29 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Peran Lapas sebagai Pembinaan Para Napiter

Narapidana terorisme (Napiter) merupakan kelompok yang penting untuk dibahas. Menyebut mereka sebagai pelaku karena terlibat dalam kelompok teroris, rasanya harus ditelaah lagi dari berbagai sisi. Di satu sisi, Napiter adalah kelompok yang meyakini bahwa teror adalah bentuk jihad. Mereka percaya bahwa dengan melakukan teror, mereka akan mendapatkan pahala dari Tuhan. Hal ini menyebabkan mereka rela untuk melakukan pengeboman, bahkan terlibat untuk membantu sebuah pengeboman.

Dari sini, maka dikategorikan bahwa kejahatan yang mereka lakukan adalah bentuk pelanggaran HAM berat. Di sisi lain, Napiter juga merupakan masyarakat biasa. Mereka memiliki latar belakang yang beragam, mulai dari pendidikan rendah, ekonomi lemah, hingga merasa terasing di tengah masyarakat. Hal-hal tersebut menjadi alasan seseorang terlibat dalam kelompok teror. Alasan ini kiranya menjadi landasan utama untuk memberikan pembinaan khusus kepada para Napiter.

Argumen di atas bukan untuk meniadakan hukuman yang harus diterima oleh Napiter. Akan tetapi, kita bisa melihat peran Lembaga pemasyarakatan (Lapas) sebagai wadah bagi para Napiter untuk melakukan refleksi, dan mendapatkan perubahan, atas ideologi/pemikiran yang dimiliki. Inilah yang dimaksud proses deradikalisasi, yang harus ditempuh oleh Napiter di Lapas. Berhasil tidaknya deradikalisasi ini, faktor besarnya bergantung kepada Lapas. Mengapa demikian?

Sudahkah Lapas Melakukan Tugas untuk Para Napiter?
Efektif atau tidaknya deradikalisasi terhadap pelaku atau narapidana terorisme sangat bergantung pada peran Lapas sebagai wadah pembinaan. Terdapat sejumlah alasan yang menyebabkan deradikalisasi di Lapas menjadi tidak efektif, di antaranya: kapasitas penjara yang melebihi kuota, bercampurnya narapidana tindak pidana umum dengan narapidana terorisme yang menjadi awal proses perekrutan baru calon pelaku terorisme, perilaku para narapidana terorisme yang tidak kooperatif, tidak mau mengikuti pembinaan, dan bersikap tertutup.

Ketidakmampuan petugas Lapas dalam melakukan pembinaan juga berpengaruh dalam proses deradikalisasi. Petugas tidak mengerti bagaimana cara membatasi pengaruh narapidana berideologi ekstrem kepada narapidana lain yang dapat dipengaruhi dengan ajaran radikal. Kondisinya diperparah dengan koordinasi yang buruk antara instansi pemerintah dan organisasi non pemerintah, yang memiliki program deradikalisasi yang stagnan dan tidak jelas (Insan Firdaus, 2016).

Perlu diketahui bahwa, setiap Napiter memiliki motif yang berbeda ketika bergabung dalam kelompok terori. Perbedaan motif tersebut bisa dilihat dari keyakinan, ideologi atau paham tertentu yang diaktualisasikan secara fanatik sebagai pilihan hidup. Perbedaan motif ini, harus diketahui oleh setiap petugas Lapas agar bisa memilih cara pembinaan dan pendekatan yang tepat kepada para Napiter.

Berdasarkan cerita para petugas Lapas di Yogyakarta, dalam Forum “Creator Space”, sebuah pelatihan yang mempertemukan para konten kreator untuk menyuarakan nilai-nilai perdamaian di media sosial, yang diselenggarakan pada September lalu, salah satu kesulitan besar yang dialami oleh mereka adalah pemahaman tentang radikalisme. Pemahaman tentang radikalisme yang dimaksud adalah, tidak ada tolok ukur yang pasti, seorang Napiter yang memiliki ideologi radikal parah, biasa, atau kategori yang paling bawah.

Kenyataan ini membuat mereka cukup kesulitan atas wujud pembinaan yang akan diberikan kepada Napiter. Padahal, cara pembinaan yang seharusnya diberikan kepada setiap Napiter itu tidak sama, karena tingkat radikalisme yang dimiliki oleh masing-masing Napiter berbeda. Tidak hanya itu, segala jenis pembinaan yang diberikan kepada para Napiter, baik yang bersifat kepribadian ataupun kemandirian, perlu sejalan dengan sistem pemasyarakatan yang menjadi kembatan dan melakukan rehabilitasi perubahan sikap, atau proses kehidupan yang dialami oleh para Napiter.

Proses pembinaan yang dilakukan di dalam Lapas, memberikan pengaruh besar terhadap proses deradikalisasi di dalamnya. Artinya, segala faktor berkenaan dengan kesiapan SDM untuk menangani para Napiter, perlu dipersiapkan dengan baik oleh setiap Lapas. Jika keberhasilan proses deradikalisasi adalah untuk menyadarkan dan meluruskan ideologi narapidana terorissehingga tidak mengulangi tindakan teroris, maka masalah ini sudah menjadi perhatian pemerintah.

Pendidikan kepada para petugas Lapas sangat penting diutamakan, agar mereka mampu memahami persoalan radikalisme, serta melihat trend yang sedang berkembang di media sosial. Dengan begitu, mereka mampu menganalisis kondisi yang dialami oleh para Napiter, dan bisa memilih melakukan pembinaan seperti apa.
Setiap Lapas, perlu bekerja sama dengan pemerintah pusat terkait kondisi Lapas dan kebutuhan yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian, kerja sama kolektif kolegial dalam rangka meningkatkan keberhasilan deradikalisasi, akan terus tercipta untuk meminimalisir masalah terorisme di Indonesia.

TERBARU

Konten Terkait