Menurut data dari Violent Conflict in Indonesian Studies (ViCIS), sejak tahun 1998 hingga 2012, tercatat telah terjadi 135.000 konflik komunal di 16 provinsi di Indonesia. Konflik-konflik tersebut meliputi konflik agama, baik konflik intra-agama (antar aliran di dalam sebuah agama) seperti konflik komunitas Syi’ah dan Sunni di Sampang, maupun konflik antar agama seperti konflik antara umat Muslim dan umat Kristen di Maluku, Maluku Utara, dan Poso. Keberagaman ini juga memicu masalah sosial lainnya, termasuk ekstremisme kekerasan dan terorisme.
Diperkirakan lebih dari 2.000 warga Indonesia pergi ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan ISIS. Selama setahun terakhir, setidaknya 250 orang Indonesia ditahan dan dideportasi dari negara-negara transit karena mencoba bergabung dengan ISIS. Sebanyak 75% dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Para wanita ini pergi ke Suriah dengan motivasi yang beragam, seperti untuk menyusul suami mereka, melakukan Jihad, atau menjadi pengantin para Jihadis.
Menurut definisi PBB, ekstremisme kekerasan merujuk pada kepercayaan dan aksi mereka yang mendukung atau menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan ideologi, keagamaan, dan politik mereka. Ini mencakup terorisme dan bentuk lain dari motivasi politik dan kekerasan komunal. Perkembangan gerakan ekstremisme kekerasan di Indonesia dan di seluruh dunia telah meningkat pesat, terutama dalam satu dekade terakhir.
Salah satu penyebabnya adalah kurangnya sistem pencegahan ekstremisme kekerasan yang kuat dan berakar di masyarakat. Pertanyaannya, perlukah penanganan ekstremisme hingga tingga desa? Sistem respons dini terhadap ekstremisme kekerasan di tingkat desa adalah sistem yang dirancang untuk memungkinkan penduduk desa mendeteksi tanda-tanda awal dan gejala ekstremisme kekerasan, serta memberikan respons dini melalui sistem rujukan di tingkat kecamatan dan kabupaten
Sistem deteksi dini dan pemberantasan ekstremisme kekerasan bermanfaat dalam meningkatkan pencegahan penyebaran gagasan ekstremisme kekerasan di masyarakat. Melalui sistem ini, masyarakat dapat memilah-milah kasus yang dapat diatasi oleh masyarakat sendiri dan kasus yang merupakan dugaan tindak pidana yang memerlukan penanganan oleh aparat penegak hukum. Penting untuk dicatat bahwa terdeteksi adanya perubahan perilaku ekstrim dalam masyarakat tidak selalu berarti pelanggaran terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme.
Dengan memberikan respons cepat, diharapkan sistem Deteksi dan Penanganan Dini dapat melakukan tindakan pencegahan dan mengurangi risiko bagi masyarakat, terutama kelompok rentan seperti perempuan, kaum muda, dan anak-anak. Faktor yang mempengaruhi seseorang untuk bergabung dalam gerakan ekstremisme kekerasan dipengaruhi oleh faktor-faktor dorongan (push factor) dan faktor-faktor penarik (pull factor). Berikut beberapa contoh faktor-faktor yang dimaksud.
Faktor Dorongan (Push Factor): Faktor dorongan dapat berasal dari luar individu atau kelompok dan dapat mendorong seseorang untuk menganut paham ekstremisme kekerasan hingga terlibat dalam tindakan terorisme. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, ada sejumlah kondisi atau keadaan yang dapat mendukung perkembangan paham dan tindakan terorisme.
Faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik yang menyebabkan seseorang terpinggirkan secara sosio-ekonomi dapat berkontribusi sebagai kondisi yang memungkinkan seseorang untuk melakukan aksi terorisme. Penyebaran ekstremisme dapat dilakukan melalui media online atau penyebaran secara langsung. Penyebaran secara langsung kepada individu adalah metode yang telah digunakan sejak dulu.
Tempat-tempat yang sering dimanfaatkan untuk menyebarkan paham radikal termasuk masjid atau mushola, kantin sekolah, dan universitas. Salah satu cara yang umum adalah mengundang sebanyak mungkin orang untuk menghadiri acara yang mereka selenggarakan. Selebaran dan undangan sering digunakan untuk menarik perhatian massa. Di lingkungan sekolah dan universitas, anggota kelompok radikal sering mendekati siswa/mahasiswa baru.
Di antara ibu-ibu yang berkumpul untuk pengajian, mereka biasanya mendekati nyai-nyai atau ulama perempuan, mengajak berbincang, dan kemudian mengajak untuk ikut pengajian. Dengan berkembangnya media dan sarana komunikasi, kelompok radikal kekerasan telah memanfaatkannya untuk mencapai tujuan mereka. Media komunikasi yang sering digunakan termasuk Facebook, Instagram, Twitter, Telegram, WhatsApp, dan Pinterest.
Semua media ini digunakan untuk menyebarkan ideologi, propaganda, merekrut anggota, dan menggalang dana. Pesan yang disebarkan seringkali berisi ajakan untuk berjihad, dengan jenis jihad yang beragam, seperti melakukan amaliyah (penyerangan) terhadap kelompok target tertentu seperti polisi, berhijrah ke Suriah, atau berjihad secara online.