Serangan membabibuta Israel terhadap Gaza dalam beberapa hari terakhir terus menelan banyak korban jiwa. Meski telah diprotes jutaan orang di dunia, nyatanya pemerintah Israel bersikukuh untuk terus menggempur Gaza yang sebagian besar populasinya di bawah 20 tahun. Tak pelak, apa yang dilakukan Israel selama hampir lebih dari 70 tahun memenjarakan Palestina kemudian menyeruakkan tanda tanya? Apa motivasi mereka? Mengapa mereka bersikukuh menjajah Palestina?
Akar dasar penjajahan Israel terhadap Palestina adalah marjinalisasi Kaum Yahudi di berbagai belahan dunia. Sebagai kaum minoritas yang tak kunjung mendapatkan proteksi, sejumlah tokoh kemudian menginisiasi gerakan Zionisme atau sederhananya, gerakan nasionalisme kaum Yahudi. Gerakan ini bermula pada akhir abad ke-19 sebagai tanggapan terhadap anti-Semitisme dan perasaan ketidakamanan Yahudi, baik di Eropa maupun Amerika.
Secara umum, gerakan ini memiliki tujuan utama untuk mempromosikan gagasan bahwa bangsa Yahudi memiliki hak untuk kembali ke tanah leluhur mereka di Israel, yang sering disebut sebagai “Zion” dalam literatur agama Yahudi.
Relijius Ekstremisme dibalik Gerakan Zionisme
Merujuk pernyataan dari Noam Choamsky, seorang intelektual Amerika Serikat yang dikenal sebagai seorang ahli bahasa, filsuf, aktivis politik, dan penulis, gerakan zionisme sendiri tidak terbatas pada kaum Yahudi. Sejumlah kelompok Kristen justru mengamini ideologi Zionisme terlebih dulu dibandingkan kelompok Yahudi. Mereka meyakini bahwa kaum Yahudi harus dikembalikan ke asal mereka, yakni ke daerah Timur Tengah.
Kepercayaan yang mereka yakini sebagai hasil interpretasi tekstual dari Injil tersebut lah yang selanjutnya mendorong terbentuknya deklarasi Balfour. Deklarasi Balfour yang dicanangkan elit Inggris pada waktu itu membuat keputusan bahwa Pemerintah Inggris harus membantu kaum Yahudi untuk bermigrasi ke Palestina. Meski mengusung topeng agama dalam gerakan politik mereka, sesungguhnya gerakan ini berfondasikan pada spirit penjajahan dan superioritas kelompok sayap kanan politisi Eropa dan Amerika yang membenci Umat Yahudi.
Pada masa itu, kaum Yahudi dianggap terlalu berbeda dengan umat Kristen kebanyakan. Selama abad pertengahan, banyak Yahudi di Eropa terlibat dalam usaha perbankan dan keuangan, karena mereka diizinkan untuk mempraktikkan kegiatan keuangan yang dianggap dosa oleh agama Kristen pada saat itu (pemberian pinjaman dengan bunga). Karena peran ekonomi ini, mereka sering menjadi sasaran kebencian dan inisiatif penindasan.
Terlebih, banyak dari kaum Yahudi memperoleh banyak keuntungan dari usaha tersebut. Sehingga, hal ini menyebabkan kecemburuan sosial dari warga Eropa yang mengamini ajaran Kristiani. Efek domino dari kebencian ekstrem yang berbalut pada topeng agama pada Kaum Yahudi ini berujung pada terimplementasikannya mandat Inggris yang berlangsung dari tahun 1923 hingga tahun 1948.
Selama periode tersebut, Inggris memfasilitasi imigrasi Yahudi massal, terutama bagi penduduk yang melarikan diri dari Nazisme di Eropa. Inisiatif Inggris tersebut sendiri dilakukan secara sepihak, tanpa meminta izin terlebih dahulu dari penduduk lokal Palestina yang pada waktu itu amat terkejut oleh perubahan demografi negara mereka. Yang lebih parah, dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah Israel yang dibantu oleh negara-negara barat seperti Inggris dan Amerika Serikat. Kedua negara tersebut, mengusir keluar dan bahkan menyerang warga lokal dengan semena-mena agar dapat membangun pemukiman baru bagi warga Yahudi.
Dan, perlu diketahui sebelum inisiatif dari elit Inggris dan Amerika Serikat, Palestina dihuni oleh warga dari beragam latar belakang. Ada yang dari kelompok Muslim, Yahudi, hingga Kristiani. Mereka hidup damai saling berdampingan dan membantu satu sama lain. Tak heran, sejumlah tokoh agama Yahudi dan Kristiani di Palestina menyerukan agar warga dunia tak terkecoh dengan propaganda bahwa apa yang terjadi di Palestina adalah konflik agama. Hal itu justru salah kaprah!
Dampak Propaganda Zionisme
Ketika salah memahami konflik Israel-Palestina sebagai konflik agama, kita justru dapat memperdalam polarisasi dan konflik antaragama itu sendiri. Bahkan ke depannya, riak-riak kecil yang terjadi dapat menimbulkan ketegangan antara kelompok agama yang berbeda yang akhirnya memicu kebencian dan meningkatkan risiko konflik fisik. Kesalahpahaman sejenis juga dapat digunakan sebagai dasar untuk membenarkan diskriminasi atau penganiayaan terhadap kelompok agama tertentu.
Dalam konteks di Indonesia yang mayoritas populasinya adalah Muslim, kekeliruan ini dapat mengarah pada perlakuan yang tidak adil terhadap minoritas agama atau kelompok agama tertentu. Terakhir, kesalahpahaman ini dapat menghambat upaya penyelesaian konflik yang efektif karena fokusnya yang salah pada dimensi agama daripada akar-akar sebenarnya dari konflik. Akhirnya, dorongan penyelesaian konflik terkesan eksklusif pada kelompok Muslim semata, padahal sejatinya problem yang dialami oleh warga Palestina sejatinya adalah isu kemanusiaan lintas agama.