Dampak Ujaran Kebencian terhadap Etnis Rohingya
Rabu (27/12) lalu, ratusan mahasiswa mengangkut paksa para imigran Rohingya dari tempat penampungan sementara di Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA) untuk dipindah ke kantor Kemenkumham Aceh, Rabu (27/12). Peristiwa ini berawal dari demonstrasi yang digelar di Gedung BMA. Pantauan dari sejumlah media massa di lapangan memperlihatkan bahwa rombongan mahasiswa awalnya hanya melakukan protes. Namun, mereka kemudian beranjak masuk ke basement tempat pengungsi etnis Rohingya itu ditempatkan.
Jarak massa dari tempat pengungsi Rohingya hanya berkisar 40 meter. Mulanya, massa hanya berorasi menyuruh para pengungsi keluar. Namun saat koordinator lapangan mahasiswa bernegosiasi dengan petugas, massa yang berada di belakang langsung berlari menuju ke arah tempat etnis Rohingya. Mereka yang tidak melakukan lobi ini kemudian serta merta memaksa keluar para pengungsi, bahkan ada yang melemparkan botol air untuk melukai kelompok pengungsi Rohingya.
Tindakan anarkis gerombolan pelajar tadi memperlihatkan bagaimana ujaran kebencian yang disulut melalui berita palsu dan propaganda di media sosial berujung konflik sosial di tanah Serambi Mekah. Hal ini diperparah dengan dinamika orasi politik terkait kelompok pengungsi Rohingya. Memanfaatkan kontestasi politik, sejumlah akun buzzer menyebarkan narasi buruk dan menggiring opini bahwa etnis Rohingya perlu diusir dari tanah air. Dalihnya, masyarakat di Aceh belum sejahtera dan keberadaan Rohingya akan kiat menghambat kondisi lokal di sana.
Isu Ekstremisme dan Radikalisme di Belanda
Sebelas dua belas dengan yang terjadi di Aceh, pemilu di negeri kincir angin juga diwarnai oleh narasi kebencian dan kebohongan yang berusaha memperdayai tindakan rasional publik. PVV (Partai untuk Kebebasan) menempatkan umat Muslim sebagai kambing hitam keterpurukan ekonomi masyarakat pekerja. Partai sayap kanan yang dipimpin oleh Geert Wilders ini kerap menebarkan narasi bahwa Muslim adalah kelompok teroris yang berusaha melakukan Islamisasi di Belanda dan negara-negara Eropa lainnya.
Mereka bahkan tak segan-segan mengusulkan kebijakan rasis dengan tujuan meraup suara sebanyak mungkin. Pada tahun 2008 lalu, Geert bahkan merilis film propaganda ‘fitna’ yang menceritakan bahwa Islam adalah agama teroris. Meski menuai kritik atas posisinya, Geert tak begitu saja menyerah. Tahun ini justru ia berhasil memanfaatkan insekuritas warga terhadap pengungsi dan kelompok minoritas. Ia berkali-kali memperingatkan bahwa Belanda berada dalam kondisi bahaya karena populasi ‘calon teroris’ semakin banyak dan menghimbau bahwa pemerintah perlu melarang dibukanya masjid dan terbitnya Al Quran.
Selain proposal yang memarjinalkan kelompok Muslim, Geert tak segan-segan menyerukan penutupan sekolah Islam. Ia menyatakan khawatir bahwa bila institusi Pendidikan sejenis tetap dibuka, Belanda akan terislamisasi. Tak hanya itu, dalam berbagai kesempatan, ia juga menyatakan dukungan terbuka pada pemerintah Israel. Ia turut mengajukan opsi perpindahan kedutaan ke Jerusalem dan menyerukan penutupan kantor perwakilan Belanda di Ramallah, basis otoritas Palestina.
Akibat narasi yang digaungkan Geert dan partainya, komentar buruk dan perundungan online kini kian marak terhadap kelompok Muslim di Belanda. Selain itu, data dari peneliti Universitas Amsterdam, Ineke van der Valk memperlihatkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir 40% masjid di Belanda melaporkan kejadian vandalisme. Dampak serangan tersebut, mayoritas tempat ibadah kaum Muslim di sana akhirnya memperketat keamanan dengan menginstall CCTV dan perlengkapan penunjang lain.
Ujaran Kebencian dan Pemilihan Umum
Tindakan anarkis terhadap pengungsi Rohingya dan propaganda negatif terhadap kelompok Muslim di Belanda. Hal tersebut memperlihatkan bagaimana para politisi sengaja memanfaatkan insekuritas publik untuk memperoleh kekuasaan, utamanya jelang perhelatan pemilihan umum. Dalam suasana polarisasi, kelompok-kelompok tersebut mungkin cenderung mengadopsi retorika yang ekstrem untuk menarik dukungan dan membedakan diri dari pesaing politik.
Mereka tak segan memanfaatkan celah di media sosial untuk menyebarkan ujaran kebencian kepada kelompok tertentu. Dengan harapan, bahwa isu tersebut akan mengangkat mereka menjadi sosok pahlawan masa depan ketika terpilih. Selain bertujuan untuk menggaet simpati, adopsi ujaran kebencian atau ekstremisme juga dilakukan untuk mengalihkan perhatian dari isu-isu yang mungkin merugikan mereka. Dengan cara ini, mereka berupaya untuk meraih dukungan dari kelompok-kelompok tertentu yang mungkin lebih responsif terhadap pesan-pesan ekstrem.
Bila kita semua tidak ingin kejadian Rohingya terulang atau hasil pemilu Belanda terjadi di Indonesia, semua pihak perlu bekerjasama untuk mengurangi dampak ujaran kebencian dan ekstremisme selama pemilu. Gerakan kolaborasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga media, dan masyarakat sipil, untuk mempromosikan dialog yang sehat, penyebaran informasi yang akurat, dan pembangunan pemahaman bersama di antara warga negara perlu terus digalang agar pemilu Indonesia yang kian dekat tak ternodai oleh ujaran kebencian dan ekstremisme yang berpotensi memecah belah bangsa.