Dalam berbagai kasus perang, tak dipungkiri korban terbanyak tidak hanya berasal dari kelompok militer, tetapi juga masyarakat sipil. Sayangnya banyak pengambil keputusan di lingkaran elit kerap meminggirkan fakta ini dan terus menerus memaksakan tindak kejahatan bersenjata untuk mempertahankan maupun merebut kekuasaan. Mitos bahwa perang adalah solusi untuk menyelesaikan masalah masih berpatri kuat, menyebabkan perdamaian global sulit terwujud.
Belum lagi soal lobi para pebisnis industri senjata militer yang menafikan bahwa profit terbesar mereke telah mengorbankan jutaan rakyat jelata. Di tengah perdebatan publik, Amerika Serikat ternyata berpikir bahwa perang adalah salah satu upaya menunjukkan kedigdayaan mereka. Terlebih, mereka memiliki visi besar untuk ‘menyelamatkan dunia’ dari terorisme.
Namun, yang menjadi pertanyaan kemudian apakah tindakan militer Amerika Serikat tersebut betul-betul efektif memerangi terorisme? Merujuk data dari Watson Institute for International and Public Affairs, perang yang digelorakan Amerika pasca kejadian 11 September di berbagai Timur Tengah telah memakan korban lebih dari lima juta orang. Mereka juga melaporkan bahwa 38 juta orang telah mengungsi di dalam negeri mereka sendiri atau terpaksa melarikan diri ke luar negeri.
Sementara itu, dampak materiilnya, banyak kota dari Iraq hingga Afghanistan yang rusak dan hancur. Sarana infrastruktur mayoritas lumpuh. Kerugian tadi diperkirakan mencapai lebih dari $8 triliun. Pembangunan kembali kota-kota di Irak, Suriah, Afghanistan, Libya, dan tempat lain tentu akan memakan waktu bertahun-tahun, dan dampak lain, termasuk terhadap kesehatan mental dan fisik jutaan orang bahkan bisa berlangsung selama beberapa generasi.
Bibit Terorisme dari Trauma Peperangan
Hal lain yang tidak diperkirakan oleh para aktor di balik kebijakan perang adalah efek samping dari tindakan militer yang mereka setujui. Mereka meyakini bahwa perang akan membereskan masalah ‘terorisme’. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya. Peperangan semakin menumbuhsuburkan bibit terorisme. Bagaimana itu bisa terjadi?
Publikasi, NSI, sebuah organisasi advokasi kebijakan publik berbasis di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa perang melawan terorisme yang digencarkan pemerintah Amerika Serikat tidak serta merta membumihanguskan isu kompleks terorisme. Justru, risiko yang muncul adalah masyarakat sipil yang rentan mengalami radikalisasi pasca menjadi korban perang.
Semua anak-anak yang terdampak perang, pengungsi yang tinggal dalam kamp, dan anak-anak yang tumbuh besar di daerah dengan sedikit struktur atau pemerintahan kemungkinan besar mengalami trauma mental, emosional, dan fisik. Banyak dari mereka telah menghabiskan seluruh hidup dengan menghadapi lingkungan yang tidak stabil dan di bawah pengasuhan orang dewasa yang mengalami stres traumatis tersendiri.
Selanjutnya, anak-anak yang terpapar stres berat akibat perang dapat mengalami berbagai masalah kesehatan mental, diantaranya adalah gangguan stres traumatik, depresi berat, kecemasan berlebihan, masalah perilaku, dan memunculkan keinginan bunuh diri. Sayangnya, dengan fasilitas terbatas yang dimiliki berbagai tenda pengungsian yang ada di dunia.
Dampak negatif tadi menjadi sulit untuk ditangani karena keterbatasan sumber daya kesehatan mental yang tersedia di zona perang. Banyak penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak yang terpapar perang kehilangan hak mereka untuk pendidikan dasar dan mendapatkan daya dukung untuk berkembang dengan sehat. Padahal idealnya, pertumbuhan awal anak yang sehat dan pendidikan dasar berkualitas adalah kunci mereka untuk mengakses berbagai keberhasilan di masa depan.
Perang yang berkepanjangan akhirnya berpotensi merusak tatanan ini, sehingga anak-anak tersebut akhirnya terombang-ambil dalam ketidakpastian dan ini dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok radikal, seperti yang terjadi di sejumlah titik di Suriah. Contoh nyata ini tergambar jelas ketika Khaled, seorang teroris asal Australia gerombolan ISIS mengajak foto anaknya dengan penggalan kepala seseorang yang ia bunuh dengan keji.
Sang anak dalam kasus ini tak berdaya akan paparan ekstremisme kekerasan yang diajarkan ayahnya karena ia belum memiliki kesadaran penuh akan kemanusiaan. Celakanya, ia berada di bawah pengasuhan orangtua yang mungkin tiap hari menjejalinya dengan berbagai ujaran kebencian. Anak Khaled bukan satu-satunya korban. Masih ingat Imam Samudra? Pentolan aksi bom Bali tersebut mewariskan gen radikalismenya kepada sang anak, Umar Jundul Haq.
Umar yang melihat bahwa umat Muslim di seluruh dunia adalah korban utama globalisasi, termasuk sang ayah, akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan ISIS. Umar yang telah sekian lama menyerap doktrin ekstremisme dari ayahnya meyakini konsep Islam murni ala ISIS, dan pentingnya berperang melawan musuh-musuh Islam. Usai beranjak dewasa, keyakinan itu kian menguat dan membawa Umar untuk merapat ke Suriah. Setelah beberapa pertempuran, Umar tewas di Suriah pada tahun 2015 lalu.
Melihat bagaimana perang tidak lantas menghentikan aksi teror, seharusnya pemimpin dunia mulai berefleksi dan berpikir panjang bahwa serangan militer bukan menyelesaikan masalah terorisme, justru menambah kompleks persoalan teorisme, termasuk bagaimana mereka menimbulkan korban baru: anak-anak yang tak berdosa yang menjadi korban orang dewasa.