Ada 11 orang tewas dan puluhan korban luka dalam sebuah ledakan yang terjadi saat misa Katolik di sebuah gedung olahraga universitas Filipina pada Minggu, 3 Desember, waktu setempat. Ledakan tersebut terjadi pada pukul 07.00 pagi di Kota Marawi. Kejadian terjadi sesaat setelah pembacaan Injil pertama dalam misa Katolik pada Minggu pertama masa adven. Apakah serangakan tersebut masuk dalam kategori serangan terorisme?
Serangan bom yang meledak pada saat misa di sebuah gymnasium universitas di Marawi, menjadi pertanda bangkitnya ISIS di Asia Tenggara menguat. Alasan ini dikarenakan serangan yang terjadi di Marawi, bukan pertama kali terjadi. Kota tersebut sudah menjadi saksi agresi mematikan ISIS sejak tahun 2017 silam.
Mengutip VOA, militan ISIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan bom pada Minggu di Mindanao State University, tidak lama setelah Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr mengatakan “teroris asing” bertanggung jawab atas serangan tersebut. Perlu diketahui juga bahwa, Marawi adalah daerah yang dikenal juga sebagai Bangsamoro.
Diketahui juga jika daerah tersebut merupakan berpenduduk Muslim. Diketahui, selama puluhan tahun daerah ini berjuang melawan berbagai pelanggaran hukum, kekerasan oleh separatis dan konflik antarsuku. Dengan adanya kejadian tersebut, dikhawatiran tempat ini akan menjadi lahan yang subur bagi ekstremisme.
ISIS menyerang kelompok secara acak. Di mana pelaku teror, tidak menyasar secara spesifik latar belakang korban ketika melakukan teror. Artinya, siapapun berpotensi untuk menjadi korban teror, selagi berada di tempat yang menjadi objek ledakan para teroris. Karena sering mengabaikan korban teror, penting untuk kita mengetahui beberapa informasi soal kategori korban dalam ledakan bom.
Hal ini berkenaan dengan hak dan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Ada beberapa kategori korban pada sebuah peristiwa teror, di antaranya:
Pertama, direct victims of terrorism (korban terorisme langsung). Kelompok ini adalah orang yang terlah terbunuh atau menderita secara serius cidera fisik dan psikis akibat serangan bom yang dialami oleh para teroris. Mengacu kepada kelompok korban ini, terorisme dianggap pelanggaran HAM karena hak manusia untuk hidup dirampas. Para teroris mengganggu keamanan fisik dan menciderai integritas moral.
Kedua, secondary victims of terrorism (korban terorisme sekunder). Kelompok ini adalah keluarga terdekat atau orang yang menanggung korban dari aksi terorisme. Istilah korban juga ‘meliputi keluarga langsung atau tanggungan langsung’. Berdasarkan pengertian ini, maka HAM telah diperluan dengan menyertakan secara de facto bahwa hubungan atau relasi pribadi terkait pasangan sejenis mencakup pula dalam pengertian ini. Orang terdekat korban, adalah orang lain yang akan menemani sepanjang perjalanan hidup korban (apabila masih hidup).
Ketiga. Indirect victims of terrorism (korban terorisme tidak langsung). Mereka adalah kelompok yang menderita fisik atau serius atau gangguan psikologis akibat tidak langsung dari ledakan/aksi terorisme yang terjadi. Kelompok ini meliputi: a.) saksi mata yang berada di dekat kejadian dan menderita gangguan psikologis. b.) Individu yang telah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh aparat setelah keliru mengidentifikasi sebagai tersangka teroris. c.) anggota masyarakat (seperti sandera atau pengamat) yang telah terbunuh/terluka melalui penggunaan kekuatan yang berpotensi mematikan terhadap tersangka teroris. d.) petugas penyelamat yang mengalami gangguan/trauma psikis karena pernah menyaksikan peristiwa bom.
Keempat, potential victims of terrorism (korban terorisme yang potensial). Kelompok ini adalah kategori tambahan. Kelompok ini adalah penerima utama dari kewajiban negara di bawah pasal 6 dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Selain itu pula, pencegahan atas Tindakan terorisme di masa depan merupakan bagian penting dari kewajiban negara, berdasarkan pasal 6 dari Kovenan, untuk melakukan penyelidikan Tindakan terorisme secara cepat, menyeluruh, independent dan tidak memihak.
Berdasarkan kategori ini, kita dapat memahami kebijakan yang harus diterapkan oleh pemerintah kepada korban. Kategori di atas bisa kita jadikan acuan untuk melakukan pendampingan kepada korban. Tidak hanya korban langsung, korban tidak langsung yang sudah disebutkan di atas, perlu mendapatkan perhatian pemerintah ataupun kita sebagai masyarakat sipil.