Jakarta – 12 Oktober 2002 adalah hari yang tidak akan pernah dilupakan oleh Garil (27 Tahun). Pada hari itu, Ayah dari Garil, menjadi salah satu korban serangan bom yang menewaskan 203 orang di Bali. Garil saat itu masih berusia 10 tahun yang masih berada di kelas 5 Sekolah Dasar. Peristiwa itu meninggalkan luka yang mendalam bagi Garil. Ia merasa kehilangan, marah, dan bingung. Terbersit rasa bersalah karena tidak bisa melindungi ayahnya. Kehilangan orangtua menjadi patah hati paling dalam yang dirasakan oleh anak-anak.
Dalam WGWC Talk Seri 30 ”Untold and Unhear Story, Melampaui Trauma: Waktu Menyembuhkan Patah Hati, Tapi Begitulah Jalannya” akan mengangkat suara anak korban terorisme Agenda yang digelar oleh Yayasan Keluarga Penyintas (YKP) bersama Working Group on Women Preventing Countering Violent Extremism (WGWC) dan The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia dihadiri sebanyak 30 orang dengan jumlah peserta laki-laki mencapai 8 orang dan peserta perempuan mencapai 22 orang.
Agenda dimulai dengan mendengarkan cerita dari Sarah Darien Salasabila, putri dari korban serangan bom di Kedutaan Australia yang menceritakan pengalaman pahitnya dan bagaimana kegiatan-kegiatan sekolahnya menjadi pijakan penting dalam proses pemulihannya. ”Kejadian tersebut terjadi saat aku masih berusia 5 tahun, sulit bagiku memahami makna sebenarnya dari kehilangan dan menjadi korban bom,” ucapnya melalui zoom meeting, rabu (13 Desember 2023).
Dirinya menyadari arti kehilangan ketika aku memasuki masa remaja, khususnya saat SMP. Pada masa SMP, menjadi periode mulai memahami arti sejati dari kehilangan dan menjadi korban. Perjalanan tersebut, bukan hanya tentang kehilangan fisik, tetapi juga kehilangan emosional dan makna yang terkait dengan status korban.
Dalam masa tersebut, dirinya menjadi anak yang mudah terharu, bahkan oleh hal-hal sepele seperti melihat orang sedih atau hewan yang menderita. Sensitivitas ini membentuk karakter dirinya menjadi sulit untuk marah dan mudah memaafkan kesalahan orang lain. Meskipun mengalami perbedaan pandangan dengan orang lain, dirinya lebih memilih untuk meminta maaf daripada mempertahankan perasaan kesal.
”Itulah pembelajaran berharga yang aku peroleh dari pengalaman pahitku, membentuk diriku menjadi pribadi yang memilih damai dan penuh toleransi,” terangnya.
Kemudian, Silva Rantelimbong, putri dari korban serangan bom Pasar Tentena, berbicara tentang dukungan keluarganya dan kompensasi serta pelatihan yang diterimanya sebagai bentuk bantuan jangka panjang. Perjalanan pemulihannya menjadi sebuah cerita yang menginspirasi.
”Aku merasa benar-benar ikhlas. Ayahku telah mengajarkan ku untuk selalu bersikap ikhlas dan selalu memberikan maaf. Bagi ayah, yang merupakan korban langsung dengan kehilangan mata, kehilangan istrinya, dan kehilangan pekerjaannya, ia dengan mudah memaafkan pelaku,” terangnya.
Diungkap olehnya, memaafkan bukanlah tindakan yang sulit. Oleh karena itu, dirinya telah melepaskan dendam dan amarah. Saat ini, dirinya bukan berfokus pada orang-orang yang salah. Akan tetapi, berfokus untuk membangun diri keluar dari peristiwa kehilangan.
Yunita Elizabeth Bulan, anak dari korban bom Jemariat Hotel Jakarta, yang berjuang untuk bangkit, memerangi kelainan darah dan menghadapi biaya perawatan sendiri, tetapi mendapatkan dukungan yang berarti dari ibunya dan teman-temannya di sekolah. Dalam agenda tersebut hadir sebagai penanggap Wakil Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Susi Sulaningtyas.
Dirinya memberikan informasi tentang peran LPSK dalam membantu anak-anak yang menjadi korban terorisme. ”Meski dihadapkan pada hambatan seperti kurangnya regulasi dan masalah anggaran, LPSK berkomitmen untuk memberikan perlindungan psikososial bagi para korban,” tegasnya.
Terakhir, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dr. Aris Adi Leksono, menjelaskan upaya KPAI dalam memperbaiki aturan perlindungan saksi dan korban. Program pemulihan psikososial sedang dirancang untuk membantu anak-anak penyintas terorisme lebih efektif.