Serangan pemerintah Israel di wilayah Palestina yang telah menewaskan ribuan orang dalam satu bulan terakhir telah menuai protes di berbagai belahan dunia, termasuk di Israel sendiri. Sejumlah warga menilai pilihan perang dan tindakan militer yang dilakukan oleh pemerintah Israel sejatinya adalah cara pemerintah untuk mengalihkan isu korupsi yang sedang mereka hadapi di dalam negeri. Meski gelombang protes semakin menguat, namun nyatanya banyak dari warga Israel masih mendukung pemerintahan sayap kanan Israel yang kini dipimpin oleh Benjamin Netanyahu.
Mereka menilai bahwa tindakan militer masih relevan diimplementasikan meski di satu sisi memakan banyak korban, termasuk anak-anak. Mereka mempercayai bahwa warga sipil yang tewas digunakan oleh Hamas sebagai tameng agar Hamas masih dapat leluasa bergerak dan menyerang Israel. Walau realitanya warga sipil yang tak tahu apa-apa banyak berguguran. Fakta ini tak menyurutkan dukungan sebagian warga Israel untuk meluluhlantakkan Palestina.
Meski terdengar kejam, ketika ditelusuri keyakinan dan ideologi ekstremisme ini tak tumbuh begitu saja. Riset dari Tamar Mitts (2019) menunjukkan bahwa meski dukungan terhadap pemerintah sayap kanan sejatinya sangat dinamis. Namun secara umum dukungan publik kepada pemerintahan populis yang melegalkan tindak kekerasan terus stabil dari tahun ke tahun. Puncak dukungan itu bahkan sempat mencapai level tertingginya usai Intifada kedua.
Pada kejadian intifada kedua, terjadi gelombang protes besar-besaran warga Palestina terhadap Israel yang dipicu oleh kunjungan kontroversial yang dilakukan oleh pemimpin oposisi Israel, Ariel Sharon, ke kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur pada 28 September 2000. Kunjungan tersebut dipandang sebagai provokasi oleh banyak orang Palestina. Hal ini mengakibatkan demo massal di seluruh wilayah Palestina yang diduduki Israel.
Akibat hal ini, para demonstran sering bentrok dengan pasukan keamanan Israel. Tak hanya itu, dalam selang waktu lima tahun, dilancarkan juga serangan kelompok-kelompok Palestina terhadap Israel termasuk serangan bom bunuh diri, penembakan, dan jenis kekerasan lainnya. Merespon tindakan warga Palestina, pemerintah Israel langsung mengadakan operasi militer dan melakukan penahanan massal. Selain terjadi demo, selama Intifada Kedua, terjadi banyak bentuk pembangkangan sipil, dari mogok kerja hingga protes yang dipimpin oleh anak-anak muda dan kelompok perempuan. Mereka terus menggaungkan tuntutan untuk kemerdekaan Palestina.
Di sisi lain, pemerintah Israel melalui media massa yang mereka control terus menerus menebarkan propaganda ketakutan dan narasi nasionalis yang memojokkan warga Palestina. Akibatnya sepanjang 28 September 2000 hingga 8 Februari 2005, dukungan terhadap pemerintah sayap kanan, termasuk dari anak mudanya, naik secara signifikan. Mereka dibayangi ketakutan bahwa warga Palestina melakukan balas dendam dan cara terbaik untuk meredam itu adalah serangan militer secara brutal kepada warga sipil Palestina.
Tak hanya itu, penelitian dari Tamar juga menunjukkan bahwa banyak buku, konten media massa baik cetak maupun elektronik pada waktu itu dihiasi oleh kata-kata negatif yang cenderung mendorong tindak kekerasan daripada opsi perdamaian. Bila dibandingkan dengan konten politik kiri, konten pemerintah yang ultra-nasionalis dipenuhi banyak kata yang berkenaan dengan kepentingan nasional dengan mengagung-agungkan kelompok Yahudi yang layak memiliki negara dan pemerintahannya sendiri.
Hal ini berbeda jauh dengan narasi yang ditampilkan oleh media kelompok kiri, di sana lebih mudah ditemukan narasi dukungan untuk perdamaian, solusi dua negara hingga hidup berdampingan. Dari situasi tadi, dapat dibayangkan mengapa masih banyak warga Israel yang mendukung serangan brutal terhadap warga Palestina. Belum lagi, mayoritas media yang saat ini aktif di Israel dikuasai oleh para elit politisi. Bahkan bukan hanya media masa saja, buku bacaan dan materi yang diterima anak sekolah di Israel, sejak SMA sudah dipenuhi oleh propaganda nasionalis sayap kanan.
Tidak hanya itu, pemerintah Israel bahkan sempat melarang buku novel tentang kisah percintaan warga Israel dan Palestina. Mereka berdalih bahwa pelarangan tersebut dilakukan untuk menjaga identitas Yahudi para anak muda Israel. Selain dipengaruhi oleh manipulasi elit, sesaat setelah Intifada Kedua, dengan menguatnya sentimen anti-Palestina.
Penerbit buku Israel melihat ini sebagai peluang bisnis untuk menerbitkan buku yang condong dengan narasi ekstremis sayap kanan. Mereka berbondong-bondong menerbitkan buku dengan narasi yang sejalan dengan pemerintah untuk mendapatkan profit setinggi-tingginya. Faktor terakhir lainnya yang berpengaruh adalah masuknya imigran ke Israel yang juga merupakan suporter esktremis sayap kanan. Hal ini semakin menguatkan narasi nasionalis populis di ranah publik yang digemakan oleh pemerintah Israel untuk terus memborbardir warga Palestina tanpa ampun.