Ketika ditanya “Apakah mereka yang melakukan tradisi Nyadran pasti bukan orang radikal?” Dr. ahmad Ramdhon, S.Sos.M.A menjawab dengan lantang “Ya, pasti tidak radikal”. Pernyataan sosiolog Universitas Sebelas Maret tersebut terekam dalam WGWC Talk 31 dengan tema “Perempuan,Tradisi Sadranan, dan Toleransi” yang diselenggarakan di akhir desember 2023.
Lebih lanjut pak Ramdhon menjelaskan bahwa salah satu prinsip dari praktik radikal adalah univeralisme yang sifatnya tunggal dan menolak keberagaman serta praktik-praktik lokalistas itu. Mengaktivasi merawat, melestarikan tradidi adalah pondasi paling fundamental agar Masyarakat menjadi resilien terhadap tawaran yang universal, global dan Tunggal.
Dalam hal ini menurutnya Perempuan menjadi faktor kunci. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana upaya warga terutama Perempuan untuk menjaga cosmos yang besar antara tempat, ruang mereka tinggal dan bagaimana alam menjadi sebuah bagian dari perangkat keseharian dan keseimbangan itu dibalut dalam tradisi. Ekspresi kultual yang sangat luar biasa di mana Perempuan menjadi pemeran utama.
Sebagai bagian dari masyarakat yang menjalankan tradisi tersebut saya pun mengaminkan pernyataan tersebut. Dari pengalaman saya mengikuti tradisi Nyadran di berbagai daerah di Jawa Tengah, walaupun praktiknya bisa berbeda tetapi ada satu hal yang sama, yaitu keterlibatan Perempuan. Keterlibatan ini bisa dilihat dari sebelum ritual dilaksanakan, saat ritual dilaksanakan, sampai setelah ritual selesai. perempuan memegang peran penting yang sangat krusial bagi terlaksananya tradisi ini.
Peran Strategis Perempuan: Dari Memasak, Hingga Transfer Ilmu Pengetahuan
Fyi, saya adalah warga pendatang yang kemudian menjadi bagian dari masyarakat karena menikah dengan laki-laki asli Boyolali, Jawa Tengah. Ketika pertama kali dikenalkan dengan tradisi Nyadran, tentu saja saya sangat takjub dan antusias. Saya ingat sekali bagaimana ibu mertua mengajari saya memasak kue apem, tape ketan, sambel goreng krecek dan berbagai jajanan pasar untuk dijadikan sajian ketika nyadran. Sembari memasak, ibu mertua juga menjelaskan apa makna dari berbagai ritual yang dilakukan termasuk makna dari setiap jenis masakan yang menjadi “syarat” untuk dihidangkan.
Saya ingat sekali beliau mengatakan “ribet yo nduk masak-masak ngene ki, mesti koe kesel. Ning liyane awake dewe sopo neh engko seng ngelanjutke, jenenge iki tradisi.” Jika diterjemakhakn ke Bahasa Indonesia kira-kira ibu saya mengatakan bahwa mempersiapkan segala sesuatunya ini memang repot dan bikin capek, tapi siapa lagi yan akan melakukan kalau bukan kita, Perempuan.
Agaknya inilah yang disebut oleh Ruby Khalifah, Steering Commite WGWC sebagai hard power dan soft power yang dimiliki Perempuan. Beliau mengatakan bahwa dalam konteks tradisi Nyadran, Perempuan mempunyai hard power dan soft power. Hard power Perempuan sebagai ibu akan mampu mentransfer pengetahuan kepada anaknya ataupun menantu perempuannya dan memiliki daya paksa agar anak tersebut menghormati tradisi dan ikut menjalankan tradisi tersebut. Soft power Perempuan sebagai makhluk komunal akan menggerakkan semua perempuan dengan alasan yang masuk akal untuk berpartisipasi dalam tradisi leluhur.
Problem Gender
Sebagai Perempuan yang terlibat langsung dalam tradisi ini dan Mengikuti prosesnya dari awal sampai akhir saya melihat bahwa Perempuan adalah pemeran utama. Perempuan tidak hanya sebagai peran pembantu, namun sebagai subjek utama yang membuat ritual berjalan sebagaimana seharusnya. Namun sayangnya, partisipasi Perempuan dalam menyiapkan hidangan seringkali membuat perempuan merasa kelelahan.
Di beberapa daerah perempuan bahkan tidak menghadiri ritual inti karena mereka merasa sudah memasak dan kehadirannya tidak penting. Di sisi lain, adanya tafsir agama tertentu yang dipakai sejumlah kalangan untuk menghalagi partisipasi perempuan juga menjadi problem tersendiri. Melihat hal tersebut maka dalam WGWC Talk 31yang lalu juga dibahas bagaimana pentingnya mendorong optimalisasi peran Perempuan lebih luas dalam tradisi nyadran. Optimalisasi ini bisa dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
Pertama, memberikan pemaknaan baru tehadap peran-peran Perempuan. Ruby Khalifah pada kesempatan tersebut menyampaikan bahwa penting untuk memberikan pemaknaan baru terhadap kerja-kerja Perempuan dalam sadranan. Bukan lagi sebagai peran pinggiran, peran nomor dua, atau pun peran pembantu, tetapi sebagai peran utama.
Pernyataan Ruby Khalifah tersebut juga diaminkan oleh Siti Rofiah, M.H, M.Si, khadimul ma’had Pondok Pesantren Al-Falah, Salatiga. Beliau mengatakan bahwa hal krusial dalam tradisi sadranan adalah bagaimana Perempuan menyiapkan makanan. Makanan di sini bukan hanya sebagai sesuatu yang dikonsumsi dan dikunyah tetapi juga bisa kita maknai secara lebih luas di mana dia menjadi jembatan komunikasi dan sebagai alat menyatukan. Jika tidak ada Perempuan yang menyiapkan makanan ini, maka tradisi ini tidak ada. Sepenting itu perannya.
Kedua, Adanya reintrepetasi tafsir keagamaan yang menggunakan perspektif keadilan hakiki. Siti Rofiah menambahkan bahwa selama ini perspektif di Masyarakat masih sangat bias gender. Perempuan masih ditempatkan dalam posisi nomor dua. Akibatnya beban tanggungjawab menyiapkan makanan hanya dibebankan kepada Perempuan. dengan adanya reintrepretasi keagamaan diharapkan proses menyiapkan ubo rampe ini tidak hanya dibebankan kepada Perempuan tetapi juga disiapkan oleh seluruh anggota keluarga secara Bersama-sama. Reintrepretasi ini penting untuk diseminasikan karena Masyarakat Indonesia adalah Masyarakat yang sangat religious sehingga argumentasi agama penting untuk menguatkan.
Dan yang Terakhir, penting untuk memberikan apresiasi kepada perempuan agar semangatnya untuk melestarikan budaya tetap terjaga. Hal ini penting agar Perempuan bisa terus menularkan tradisi ini kepada penerusnya. Apresiasi ini tentu saja harus dari berbagai pihak. Baik dari keluarga, sesama warga tempat tinggal, dan semua multistakeholder yang ada.