Dalam beberapa minggu terakhir, tindak kekerasan dan kebencian didasari oleh ketidaksukaan atas kebijakan Israel di Palestina terus menyeruak di berbagai negara. Mirisnya, target tindakan ekstremise tersebut adalah warga sipil biasa dan tempat ibadah umat Yahudi. Anti-Semitisme (bentuk prasangka, diskriminasi, atau kebencian terhadap orang-orang Yahudi) bahkan terjadi di sejumlah lokasi.
Di Amerika Serikat, pemimpin sinagog, tempat peribadatan Yahudi ditemukan tewas setelah ditusuk oleh seorang yang hingga kini masih buron Sabtu (21/10/2023) lalu. Di London, Walikota Sadiq Khan melaporkan bahwa tindakan Israel membobardir Gaza menyebabkan tindak rasisme dan kebencian terhadap umat Yahudi terus meningkat pekan ini. Dari berbagai laporan tindak kejahatan dengan sasaran warga sipil Yahudi, dapat disimpulkan bahwa mereka sejatinya adalah korban salah sasaran.
Bagaimana tidak, banyak dari warga Yahudi tadi tidak turut andil dalam penyerangan Palestina, dan bahkan mereka bukan warga negara Israel. Sehingga, ketika melakukan tindak kekerasan hingga pembunuhan ke umat Yahudi. Hal ini justru tidak akan membantu penyelesaian konflik, justru malah memperparah posisi rakyat Palestina.
Bagaimana bisa? Dengan kondisi sekarang saja, media-media besar global banyak yang tidak memberitakan penjajahan Israel secara adil. Jika kita lihat bagaimana pemberitaan tentang Israel dan Palestina di CNN, New York Times, BBC dan sebagainya, mereka kerap memperlihatkan bagaimana Israel hanyalah korban. Sedangkan Palestina dilabeli sebagai kelompok teroris atau pemberontak. Bukan hanya itu, jika ada warga sipil yang tewas. Penggunaan kata yang mereka pilih saja berbeda.
Dalam kasus warga Israel, mereka akan menggunakan kata “killed”. Sedangkan bila yang menjadi korban adalah warga Palestina, mereka memakai kata “dead”. Perbedaan utama antara keduanya adalah bahwa “killed” mencerminkan bahwa warga sipil menjadi korban tindak serangan Hamas. Sementara “dead” mengacu pada deskripsi bahwa warga sipil Palestina telah meninggal, tanpa ada penekanan apa penyebabnya.
Gambaran bias media dalam mewartakan kondisi Palestina lah yang akhirnya menuai protes dari segala penjuru dunia. Bagi yang melihat akar permasalahannya secara jernih, mereka tidak akan dengan mudah mempercayai begitu saja pemberitaan di media. Sebab, mereka tahu bahwa media-media global banyak mendapatkan suntikan dari dana dari gerakan zionis untuk operasionalnya. Sehingga, jangan heran bila para awak media dengan mudahnya memelintir fakta yang terjadi di lapangan agar terus mendapatkan sokongan finansial.
Di sisi lain, bias pemberitaan media ini membuat masyarakat sering salah memahami akar konflik Israel dan Palestina sebenarnya. Akhirnya, yang terjadi adalah menyederhanakan masalah Israel dan Palestina berdasarkan lapisan luar semata: agama, ras, dan sebagainya. Kekeliruan memahami akar masalah ini yang kemudian menimbulkan efek samping: melakukan generalisasi bahwa pemerintah Israel sama dengan umat Yahudi. Dan Palestina diwakili oleh umat Islam.
Penyederhanaan masalah yang justru berbahaya dan berdampak negatif terhadap masyarakat sipil. Bagaimana tidak, ketika hanya melihat pemerintah Israel mewakili seluruh umat Yahudi, yang kemungkinan bisa terjadi adalah penudingan salah sasaran kepada pemeluk Yahudi bahwa mereka seluruhnya setuju pada kebijakan pemerintah Israel menjajah Palestina.
Padahal, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua pemeluk Yahudi menyetujui tindakan keji pemerintah Israel terhadap warga Palestina. Sama halnya, ketika ISIS disamaratakan dengan seluruh Muslim. Nyatanya, tidak semua pemeluk Islam menyetujui dan mendukung apa yang dilakukan oleh ISIS. Dalam kedua kasus tadi, baik pemerintah Israel maupun ISIS sama-sama menggunakan tameng agama untuk melegalkan tindakan keji mereka pada warga Palestina.
Naasnya, kegagalan memahami masalah ini membuat beberapa orang melakukan tindak kekerasan terhadap kaum Yahudi dengan dalih membela warga Palestina. Alih-alih mengurangi penderitaan rakyat Palestina, justru dampak yang paling nyata dari kekeliruan ini adalah peningkatan skala konflik. Ketidakpahaman tentang masalah tersebut bisa memicu ketegangan antar kelompok masyarakat atau etnis, yang pada akhirnya dapat berujung pada tindakan kekerasan. Dan, ketika kejahatan dilakukan terhadap umat Yahudi, yang bisa saja tidak mendukung Israel sekali pun.
Negara yang terkena getahnya lagi-lagi adalah bangsa Palestina. Sebab, media besar yang sudah bias tadi akan dengan mudahnya ‘menggoreng’ kejadian ini dan menuding bahwa pendukung Palestina adalah anggota gerakan radikal/teroris. Bila, itu terjadi kekerasan terhadap umat Yahudi tentu semakin tidak membantu terwujudnya perdamaian di tanah Palestina.
Selain itu, tindakan kekerasan juga membawa potensi kehilangan nyawa. Baik pelaku kekerasan maupun korban yang menjadi sasaran bisa mengalami cedera serius atau bahkan kematian, yang merupakan konsekuensi yang sangat serius. Selain itu, tindakan kekerasan seringkali mencemari citra kelompok atau pendapat yang mereka klaim bela, yang dapat merusak dukungan publik untuk tujuan mereka. Dalam hal ini, posisi Palestina mungkin kian terpojok dan justru pembelaan Palestina dengan jalur kekerasan malah akan memperburuk image dari Palestina itu sendiri.
Dalam konteks ini, penting untuk mendorong pendekatan yang lebih konstruktif dalam memahami dan membantu terciptanya perdamaian di bumi Palestina. Pendekatan seperti dialog, pendidikan, advokasi, dan partisipasi dalam proses demokratis dapat lebih efektif dalam mencapai perubahan positif dan menghindari dampak negatif yang disebabkan oleh tindakan kekerasan. Bila kita tidak mampu membela langsung rakyat Palestina, mendukung mereka lewat donasi dana, doa, dan dukungan jauh lebih baik dibandingkan dengan tindak kekerasan salah sasaran terhadap umat Yahudi.