32.4 C
Jakarta
Jumat, 13 Desember 2024

Tradisi Nyadran Sebagai Benteng dari Ancaman Radikalisme

Tak bisa dipungkiri bahwa modernitas dan kemajuan teknologi di satu sisi memberikan dampak positif, namun di sisi lain juga memberikan peluang untuk menciptakan ketidakharmonisan. Kemajuan teknologi yang begitu pesat membuat beragam informasi baik itu informasi yang benar maupun tidak benar, menjadi sangat mudah untuk diakses. Sebagaimana kita tahu, seringkali pemberitaan di medsia sosial sangat rentan memicu perdebatan dan perpecahan yang jika dibiarkan bisa menjadi bibit intoleransi dan berkembang menjadi radikalisme dan ekstrimisme.

Ketika berhadapan dengan tantangan global seperti intoleransi dan radikalisme tersebut, Praktik-praktik lokal yang ada di masyarakat dapat menjadi benteng pertahanan. Salah satu tradisi yang masih lestari di Masyarakat Jawa adalah tradisi Nyadran. Bagaimana tradisi ini dapat menjadi benteng pertahanan dalam menangkal Radikalisme?

Nilai-Nilai Luhur dalam Tradisi Nyadran
Jika anda berkunjung ke daerah Jawa Tengah di bulan Sya’ban atau Ruwah, maka anda akan menyaksikan satu ritual adat yang dikenal dengan Sadranan. Seperti yang rutin dilakukan di tempat tinggal suami saya di sebuah dusun kecil di Boyolali, tepatnya dusun Silem desa Kadireso. Di dusun ini tradisi nyadran biasanya dimulai dengan para ibu yang memasak dan mengirim makanan ke sanak saudara serta kerabat sementara bapak-bapak membersihkan makam yang ada di desa.

Ritual di lanjut pada malam harinya di mana semua warga berkumpul dan berdoa bersama di satu tempat yang ditentukan dengan masing-masing KK membawa makanan atau jajanan pasar. Setelah berdoa bersama-sama mendoakan para leluhur, acara ditutup dengan makan bersama menyantap hidangan yang dibawa oleh warga.
Masih dalam satu kabupaten yang sama. Namun praktik yang dilakukan bisa berbeda.

Di daerah Cepogo, Boyolali misalnya, tradisi Nyadran ini bahkan lebih meriah daripada hari raya keagamaan seperti Idul fitri atau Idul adha. Setelah membersihkan makam dan berdoa untuk leluhur biasanya warga melakukan open house dengan menghidangkan banyak makanan ke para tamu yang datang. Konon katanya, semakin banyak tamu yang datang ke suatu rumah maka akan semakin banyak rezeki dan keberkahan yang mendatangi rumah tersebut.

Teknis pelaksanaan ritual nyadran ini mungkin bisa berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain, namun memiliki inti ritual yang sama, yaitu membersihkan makam dan mendoakan arwah para leluhur kemudian biasanya dilanjut dengan makan bersama. Rangkaian ritual ini memiliki nilai-nilai luhur yang sangat terpuji, yaitu:

Pertama, nilai kebudayaan dalam merawat tradisi. Tradisi ini mampu menyatukan masyarakat dari berbagai agama untuk sama-sama mendoakan leluhur. Kedua, nilai gotong royong dan kerukunan. Kita akan melihat bagaimana setiap warga dengan sukarela menyumbangkan waktu, tenaga dan juga materi demi terlaksanaya tradisi ini setiap tahun. Di beberapa daerah bahwan warga mempersiapkannya dari jauh-jauh hari. Proses persiapan inilah yang kemudian membuka ruang-ruang perjumpaan yang menghilangkan segala prasangka.

Ketiga. Nilai toleransi dan kebhinekaan. Ketika berkumpul dan berdoa di makam, warga mengesampingkan perbedaan yang ada dan fokus pada satu visi yang sama yaitu melestarikan kebudayaan warisan leluhur. Seperti yang terjadi di dusun Krecek, Temanggung misalnya, warga yang beragama Budha berbaur dengan warga beragama muslim dan agama lain. Mereka berdoa Bersama-sama dalam satu tempat dan mereka tidak mempermasalahkan perbedaan itu.

Keempat, nilai spiritualitas. Dalam tradisi ini ada ritual berdoa Bersama di makam leluhur. Nilai-nilai ini menyatukan Masyarakat dengan alam dan juga dengan Tuhan. Terlihat sekali bagaimana upaya warga menjaga cosmos yang besar antara tempat, ruang mereka tinggal dan juga alam menjadi sebuah bagian dari perangkat keseharian. Keseimbangan itu kemudian dibalut dalam tradisi yang menjunjung tinggi nilai spiritualitas.

Kontradiksi Nilai antara Tradisi Nyadran dan Radikalisme
Semua nilai-nilai luhur yang ada dalam tradisi nyadran tersebut sangat bertolak belakang dengan konsep radikalisme. Dr. ahmad Ramdhon, S.Sos. M.A dalam WGWC Talk 31 dengan tema “Perempuan,Tradisi Sadranan, dan Toleransi” menyatakan bahwa salah satu prinsip dasar praktik radikal adalah universalisme. Praktik radikal menolak keberagaman dan kebhinekaan sehingga dia akan menolak praktik-praktik lokal yang menjunjung tinggi nilai kebhinekaan tersebut.

Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa kita tidak perlu khawatir terhadap ancaman radikalisme selama praktik-praktik lokal seperti sadranan ini masih lestari di Masyarakat. Mengaktivasi merawat, dan melestarikan tradisi adalah pondasi paling fundamental bagi masyarakat agar resilien terhadap tawaran yang universal, global dan tunggal seperti yang ditawarkan oleh kelompok radikal.

Lebih lanjut Ahmad Ramdhon mengatakan bahwa ini tidak hanya tentang Sadranan, Rasulan atau tradisi apa pun yang ada di Jawa, tetapi juga semua tradisi yang ada di Indonesia. Baik itu di Sumatera, Maluku, dan daerah-daerah lain di penjuru Nusantara. Mereka mempunyai praktik-praktik lokal yang unik dan itu menjadi pilar paling krusial terhadap tawaran-tawaran yang mengancam kebhinekaan dan menimbulkan perpecahan. Ia bagai benteng pertahanan dan pilar paling fundamental bagi ketahanan bangsa.

Harapannya, semoga ke depannya tradisi juga mengisi ruang-ruang digital dan ruang-ruang pengetahuan. Hal ini penting agar kemajuan teknologi dapat berkontestasi dengan tradisi secara bersamaan, agar kita tidak terseret arus dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang diajarkan leluhur. Sehingga tidak ada celah bagi masuknya paham-paham radikal yang mengancam persatuan bangsa. Semoga.

TERBARU

Konten Terkait