26.1 C
Jakarta
Rabu, 16 Oktober 2024

Nyadran dan Nilai-Nilai Toleransi

Cerita Nyadran di Desa Cluntang
Nyadran atau Sadranan adalah ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Ritus ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Tradisi Sadranan ini sudah ada dan berkembang sekitar abad 15. Dengan demikian tidak mengherankan kalau pelaksanaannya masih kental dengan tradisi ritual Hindhu-Budha dan animisme yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam. Perubahan tersebut terlihat dari tradisi Sadranan yang dahulu identik dengan pemujaan roh, lalu diluruskan penataan tujuannya menjadi kepada yang Maha Esa oleh para ulama wali songo.

Di Desa Cluntang, Kecamatan Musuk, Boyolali, tradisi Nyadran masih dilaksanakan setiap tahunnya yaitu setiap tanggal 15 sampai 20 pada Bulan Ruwah atau bertepatan dengan Bulan Sya’ban dalam kalender Islam. Kegiatan Sadranan di Desa Cluntang dimulai dengan ritual sedekah atau sodaqoh setiap kepala keluarga. Pada tanggal 20 Bulan Ruwah warga mulai berbondong-bondong untuk membersihkan makam para leluhur. Dilanjutkan doa bersama menurut kepercayaan masing-masing.

Setelah berdoa, para warga kemudian menyantap berbagai makanan yang sudah disediakan. Selesai kegiatan di makam, setiap warga juga mengadakan open house, bagi siapapun dan dari manapun boleh berkunjung ke rumah-rumah warga. Menurut masyarakat setempat, Sadranan dapat dimaknai sebagai ‘Eling Sedulur, Eling Leluhur’ yaitu mengadakan ritual atau mengirim doa kepada para leluhur yang telah meninggal agar dosa-dosanya diampuni, diterima amal baiknya, dan di tempatkan di sisi terbaik-Nya. Adapun open house dimaknai sebagai eling sedulur yang artinya memberi ruang kepada saudara untuk hadir dan bersilaturahmi.

Tantangan dalam Melestarikan Tradisi Sadranan
Perkembangan zaman dan pesatnya arus modernisasi menjadi tantangan baru dalam menjaga kelestarian tradisi Sadranan. Perubahan cara pandang dan perilaku generasi tua akan berbeda dengan cara pandang generasi muda. Padahal, generasi muda adalah generasi penerus dalam melestarikan ritus tradisi Sadranan. Hal ini menjadi kekhawatiran sendiri bagi warga desa Cluntang, sebab kalau bukan anak muda yang melanjutkan tradisi Sadranan ini, lantas siapa lagi?

Sebagaimana yang terjadi di Kota Gede, di mana tradisi Sadranan sudah mulai memudar. Hal ini terjadi karena banyak pendatang, sedangkan pendatang tidak memiliki tali penghubung dengan leluhur di tanah tersebut. Selain itu, perkembangan teknologi yang makin pesat diikuti adopsi teknologi berlebihan tanpa mempertahankan nilai-nilai lokal dapat menyebabkan transformasi nilai yang mengarah pada memudarnya budaya lokal atau kearifan lokal.

Bagaimana Budaya Lokal dapat Menumbuhkan Sikap Toleransi
Dalam konteks Antropologi Filosofis yang dipaparkan oleh Peneliti dan Penulis etnologi feminis yaitu Masthuriyah Sa’dan, mengatakan bahwa di dalam Sadranan terdapat nilai-nilai setidaknya ada lima. Pertama, nilai kebudayaan, yaitu Sadranan sebagai bentuk merawat tradisi yang mampu menyatukan agama yang berbeda untuk sama-sama berdoa kepada leluhur. Kedua, nilai gotong royong, nilai gotong royong ini akan menciptakan kerukunan dan kebersamaan antar warga.

Ketiga, nilai toleransi atau keberagaman, nilai ini dapat menyatukan berbagai latar belakang umat beragama yang berbeda-beda. Keempat, nilai kebhinekaan, yaitu bahwa Sadranan adalah cermin kebhinekaan dalam masyarakat Indonesia, di mana masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang agama yang berbeda-beda namun punya cita-cita yang sama untuk mewujudkan budaya yang sama yaitu Sadranan. Kelima, nilai spiritualitas, nilai ini adalah doa bersama oleh masyarakat kepada para leluhur, hal ini yang menyatukan manusia dengan alam dan Tuhan.

Strategi Mencegah dan Menolak Intoleransi
Sadranan adalah kearifan lokal yang harus dijaga dan dilestarikan. Kearifan lokal setiap daerah berbeda-beda, yaitu ada ciri khasnya masing-masing. Upaya dalam melestarikan tradisi Sadranan yaitu dengan memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang pentingnya merawat tradisi sebagai identitas nilai budaya masyarakat Jawa. Dengan tetap melestarikan tradisi Sadranan ini, akan membentengi masyarakat dari pengaruh kelompok ekstremisme. Dalam prespektif Islam dijelaskan juga bahwa tradisi Sadranan ini sangat penting karena memuat ajakan perdamaian.

Upaya merawat perdamaian ini terwujud dalam tradisi Sadranan yaitu ketika antar warga saling berinteraksi, memberi, dan mendorong keharmonisan masyarakat. Selain merawat dan melestarikan Sadranan sebagai kearifan lokal, Sadranan juga merupakan tradisi yang syarat akan makna sebagai upaya menyambung persaudaraan (silaturahmi), membuat aman, dan memberantas kemusyrikan (menguatan nilai-nilai Ketauhidan, saling menghargai, menghormati perbedaan). Nilai-nilai toleransi inilah yang harus terus dirawat dan dilestarikan dalam tradisi Sadranan.

TERBARU

Konten Terkait