Kasus terorisme merupakan sebuah bencana sosial yang terjadi di Indoenesia pada abad 21 ini, setelah kasus bom Bali dan rumah ibadah dan ruang publik lainnya. Menyikapi kasus yang sudah melanggar batas norma dan Hak Asasi Manusia ini, pemerintah turut andil dengan mendirikan sebuah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme BNPT sebagai sebuah upaya dalam menanggulangi bencana sosial tersebut. Kendati demikian, penyebaran dari oknum-oknumnya tidak berhenti begitu saja. Di sisi lain, kasus ini menjadi sebuah problem pada masyarakat sekitar. Sebab, dampak dari kekerasan ini adalah luka yang dirasakan korban, tidak hanya fisik, melainkan mental dan psikis seseorang.
Kendati pemerintah memiliki kepedulian dengan membuat berbagai macam upaya seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada tahun 2020 dengan memberikan kompensasi terhadap korban. Presiden Jokowidodo mengatakan bahwa Sejak 2018 upaya pemulihan korban dilakukan melalui LPSK, dalam bentuk pemberian kompensasi, bantuan medis, dan layanan psikologis serta rehabilitasi psikososial. Presiden Joko Widodo telah menandatangani PP No. 35 Tahun 2020 tentang “Perubahan PP Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban” pada tanggal 7 Juli 2020 dan telah diundangkan pada tanggal 8 Juli 2020. PP tersebut dimaksudkan agar korban dan saksi dari tindak pidana terorisme mendapatkan jaminan dari pemerintah baik dari kompensasi, medis dan psikologis.
tetapi nyatanya tidak semua hal berjalan seperti renca. Sehingga masih ada korban yang tak terdeteksi yang mengharuskan dirinya menyembuhkan dirinya sendiri (jika sembuh, dan bagaimana kalau situasi semakin memburuk?). Karena tidak dapat dipungkiri bahwa rasa trauma tidak bisa sembuh dengan waktu yang singkat. Sebagaimana kita yang trauma dengan motor, mobil dan pesawat pasca terjadi sebuah kecelakaan, maka hal itu pula yang terjadi pada para korban terorisme khusunya pengeboman yang menciderai banyak hal.
Beberapa korban merasakan sebuah fasilitas dari pemerintah maupun lembaga untuk bangkit dari luka fisik maupun psikis akibat serangan terorisme. Tetapi tidak semua merasakan hal yang demikian, sehingga ia harus merangkak untuk sembuh bahkan merangkap untuk tetap hidup dalam keadaan “trauma” bersama tanggung jawabnya (baca: anak, keluarga dan hidupnya sendiri). Dalam wawancara yang dilakukan oleh tim BBC pada Endang Isnanik (korban tindak pidana terorisme) terdapat sebuah hal yang mengejutkan. Betapa sebagai korban ia tidak memperoleh kompensasi apapun dari pemerintah.
Pasca ditinggalkan suaminya pada kejadian bom Bali pada tahun 2002, ia harus melanjutkan hidupnya dengan “mati segan hidup tak mampu”. Setelah ditinggal seseorang yang menjadi tulang puggung keluarga, Endang harus menanggung lukanya sendiri dan hidup ketiga anaknya dalam kondisi fisik yang “kurang sehat”. Pasalnya pada tahun 2000 ia menderita radang sendi rheumatoid arthritis yang menyebabkannya sulit berjalan ditambah adanya lilitan hutang. Endang mengalami depresi apalagi ada kejadian memilukan yakni diusir dari kontrakan dan harus mencari tempat tinggal baru dengan kondisi tidak memiliki uang dengan ke tiga anaknya yang masih kecil.
Untuk menyambung hudupnya, Ia bekerja sebagai penjahit tetapi tidak bisa rutin menjahit karena penyakit yang diderita. Perlahan bantuan mulai datang dari lembaga suasta tetapi tidak ada satupun dari pemerintah, kendati ia dan keluarga sudah berharap pada PP No. 35 Tahun 2020 tentang “Perubahan PP Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban”. bantuan yang sampai pada Endang dan keluarga hanya dari LSM dan lembaga suasta lainnya. Kemudian, pihak pemerintah hanya memberinya Kartu Indoensia Sehat dan sembako dari BNPT.
Endang adalah satu dari sekian individu yang menjadi korban terorisme tetapi tidak mendapat perhatian pemerintah. Kendati ada beberapa lembaga yang mendukungnya, ini tidak sebanding dengan usaha dan rasa sakit yang dirasakan. Sebagai warga negara yang “seharusnya” dijamin hak dan kewajibannya, hal ini nyatanya tidak berlaku bagi Endang. Dari kejadian tersebut, maka tindak pidana terorisme tidak bisa dibenarkan atas dalil apapun, kendati dalil-dalil agama yang difahami secara tekstual.
Karena jika merujuk pada teks agama, maka tidak ada satu agamapun yang menghendaki kekerasan melainkan mengajarjan mengenai kedamaian dan cinta. Sehingga, sebagai manusia yang seharunya menjadi kholifah fil ardh tidak seharusnya melakukan hal demikian apalagi jika misinya adalah mendirikan sistem khilafah, tentu sangat tidak make sanse jika seseorang tersebut mempelajari agama dengan baik, (tetapi kejadian tersebut bisa terjadi akibat ambisinya kekuasaan dan sistem politik yang dikehendakinya. Wallahua’lam bishshawab.