Kerentanan Anak Muda dalam Aksi Ekstremisme
Anak Muda menjadi sasaran empuk para pelaku kekerasan ekstremisme untuk masuk dalam pusaran ideologi mereka. Keterlibatan anak muda seolah memberi sinyal bahwa ideologi radikalisme telah sukses menyasar kelompok sosial yang rentan, yaitu anak muda. Anak Muda sering dipandang sebagai kontruksi sosial yang memiliki karakteristik sosial-psikologi tertentu dan habitus tertentu atau kebiasaan yang mendarah daging. Kondisi tersebut dihasilkan oleh skema persepsi dan pemikiran tertentu dalam merespon sesuatu.
Sehingga anak muda selain dipandang sebagai masa depan bangsa, juga dipandang sebagai pihak yang rentan terhadap radikalisme dan penyelewengan. Sudah banyak kasus pengeboman yang pelakunya adalah anak muda. Sebut saja misalnya peristiwa Bom Kartasura, kasus-kasus tersebut menariknya memiliki benang merah di mana melibatkan anak muda aktif di perguruan tinggi, misalnya kasus Bahrun Naim yang diduga mahasiswa perguruan tinggi umum negeri hingga kasus Bom Panci yang ada sangkut pautnya dengan civitas akademika perguruan Islam negeri di Solo Raya.
Narasi-Narasi Propaganda yang mengancam Anak Muda
Kemunculan bibit-bibit radikalisme di kalangan anak muda tidak terlepas dari penyebaran propaganda oleh kelompok radikal baik secara online maupun offline. Seseorang pada awalnya mungkin hanya setuju terhadap ideologinya saja. Namun, masa pencarian identitas difase anak muda menjadikan lebih rentan termakan doktrin-doktrin dan terpapar narasi-narasi propaganda.
Adapun narasi propaganda yang sering digunakan yaitu pertama narasi politis. Narasi politis ini menyatakan bahwa mereka adalah korban ketidakadilan, dan menuding pihak tertentu sebagai penyebabnya. Tak jarang narasi politis juga menyebutkan bahwa umat Islam sedang dalam penindasan seperti di Palestina, Irak, Suriah, Somalia, Pattani dan Moro (Filipina). Sehingga dengan adanya narasi-narasi seperti ini, akan memunculkan ketidakpuasan atau ujaran kebencian kepada pemerintah. Lebih berbahaya lagi ketika mereka ikut serta dan dengan suka rela mendukung adanya imagine community atau mimpi negara Islam yang tersembunyi sebagaimana yang dicita-citakan ISIS untuk mendeklarasikan diri sebagai negara dengan sistem khilafah.
Kedua, narasi historis. Narasi ini menggunakan masa sejarah sebagai pembenaran politis. Contoh narasinya yaitu bahwa pemerintahan sekular RI (termasuk aparat TNI/Polri) sebagai musuh sejak dulu karena menghalangi ‘perjuangan sakral’ membentuk Daulah Islamiyah dan telah ‘membunuh’ pejuang-pejuang mereka. Lebih jauh kebelakang propaganda ekstremisme di Indonesia sejatinya sudah berkembang sejak lahirnya Darul Islam (DI) pada tahun 1950an yang kemudian mencoba untuk menyebarkan pahamnya ke berbagai kota di Indonesia.
Ketiga, narasi psikososial. Narasi ini memanfaatkan secara keliru hal-hal yang non-mainstream untuk melawan yang mainstream sehingga memengaruhi psikososial. Seperti narasi-narasi yang menyambut dan membenarkan aksi kekerasan dan para aktornya sebagai jalan untuk mewujudkan cita-cita golongan mereka. Dalam hal ini, contohnya pernah terjadi dalam kasus Hatf, bahwa paham radikal yang tumbuh dalam dirinya salah satunya disebabkan pendidikan yang ia terima di pondok pesantren. Ditambah dukungan dari sang Ayah yang merupakan tersangka teror bom di Pasar Tantena, Poso.
Haft kemudian menjadi bagian dari 12 orang di pondok pesantren Ibnu Mas’ud yang berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Sang Ayah yang mendengar pengakuan Haft bahwa beberapa guru dan teman-temannya telah pergi ke Suriah untuk berjihad bersama ISIS, justru mengizinkan Hatf untuk mengikuti jejak mereka. Dari kasus di atas, lingkungan pendidikan dan sikap ayahnya dalam menyambut baik aksi kekerasan menjadi pemicu dan mempengaruhi Haft untuk masuk dalam doktrin-doktrin mereka.
Keempat, narasi instrumental. Narasi yang menyampaikan betapa efektifnya metode kekerasan dalam mencapai tujuan sosial-politik mereka. Narasi inilah yang selalu digaung-gaungkan oleh para aktor kombatan terorisme dalam melakukan propaganda. Sebagaimana yang diserukan oleh Bahrun Naim dalam blognya bahwa ‘4 Strategi Gerilya Kota’ yaitu membunuh dimana saja kalian jumpai, tangkaplah, kepunglah, dan intailah.
Kelima, narasi teologis. Narasi ini memberi pengakuan bahwa agama adalah dasar dari aksi atau reaksi untuk merespon ketidakadilan. Narasi ini menargetkan agar mereka kembali memperdalam ideologi dan menafsirkan kembali arti agama dalam kehidupan mereka, dan mulai melekatkan diri dengan ideologi radikal. Selian itu, narasi ini juga berbicara mengenai nilai-nilai keagamaan yang harus dijalankan secara kafah. Agama seringkali dimanfaatkan sebagai pembenaran atas tindakan kekerasan terhadap orang lain yang berbeda ideologi.
Merespon segala problematika dan ancaman ekstremisme terhadap anak muda. Diharapakan semua pihak baik yang senior maupun yang muda untuk bekerja sama dalam mendeteksi sedini mungkin adanya ancaman ini. Anak muda juga harus dilibatkan dalam peran perdamaian, karena anak muda adalah garda depan dalam mencegah penyebaran kekerasan dan ekstremisme.