Ketika mendengar berita penangkapan teroris, seringkali yang terbersit dalam fikiran saya bukan tentang bagaimana kelanjutan proses operasi penangkapan tersebut. Saya justru penasaran bagaimana kemudian nasib keluarga pelaku teroris tersebut, terutama anak-anaknya. Bukan saja karena anak terpidana teroris tersebut kehilangan sosok ayah dan tulang punggung keluarga, tetapi juga bagaimana mereka menghadapi anggapan masyarakat yang berubah negatif kepada mereka.
Anak terpidana teroris seringkali dikucilkan dan menerima stigma buruk dari masyarakat. Mereka seringkali dicap sebagai “anak teroris” oleh masyarakat dan oleh teman bermainnya. Kondisi ini tentu membuat mereka menarik diri dan menghambat mereka dalam berinteraksi dengan orang sekitar. Tidak sedikit yang akhirnya tidak bisa mengenyam Pendidikan formal atau harus berpindah-pindah sekolah. Anak menjadi kehilangan hak mendapatkan Pendidikan yang tentu berdampak pada pertumbuhan intelektual dan sosialisasi anak tersebut. Padahal dua hal tersebut sangat penting untuk bekalnya dalam menyongsoong kehidupannya kelak.
Lalu apa sebenarnya yang dialami oleh anak terpidana teroris sejak orangtuanya ditangkap dan dipidana? apa dampak yang terjadi jika anak tersebut terus-terusan mendapatkan stigma dan diskriminasi dari masyarakat?
Trauma Sebagai Faktor Resiko
Trauma adalah keadaan di mana seseorang mengalami suatu peristiwa yang mengejutkan yang kemudian menimbulkan perasaan takut dan cemas yang begitu hebat. Anak-anak terpidana teroris sudah pasti mengalami trauma ketika menyaksikan orangtuanya ditangkap sebagai teroris. Apalagi berita tentang kejahatan yang dilakukan orangtuanya tersebut beredar di berbagai platform baik media massa, media elektronik maupun media online.
Dalam konteks psikologi, peristiwa traumatik yang dirasakan anak-anak terpidana teroris tersebut akan memberikan dampak yang negatif dalam perkembangan kepribadian dan sosialnya. Hal ini dikarenakan anak-anak mempunyai kebutuhan dan kerentanan di mana kemapuan fisik dan mental intelektualnya sedang berkembang.
Inilah yang kemudian menjadi faktor resiko di mana anak akan mengalami Post Traumatic Stress Disorder di kemudian hari ketika menghadapi pemicu trauma. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa kerentanan anak untuk mengalami Post Traumatic Stress Disorder adalah satu setengah kali lebih besar daripada yang dialami oleh orang dewasa. Hal ini dikarenakan mereka sedang dalam masa pertumbuhan dan belum sempurnanya sistem syaraf pusat yang dimiliki anak.
Perlakuan yang salah terhadap anak yang mengalami trauma akan menyebabkannya mengalami gangguan perkembangan psikologis. Kekerasan verbal yang dialami anak-anak terpidana teroris seperti dicap anak teroris dan stigma negatif lainnya akan menghilangkan dan mempengaruhi harga diri serta kepercayaan dirinya. Dia akan minder,mudah tersinggung, dan terus dihantui perasaan bersalah yang sebenarnya bukanlah menjadi tanggungjawabnya. Karena kekerasan ini diperoleh melalui proses verbal, maka tidak menutup kemungkinan anak juga akan kehilangan kemampuan verbalnya.
Dampak negatif yang lebih ekstrim, anak akan nekat mewujudkan apa yang dilabelkan oleh masyarakat pada dirinya. Anak yang diberi label nakal, diperlakukan seperti anak nakal, lama kelamaan dia akan benar-benar menjadi anak nakal. Jika anak dilabeli anak pintar, diperlakukan sebagai anak pintar, maka dia akan benar-benar menjadi pintar.
Hal yang sama juga terjadi jika seorang anak terpidana teroris terus dilabeli sebagai anak teroris, diperlakukan seperti teroris, dijauhi,dibenci dan didiskriminasi, maka bisa jadi di kemudian hari dia benar-benar menjadi seorang teroris. Ini suangat berbahaya. Bisa dikatakan kita sedang mempersiapkan seseorang untuk menjadi teroris di masa depan. Tentu kita tidak mau ini terjadi.
Tumbuh dan Berkembang dalam Lingkungan baik Adalah Hak Setiap Anak
Semua anak mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Anak dilahirkan belum bersifat sosial yang artinya dia belum memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang lain. Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan yang diterimanya baik itu oleh orangtua, guru, atau siapa pun yang ada disekitar anak. Orang-orang tersebutlah yang kemudian mengenalkan nilai-nilai yang ada dalam kehidupan sosial termasuk norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Lalu bagaimana anak dapat mencapai kematangan sosial jika dia tidak diperlakukan sebagaimana mestinya hanya karena dia adalah anak dari terpidana teroris? Ketika dia dibenci, dikucilkan, dilabeli dan distigma maka pengalaman pahit tersebut justru akan memupuk kebencian kepada masyarakat ataupun kepada pemerintah. Bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi aksi balas dendam dan menjadi pola baru aksi teror karena anak terpidana teroris terus terbelenggu dalam stigma dan diskriminasi.
Karena itu, anak-anak yang dalam masa perkembangan dan orangtuanya terjerat kasus terorisme haruslah mendapatkn pendampingan yang khusus. Mereka adalah anak-anak yang dalam kesehariannya dihadapkan dengan masalah-masalah psikologis seperti depresi, minder, trauma dan stress. Pelabelan, stigma dan diskriminasi justru akan menghambat perkembangan psikologis maupun kepribadiannya.
Jangan lupa bahwa dalam UU Perlindungan Anak menetapkan bahwa kategori anak yang harus mendapatkan perlindungan adalah anak yang mengalami stigmatisasi dan labelisasi akibat dari perbuatan orang tua mereka. Bentuk perlindungan yang bisa dilakukan adalah dengan konseling, pendampingan sosial dan rehabilitasi.
Kita sepakat bahwa aksi terorisme bukanlah tindakan yang terpuji. Namun yang perlu dikritisi adalah bagaimana masyarakat seringkali melakukan generalisasi bahwa anak terpidana teroris juga sama jahatnya dengan pelaku. Padahal kita tahu bahwa seorang anak ibaratkan sebuah kertas putih yang bersih. Berubahnya warna kertas putih tersebut sangat tergantung dengan bagaimana lingkungan sekitarnya memperlakukannya.
“It takes a village to raise a child” bukanlah sebuah pepatah belaka. Mari kita putus rantai jaringan terorisme dangan berlapang hati menerima eksistensi anak-anak terpidana teroris. Perlakukan mereka sebagaimana kita memperlakukan anak-anak lain yang juga mempunyai hak bertumbuh dan berkembang dengan iklim pengasuhan yang baik.