Sebagai manusia yang sedang mengalami masa transisi dari anak kecil menjadi individu dewasa, anak muda mempunyai kerentanannya tersendiri. Di satu sisi mereka mempunyai keingintahuan dan semangat yang tinggi, namun di sisi lain emosi mereka cenderung belum stabil. Kerentanan tersebut semakin menhadapi tantangannya terutama di era di mana internet sudah menjadi konsumsi sehari-hari. Rasa ingin tahu anak muda yang tinggi dan mudahnya akses informasi di internet menjadi lahan semai paling subur bagi kelompok radikal dalam upayanya menginfiltrasi ideologi radikal kepada anak muda.
Dengan paparan internet yang massif, Ideologi radikal tersebut dapat dengan mudah menyusupi keseharian anak muda. Bisa kita lihat bagaimana rentannya pemberitaan di media sosial terhadap ketidakharmonisan apalagi pemberitaan dengan isu agama yang seringkali mengundang perpecahan. Sikap Intoleran mulai terbangun, awalnya mungkin sikap itu hanya sebatas di dunia maya atau media sosial, namun lambat laut juga akan membentuk karakter mereka di kehidupan nyata. Mereka mulai ekslusif, menghindari bergaul dengan kelompok berbeda, dan merasa paling benar.

Fenomena tersebut menggambarkan bagaimana modernitas dan kemajuan teknologi menjadi sebuah paradoks yang tidak bisa kita hindari. Di sisi lain, Indonesia memiliki nilai-nilai luhur yang sudah diwariskan oleh para leluhur kita sejak dahulu seperti kebhinekaan, keragaman, kerukunan dan toleransi. Upaya untuk menjaga nilai-nilai tersebut tidak hanya dilakukan oleh pemerintah lewat Pendidikan Pancasila misalnya, tetapi juga dilakukan oleh warga lokal dengan tradisi yang mereka rawat.
Praktik-praktik lokal yang organik tersebut terkesan tidak modern dan tidak menempati ruang media sosial atau pemberitaan. Namun nyatanya masih eksis di kehidupan masyarakat kita sampai sekarang. Upaya masyarakat merawat tradisi juga merupakan upaya nyata dalam merawat nilai-nilai luhur asli Indonesia yaitu kerukunan dan perdamaian. Maka tradisi adalah pilar paling fundamental yang menjadi ketahanan Masyarakat dan juga benteng untuk menangkal segala bentuk paham dan pengaruh negatif dari luar yang dibawa arus modernisme.
Ketika tradisi lokal pudar, maka nilai-nilai luhur seperti gotong royong, toleransi dan rendah hati juga akan ikut pudar. Di sini lah tantangannya. Praktik-praktik lokal yang terkesan tidak modern ini berhadapan dengan kerentanan anak muda yang gampang terseret arus modernisasi. Padahal,kita membutuhkan generasi muda untuk melanjutkan tradisi agar tetap Lestari. Lalu apa yang bisa dilakukan untuk memperkuat peran anak muda dalam memperkuat tradisi sekaligus menangkal radikalisme?
Pertama, transfer ilmu pengetahuan. Dalam tranfer ilmu pengetahuan ini diperlukan peran besar orang tua dalam mengajak anaknya terlibat aktif dalam sebuah tradisi. Dan yang lebih penting adalah bagaimana anak muda memaknai sebuah tradisi lebih dari sekedar ritual. Ketika para ibu menyiapkan makanan untuk ubo rampe misalnya, mereka bisa mengajak anaknya dan anggota keluarga yang lain untuk ikut menyiapkan sembari menjelaskan apa makna di balik sajian yang dihidangkan.
Kue apem misalnya, yang sering kali dijadikan syarat hidangan ketika ruwahan dalam masyarakat Jawa. Ada makna yang sangat dalam sehingga kue apem selalu dihidangkan dalam pelaksanaan beberapa ritual, termasuk ruwahan. Kue apem ternyata mengandung nilai pengharapan, kebersamaan dan kesederhanaan. Kata apem sendiri merujuk pada kata afuan, afwan atau afuwwun yang dalam bahasa Arab bermakna pengampunan. Bisa dikatankan kue apem adalah representasi hubungan manusia dengan tuhannya. Nah, nilai-nilai di balik ritual yang dilaksanakan itulah yang harus dijelaskan kepada anak muda. Karena jika tidak, anak muda dengan perspektif modernitasnya hanya akan menganggap tradisi sebagai ritual belaka, praktik kuno dan merepotkan.
Kedua, Dokumentasi ilmu pengetahuan. Penting juga untuk medokumentasikan pengalaman masyarakat dalam merawat tradisi. Bagaimana pengalaman bapak-bapak dan ibu-ibu menyiapkan hidangan dan semua ubo rampe yang diperlukan dalam ritual. Bagaimana potret kebersamaan dan gotong royong yang mereka lakukan dalam proses tersebut. Semua itu adalah sesuatu yang sangat indah untuk dinarasikan dalam bentuk tulisan,foto maupun video yang kemudian mengisi ruang-ruang digital dan ruang-ruang pengetahuan.
Hal ini penting dilakukan agar tradisi bisa berkontestasi secara berimbang dengan narasi-narasi negatif yang tersebar di media sosial dan tidak bisa kita kontrol. Dengan demikian, anak muda yang rentan terpapar paham intoleransi dan radikalisme melalui internet atau media sosial,di sisi lain juga bisa mengakses narasi-narasi indah yang sejak dahulu diajarkan para leluhur.
Dua hal penting tersebut tentu saja membutuhkan dukungan dari multistakeholder. Penting untuk melibatkan semua lapisan masyarakat mulai dari tokoh adat, tokoh agama, pemerintah daerah dan juga Civil Society Organization (CSO). Praktik baik kolaborasi multistakeholder tersebut dapat kita lihat dalam Nyandran perdamaian di dusun Krecek dan Gletuk yang diinisiasi oleh AMAN Indonesia.
Tradisi Nyadran yang biasanya hanya dilakukan warga setempat, kemudian diinovasi sedemikan rupa agar ada transfer pengetahuan ke generasi muda. Inovasi ini terlihat dengan adanya kelas-kelas dalam rentetan proses tradisi nyadran itu sendiri. Ada kelas meditasi, kelas Perempuan bertutur, kelas seni, jelajah alam dan kelas sesaji yang semuanya adalah bentuk transfer pengetahuan ke generasi muda. yang juga melibatkan banak anak muda. Bukan saja dari warga setempat, tetapi juga dari berbagai daerah di Indonesia. Semuanya bisa ikut serta dan live in.
Inovasi yang dilakukan dengan tetap menjaga nilai-nilai luhur membuat sebuah tradisi tidak hanya dirasakan manfaatnya oleh warga local, juga bisa mengkampanyekan nilai-nilai luhur tersebut ke Masyarakat secara luas. Ketika itu terjadi, maka peran anak muda juga semakin kuat. Ketika semua hal terkait tradisi, nilai-nilai luhur dan juga peran anak muda menguat, maka sepertinya kita tidak perlu khawatir lagi dengan ancaman ideologi radikal karena bentengnya sudah sangat kuat.