Agaknya terorime sudah menjadi masalah yang bisa dikategorikan sebagai bencana nasional. Mengapa demikian? Karena hal ini membutuhkan penanganan yang cukup serius dari berbagai pihak baik pemerintah sampai lembaga. Seperti halnya korban banjir yang harus diungsikan sampai diberi bekal pendidikan. Sama halnya dengan korban daripada terorisme, mereka harus dikembalikan lagi jiwanya, bagi yang cedera fisik berarti harus dibarengi dengan perawatan biologis yang intensif pula. Yang membedakan dari kedua bencana ini adalah antara permasalahan geografis dan sosiologis. Tetapi semua harus ditangani bersama pula.
Sebelumnya, ada sebuah program dari pemerintah mengeanai deredakisasi sebagai upaya dalam penanggulangan terorisme di Indoensia. Kendati, program ini juga menuai kritik dari berbagai belahan masyarakat. Sidney Jones (2015) menyebutkan bahwa deradikalisasi hanya membatu membuat perubahan pada ideologi tidak sampai pada penanggulangan dari radikalisme dan terorisme. Kemudian, penelitiannya, Al Chaidar, dkk menyebutkan bahwa pendekatan Humanisme bisa mengurangi adanya radikalisme dan terorisme karena pendekatan humanisme bisa membuka semangat baru pada penyintas terorisme untuk menyadari akan kesalahannya.
Berbalik dari sini, maka yang perlu menjadi perhatian (pula dan menjadi yang utama) adalah korban dari sisi seorang yang yang berada pada sasaran kaum-kaum terorisme. Mereka adalah seseorang yang mulanya memiliki kesehatan mental, semangat dan kondisi fisik baik. Namun, setelah mejadi korban, mereka dilingkupi trauma, gangguan sikologis sampai cedera fisik. Tak berhenti di sini, mereka yang kehilangan keluarga harus menanggung beban hidup dan saudara/anaknya yang lain secara sendiri. Bahkan dengan luka traumatis yang dihadapi. Sehingga, perlu adanya rehabilitasi untuk korban bom.
Mengapa rehabilitasi korban bom penting untuk dilakukan?. Ketua LPSK Hasto Atmojoyo Suroyo mengatakan bahwa melalui kegiatan psikososial dapat memberikan dampak positif terutama dalam membantu kondisi dari korban tindak pidana terorisme bom Bali I dan II. Sejak UU nomor 5 tahun tahun 2018 diterbitkan ada mandat yang harus direlaisasikan menanggapi kasus bom Bali I dan II. Salah satunya yakni rehabilitasi medis, psikologis dan psikososial (Antaranews.com,2021).
Hal ini merupakan sebuah aksi nyata yang seharusnya dilakukan bukan sekedar wacana yang menimbilkan efek berkepanjangan. Bahkan korban bom yang berjumlah 37 di Bali mendapatkan kompensasi sebanyak 7.825.000.000 (anataranews.com, 2021) Aksi ini merupakan salah satu yang ditangani di Bali atas peristiwa bom Bali. Hal ini penting dilakukan untuk membangkitkan kembali semangat hidup para korban. Selain memperbaiki psikis juga bisa memperbaiki finansial korban.
Hemat penulis, rehabilitasi bagi korban penting untuk dilakukan, karena bagaimanapun juga mereka adalah bagian dari pada diri kita. Mengaitkan dengan konsep ta’awun sebagai manusia yang sejatinya harus memiliki sikap tolong menolog. Maka, membantu memulihkan korban sudah sejatinya menjadi tugas bersama. Hal ini serupa dengan Firman Allah wata’awanu alal biri wataqwa wala ta’awanu alal itsmi wal udwan dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong menolong dalam permusuhan dan dosa.
Seseorang yang sedang dalam masa trauma harus selalu didukung dengan berbagai hal. Di Bali, masyarakat yang terdampak BOM diberdayakan dengan meningkatkan SDM, sehingga masyarakat memiliki kreativitas kemudian bisa melakukan berbagai macam hal untuk menopang hidupnya. Hal ini terjadi pada masyarakat terdampak yang kehilangan anggota keluarganya. Kemudian, pemulihan secara sikis juga harus dilakukan untuk menjamin kualitas hidup seserang terdampak BOM.
Setidaknya, meminimalisir perasaan atau kondisi psikologis para korban BOM yang ada di daerah setempat. Kerusakan mental akan mempengaruhi berbagai hal, dan memperbaikinya adalah solusi yang bisa membawa dampak jangka panjang sebagaimana yang seharusnya dia dapatkan sebelum menderita trauma. Hal ini tentunya berimbas ke berbagai hal, baik negara, masyarakat dan dirinya sendiri sebagai generasi penerus.
Kemudian, menjadi bagian dari kesadaran akan masalah ini sudah memnjadi tanggungjawab bersama sebagaimana yang sudah disebutkan. Karena tidak hanya berbicara masalah humanisme dalam hukum agama Tuhan sudah memerintahkan di dalam Firmannya. Para ulama juga sudah memberikan formula salah satunya yakni sikap ta’awun. Dengan demikian, akan menjadi angin segar jika masalah bisa terselesaikan dan para penyintas bisa hidup dengan normal. Wallahua’lam bishsawab