Hajatan akbar pesta demokrasi Indonesia yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali menjadi fenomena dan topik hangat yang selalu menarik untuk dibicarakan. Mengapa demikian? Tidak lain dan tidak bukan karena pemilu adalah agenda penting yang ditunggu-tunggu. Perhelatan ini juga merupakan momentum untuk merubah tatanan kehidupan kebangsaan dengan membuka kebebasan setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam proses Pembangunan bangsa dan negara. Partisipasi politik ini sekaligus merupakan wujud pengejahwantahan kedaulatan rakyat yang mana menjadi hal yang sangat fundamental dalam proses demokrasi.
Salah satu isu yang selalu muncul menjelang pemilu adalah tentang politisasi identitas. Politisasi identitas diartikan sebagai upaya untuk menggunakan, mengekploitasi, atau memanipulasi identitas apakah itu identitas agama,etnis, atau ideologi tertentu untuk menimbulkan opini atau stigma dari masyarakat dengan tujuan kepentingan politik. . Isu-isu yang berkaitan dengan identitas digunakan oleh sebagian elit politisi untuk membangun citra negative lawan-lawan politiknya.

Politisasi semacam ini berpeluang melemahkan nilai-nilai demokrasi yang dicita-citakan dan justru menjurus pada perpecahan. Terlebih, potensi menyusupnya paham radikalisme menjelang pemilu menjadi lebih besar. Bagaimana itu bisa terjadi?
Radikalisme dalam Politisasi Identitas
Radikalisme adalah sebuah ideologi yang meninginkan perubahan politik Kembali ke akar dengan cara yang drastic dan ekstrim serta menggunakan pemaksaan dan kekerasan. Mereka selalu menolak kondisi sosial politik yang sedang berlangsung, kemudian memaksa merubah keadaan tersebut ke dalam tatanan yang sesuai pada ideologinya dan merasa bahwa ideologinyalah yang paling benar dan paling unggul di antara ideologi yang lain.
Dalam konteks Indonesia, radikalisme agama terjadi karena dalam anggapan kelompok radikal, system negara Indonesia yang terlalu berkiblat pada demokrasi dan Pancasila menyebabkan banyak sekali ketidakadilan yang dialami Masyarakat. Karenanya menurut mereka satu-satunya jalan memperbaiki ketidakadilan itu adalah dengan menjadikan syariah sebagai satu-satunya ideologi yang menjadi landasan konstitusi maupun dasar negara.
Bukti bagaimana mereka ingin mereaktualisasi paham radikalisme bisa kita lihat pada momentum Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Gerakan massa yang dilabelisasi dengan 411, 212, 313 menjadi benih baru radikalisme dengan memanfaatkan berbagai adagium agama untuk memicu emosi public dan memunculkan polarisasi di tengah masyarakat.
Karena itu politisasi identitas sangat berbahaya karena berpotensi pada menyusupnya paham radikalisme.Adagium Islam dan syariah kemudian dijadikan alat untuk menarik minat dari pemilih yang beragama Islam. Mereka menggunakan label islamisasi untuk memaksakan kehendak radikalnya untuk melakukan perlawanan kepada siapaun yang tak sejalan dengan agenda politiknya.
Hal tersebut tentu sangat berbahaya karena dapat menggiring opini public bahwa seorang calon tidak layak menjadi pemimpin karena berasal dari agama atau ideologi yang tidak sama dengan agama yang menjadi mayoritas. Tentu ini akan menyebabkan perpecahan di Masyarakat.
Radikalisme di Media Sosial
Pertarungan politik dalam pemilu sangat berpotensi menciptakan ketegangan di media sosial. Apalagi saat ini media sosial telah menjadi media dengan pengguna yang sangat besar. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan kelompok radikal yang menjadikan media sbagai saluran penyabaran propaganda dan isu radikalisme. Mereka akan dengan mudah dengan memproduksi konten radikal dan menyasar warganet sebagai target.
Konten radikal sangat berbahaya dan sangat berpotensi menggagalkan pemilu. Melalui konten radikal Masyarakat digiring pelan-pelan pada pemahaman bahwa siapa pun presidennya nanti hasilnya akan sama saja, pemerintahan akan tetap buruk dan tidak menjamin kesejahteraan rakyat. Jika sudah begini maka akan menaikkan Tingkat golput di kalangan pemilih.
Dalam tataran mikro, Pertarungan politik antar kubu dapat menjadi ladang subur bagi mereka untuk menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian yang provokatif berbau agama. Disinformasi ini akan menjadi pemicu polarisasi di Tengah Masyarakat yang akan terus menimbulkan perpecahan bahkan setelah pemilu selesai.
Dampaknya Terhadap Integrasi Bangsa
Demokrasi memang memberikan ruang bagi setiap kelompok identitas untuk turut berpartisipasi dan mencapai keinginannya. Dalam kontestasi politik, ketika identitas agama dijadikan alat politik maka hal tersebut akan menjadi sasaran empuk kelompok radikal untuk menyusupinya dengan paham radikalisme. Karena itu, politisasi identitas seperti ini justru berpeluang untuk melemahkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri apabila menjurus pada perpecahan. Karena melibatkan emosi dan ranah kesadaran Masyarakat politisasi identitas berpotensi mengganggu modal sosial dan dapat mengancam integrasi bangsa.