Terorisme menjadi musuh masyarakat bersama. Indonesia sendiri sudah menetapkannya sebagai suatu tindakkan yang harus dipidanakan/mendapat perhatian khusus dari segi hukuman sampai pemulihan. Indonesia mencantumkan tindak pidana terorisme di dalam undang-undang nomor 9 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. Kendati pencegahan sudah masif dilakukan, bukan berarti kita bebas dari tindakan tersebut. Hal ini karena bibit-bibit terorisme tidak hilang seutuhnya.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sendiri sebagai penanggungjawab mengenai kasus terorisme telah melakuka berbagai macam hal terkhusus dalam pemulihan napiter (narapidana terorisme). Adapun yang dilakukan seperti pembinaan sampai diberukan sebuah modal untuk membantu mengembangkan dan mengembalikan jatidiri para napiter. Dalam takshow WGWC Talk, BNPT penanganan dan rehabilitasi perlu dilakukan, bukan berarti para napiter bisa terbebas dari kekhawatiran-kekhawatiran.
Dalam talkshow tersebut juga dari sudut pandang tersangka, bahwa kendati memperoleh berbagai macam penanganan. Nyatanya, untuk pulih juga memerlukan dukungan dari bebagai pihak. Salah satu tersangka yang terjangkit terorisme mengakui betapa dirinya banyak dihantui kekhawatiran ketika pulang ke daerahnya. Tetapi rasa itu pelan-pelan sirna ketika ia mendapatkan respon baik dari mayarakat dan bisa menjalani hari sebagaimana mestinya.
Karena jika tidak mendapatkan perhatian dari masayarakat, ia akan kembali pada jaringan radikalismenya. Hal ini menandakan bahwa harus ada relasi dari pemerintah dan juga masyarakat dalam menghadapi isu radikalisme dan terorisme. Akan tetapi, proses tidak selalu demikian, tidak semua masyarakat memiliki kepekaan mengenai kasus-kasus terorisme khususnya pada penerimaan dan pemulihan korban dari sudut pandang masyarakat itu sendiri.
Hal lain juga terjadi pada keluarga tersangka khususnya pasangan (istri) dan anak-anak. Ini adalah sisi lain daripada kasus terdakwa napiter. Dimana akibat dari perbuatan para napiter ada pula imbas yang turut dirasakan oleh keluarga. Kendati, bukan pelaku, nyatanya stigma ini tak lepas dari anggapan masyarakat yang melabeli (pasangan/keluarga). Daalam hal ini adalah isteri napiter seolah menjadi sebagaimana suaminya yakni seorang napiter.
Mislnya yang terjadi pada Dewi Setiawati (bukan nama sebenarnya) yang menjadi isteri napiter. Ia mengakui sering mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Selama suaminya berada di dalam penjara, ia kerap menerima gunjingan dari tetangga, yang membuatnya seolah terasing dari masyarakat. Bahkan ia yang berprofesi sebagai guru TK hendak mengajukan permohonan untuk keluar dari sekolah tempatnya mengajar karena dikhawatirkan membawa pengaruh buruk bagi citra sekolah.
Tetapi nasib baik menghampiri dengan kekuatan-kekuatan yang diberikan oleh rekan sesama guru, bahwa keberadaannya bukan menjadi sebab buruknya citra sekolah. Akhirnya, Dewi tetap mengajar, karena ia juga harus bertahan dan menjadi tulang punggung dari keluarga dan anak-anaknya. Dewi mungkin menjadi satu dari beberapa isteri yang menerima imbas dari perlakukan suami sebagai napiter yang harus bertahan di tengah stigma masyarakat kendati tidak turut dalam pelaksanaan praktik tindak terorisme.
Dalam penelitian disebutkan bahwa isteri napiter tidak selamanya mengikuti paham suami. Beberapa ada yang inklusif dan sebagiannya lagi ada yang lebih radikal. Kadang, isteri yang cenderung patuh bahkan tidak mengetahui mengenai kepribadian suami terkait dirinya yang ternyata tersindikasi teroris. Dampak dari tindakan suami inilah, maka isteri dan keluarga statusnya menjadi korban. mengapa demikian?
Pertama, isteri tidak mengetahui aktivitas suami di dalam lingkar ekstrimis dan yang kedua ia harus menanggung beban psikologis kehilangan pasangan, membesarkan anak seorang diri dan menerima stigma bahkan dari perlakuan di luar kendalinya (baca: dirinya). Hal ini tentu bukan perkara yang mudah bagi isteri korban, akan tetapi ia harus menghadapinya. Dai dalam penelitiannya, Sarwono menemukan isteri-isteri korban yang menjadi tempat curhat utama suami.
Bahkan mendukung kebutuhan suami di lapas dengan menopang finansial dan kebutuhan-kebuthan primer lainnya. Tentu para isteri di sini selain menerima beban psikologis atas stigma, ia juga harus menerima beban ganda baik sebagai pekerja. Yakni, sebagai ibu rumah tangga dan seluruh peran lainnya. Dengan demikian, persoalan mengenai terorisme tidak hanya terkait pelaku dan korban bukan hanya dari sisi terdampak dari aksi teroris.
Seperti warga di dalam lokasi kejadian melainkan terjadi pada keluarga tersangka, di mana dirinya turut menanggung akibat dari yang dilakukan oleh tersangka. Sehingga, perlu diketahui bahwa isteri/pasangan/keluarga tersangka merupakan seorang yang menjadi korban akibat napiter itu sendiri. Apalagi jika dari ulasan di atas, isteri harus menanggung berbagai macam beban termasuk di dalamnya adalah stigma masyarakat terhadap dirinya.