Ibuisme: Alat Kuasa untuk Mencegah Ekstremisme pada Anak

Pada era orde baru, ideologi ibuisme menjadi bagian dari cara negara untuk menciptakan stabilitas secara terstruktur. Misalnya kehadiran Dharma Wanita Persatuan dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Ruang yang diberikan kepada perempuan untuk menunjukkan eksistensi dirinya, nyatanya harus mengikuti jabatan dan karir suaminya. Lagi-lagi, penempatan ini yang awal mulanya diharapkan untuk menjadi ruang pemberdayaan untuk perempuan, justru malah dibuat tidak bebas karena ruang tersebut, bergantung terhadap suaminya.

Pada mulanya, ibuisme merupakan ideologi yang mendukung setiap Tindakan yang diambil oleh perempuan untuk mengurus keluarga, kelompok, kelas atau negaranya tanpa menuntut kekuasaan atau privilese sebagai imbalan. Ideologi memiliki ciri seperti tuntutan perempuan untuk mandiri dan bisa berdaya melalui kemampuan yang dimilikinya sebagai manusia.

Ibuisme: Alat Kuasa untuk Mencegah Ekstremisme pada Anak

Adanya ideologi ibuisme ini sebenarnya berasal dari sebuah mitos bahwa tugas dalam mendidik seorang anak merupakan tugas utama seorang ibu. Standart ini kemudian dibebankan kepada perempuan untuk terus mengawasi anak selama hidupnya. Suryakusuma menegaskan bahwa konsep ibuisme terbentuk dari hubungan anak dan ibu yang dimulai dari saat mengandung, melahirkan, menyusui, membesarkan anak dan memberikan pendidikan yang layak bagi anak untuk mengantarkan kepada kesuksesannya.

Ideologi ibuisme merupakan ideologi yang melegalkan tindakan apapun yang diambil perempuan demi keluarga tanpa mengharapkan kekuasaan atau prestise sebagai imbalan. Artinya, apapun pekerjaan yang dilakukan seorang ibu, misalnya dalam rangka pemberdayaan dirinya atau untuk membantu perekonomian keluarga, peran utamanya sebagai seorang ibu yang harus mengasuh dan merawat anak-anaknya.

Bisakah Ideologi menjadi Alat Kuasa untuk Mencegah Ekstremisme pada Anak?
Mungkinkah ibuisme ini bisa dihilangkan pada seorang perempuan yang memiliki anak? Jika jawabannya tidak, dengan alasan sikap naluriah dari seorang ibu kepada anak, maka ideologi ini bisa menjadi alat kuasa untuk mencegah ekstremisme kepada anak. Dalam suatu kasus, apabila seorang ibu memiliki profesi sebagai bidan, sepulang kerja, ia akan menemani anaknya untuk belajar, atau mengambilkan rapot anak dan meluangkan waktunya untuk merawatnya.

Bagaimana dengan posisi bapak? Tentu, ini adalah persoalan lain. Bersyukur apabila komunikasi dua arah diciptakan oleh suami dan istri, sehingga pola pengasuhan dan tugas domestik bisa dilakukan bersama. Namun, bukan kerja sama keluarga yang ingin saya bahas dalam tulisan ini. Ideologi ibuisme bisa menjadi alat kuasa untuk mencegah ekstremisme pada anak.

Salah satu bentuk ibuisme adalah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Mengapa saya katakan sebagai ibuisme? Ada beberapa alasan, di antaranya: pertama, KUPI sebagai wajah baru bagi para ulama perempuan Indonesia dalam menyuarakan paham keagamaan yang ramah terhadap perempuan. Tidak hanya menyuarakan, KUPI juga melakukan advokasi dan memperluas cakupan gerakan di berbagai wilayah. Kedua, KUPI tidak meniadakan atau menafikkan posisi perempuan sebagai ibu yang memiliki kedekatan dengan anak. Meskipun wacana yang diusung adalah pola pengasuhan bersama (suami-istri) kepada anak. Posisi ibu sebagai tokoh sentral yang melahirkan dan menyusui anak, tidak bisa dilepaskan dari sosok ibu.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh KUPI adalah menyebar luaskan kepada berbagai lembaga, mulai lembaga pendidikan, lembaga sosial, bahkan kepada para kelompok keluarga untuk mencegah ekstremisme terhadap anak. Upaya ini akan membuat para perempuan di dalam keluarga, menyebarkan ajaran yang sama kepada anaknya. Dengan begini, pencegahan ekstremisme kepada anak dimulai organisasi kecil dalam sebuah negara, yakni keluarga.

Apa yang Perlu Dilakukan Selanjutnya?
Hal yang paling bisa dilakukan untuk menciptakan ibuisme sebagai alat kontrol pencegahan ekstremisme kepada anak adalah pemberdayaan kepada perempuan. Ini penting dilakukan agar setiap perempuan memahami ap aitu ekstremisme, bagaimana cara pencegahan, dan apa saja yang bisa dilakukan kepada anak. Perempuan harus memiliki pemahaman ini dengan sangat baik karena, ia adalah sosok berpengaruh dalam keluarga. Dengan begitu, pencegahan ekstremisme bisa dilakukan dengan baik pada sebuah keluarga.

Pada perempuan muda, kita harus menyadari untuk belajar pengetahuan semacam ini, supaya mempersiapkan untuk menciptakan bangunan keluarga yang terhindari dari paham ekstremisme. Tentu, ini bukan hanya tugas perempuan untuk pencegahan ekstremisme kepada anak. Bertolak dari paham ibuisme yang sudah hadir sejak orde baru, maka penting untuk kita memahami bahwa, ibuisme bisa menjadi alat kuasa untuk pencegahan ekstremisme kepada anak.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top