Yang Terlupakan dari Korban Tidak Langsung Aksi Teror

Dalam banyak kasus terorisme, sudut pandang pelaku teror seringkali mendapat sorotan tajam. Sayangnya, perspektif ini kemudian menafikkan bahwa di saat yang sama, mereka memiliki pasangan, anak, atau anggota keluarga lain yang menjadi korban, dan pada akhirnya terkena imbas negatif terkait apa yang dilakukan oleh pelaku. Pada kondisi tersebut, orang terdekat pelaku bisa disebut sebagai korban tidak langsung (indirect victim).

Berbeda dengan korban langsung yang mendapat perhatian khusus karena secara gamblang terlihat dampak yang mereka alami. Korban tidak langsung acap dikecilkan penderitaanya karena diasumsikan mendukung tindak terorisme. Mereka dikucilkan, bahkan menerima peminggiran dari kalangan keluarga. Begitu juga lingkungan sosial meski sebagian besar dari mereka tidak mendukung tindak kejahatan dari pelaku. Berdasarkan pengakuan dekat sejumlah pasangan dan anak pelaku teror, mereka tidak semuanya mengetahui dan bahkan mempertanyakan niat dari pelaku teror tersebut.

Yang Terlupakan dari Korban Tidak Langsung Aksi Teror

Namun, publik selalu mengira bahwa mereka adalah pendukung utama aksi teror yang dilakukan. Seperti yang disampaikan oleh Dentri, adik pelaku bom Surabaya yang menyampaikan bahwa ia dan keluarganya masih mengalami trauma akibat kelakuan dari kakaknya. Bahkan ketika ingin diwawancarai oleh media usai satu tahun peristiwa bom itu terjadi, orangtua pelaku hingga kini masih tertutup dan tak ingin angkat bicara.

Berdasarkan penuturan Dentri, perasaan orangtuanya campur aduk. Mereka diselimuti rasa sedih hingga kecewa. Sehingga itu membuat mereka takut menghadapi publik karena khawatir akan terus menerus disalahka. Padahal mereka tidak tahu menahu mengapa anak mereka tega melakukan tindak kejahatan tersebut.

Dampak Negatif yang Diterima Korban Tidak Langsung
Apa yang dialami oleh keluarga Dentri tadi, dimana orangtua mereka berusaha menutup diri dari publik akibat perilaku teror kakak kandungnya merupakan salah satu trauma psikologis yang dihadapi oleh korban tidak langsung dari aksi terorisme. Selain malu dan mengalami ketakutan akan prasangka negatif yang dituduhkan kepada mereka, korban juga terkungkung akibat stigma sosial yang mereka hadapi. Tak ayal, mereka memilih mengisolasi diri dan mengurangi interaksi dengan anggota masyarakat lainnya.

Selain trauma psikologis, keluarga pelaku juga rentan untuk mengalami depresi. Perasaan kalut, ketakutan, dan kecewa bisa mendorong mereka untuk overthinking, dan bila tidak ditangani secara serius. Hal ini bisa mengakibatkan depresi berkepanjangan. Gejala-gejala awalnya mungkin sepele, seperti tidak nafsu makan, gangguan tidur, mengalami lemah, letih, dan lesu serta tidak ada gairah untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Oleh karenanya, mengandalkan aduan dari keluarga korban tidak bisa menjadi satu-satunya jalan keluar. Tetangga, komunitas, minimal pimpinan wilayah seperti ketua RT/RW seharusnya tanggap dengan tidak semerta-merta menuduh keluarga korban sebelum ada pemeriksaan lanjut dari pihak berwajib. Ketika keluarga korban terlihat murung, perlu ada pendekatan personal agar dampak negatif secara emosional ini bisa ditekan.

Di samping dua efek negatif tadi, pengungkapan keterlibatan keluarga dalam terorisme dapat menyebabkan perpecahan dalam keluarga, dengan anggota keluarga yang lain merasa terguncang dan mungkin menolak atau mengucilkan anggota yang terlibat. Isolasi keluarga ini mungkin akan sulit terdeteksi dari luar, oleh karenanya diharapkan pihak berwajib perlu tanggap untuk mendampingi keluarga pelaku agar ke depan mereka mendapat bantuan psikologis yang tidak hanya membantu mereka merawat luka batin, tetapi juga menyembuhkan trauma sosial yang mereka harus hadapi.

Pendekatan Holistik dalam Proses Pemulihan Korban
Berkaitan dengan proses pemulihan para korban terorisme, kiranya pihak berwajib perlu melakukan pendekatan yang holistik dan terus memberikan dukungan yang berkelanjutan. Pertama-tama, dukungan psikologis dan kesehatan mental menjadi kunci utama dalam memfasilitasi proses penyembuhan. Terapis yang terlatih dapat membantu lingkaran terdekat pelaku terorisme untuk mengatasi kecemasan, depresi, dan stres pasca-trauma.

Selain itu, mereka perlu didorong untuk membuka diri dan membangun jaringan sosial. Dengan membuka diri dan berdialog, mereka akan memiliki kesempatan untuk meluruskan prasangka yang mereka terima, baik itu dari keluarga, teman, maupun komunitas sekitar. Dengan kata lain, keterlibatan mereka dalam kegiatan sosial dan rehabilitasi dapat membantu mengurangi isolasi sosial dan memperkuat rasa keterhubungan yang sempat retak akibat tindakan dari pelaku teror.

Selanjutnya, memberikan pelatihan keterampilan dan pendidikan untuk meningkatkan kemandirian ekonomi korban terorisme dapat menjadi langkah penting dalam membangun masa depan yang lebih baik. Mengapa pelatihan ekonomi dirasa penting? Sebab mayoritas pelaku teror kerap meninggalkan istri atau keluarga mereka tanpa memberikan pendapatan secara rutin. Penangkapan pelaku tidak hanya membuat korban terisolasi tapi juga membuat kegiatan ekonomi mereka lumpuh. Oleh karena itu pemberdayaan ekonomi bisa menjadi jalan keluar sebagai strategi pemulihan yang efektif.

Perlu diingat juga bahwa semua strategi tadi menekankan pada keterlibatan dukungan pemerintah dan organisasi non-pemerintah agar tercipta program rehabilitasi yang berkelanjutan. Dengan pendekatan yang komprehensif ini, diharapkan para korban tidak langsung dari terorisme dapat pulih secara menyeluruh, membangun kekuatan dari dalam, dan mengembangkan kembali makna hidup setelah mengalami tragedi yang melanda mereka.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top