompok-kelompok radikal, dan pembangunan ketahanan keluarga di masyarakat. Diharapkan generasi muda dan perempuan menjadi lebih tangguh dan mampu menolak ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Tentu saja hal ini tidak mudah dilakukan mengingat kompleksitas masalah yang cukup tinggi dengan tantangan wilayah yang luas dan jumlah masyarakat yang cukup banyak.

Dalam menghadapi penyebaran paham kekerasan, peran strategis perempuan menjadi sorotan yang penting. Keterlibatan mereka tidak hanya dibutuhkan dalam dunia nyata, tetapi juga di dunia maya. Keterbatasan yang dihadapi oleh perempuan harus menjadi fokus bagi semua pihak terkait untuk segera mencari solusi. Perempuan memiliki peran kunci dalam mencegah intoleransi, radikalisme, dan terorisme.

Selain itu, pelibatan seluruh lapisan masyarakat dalam upaya “perlawanan” juga merupakan langkah strategis yang tak boleh diabaikan. Terutama, dalam menentang narasi negatif di dunia maya dan menyebarkan pemahaman agama yang benar serta nilai-nilai kebangsaan melalui penguatan trilogi pendidikan. Selaras dengan itu, kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam konteks sosial juga menjadi kunci dalam penanganan deradikalisasi.

Kedua belah pihak dapat saling berkesinambungan dan mendukung satu sama lain dalam menangani isu radikalisme. Peran domestik dan publik yang dimiliki oleh keduanya dapat diperkuat melalui kerjasama yang harmonis, sehingga setiap kekosongan peran dapat terisi dengan baik. Dengan demikian, upaya bersama antara laki-laki dan perempuan, serta melibatkan seluruh lapisan masyarakat, akan memberikan fondasi yang kuat dalam menanggulangi penyebaran paham kekerasan, menjaga kedamaian, dan memperkuat keberagaman dalam masyarakat.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top