Pada tahun 2021, terdapat beberapa kasus bom bunuh diri yang mencuat dalam berita internasional. Salah satu kasus terkemuka adalah serangan bom bunuh diri yang terjadi di Kabul, Afghanistan, pada 26 Agustus 2021. Serangan ini terjadi di dekat Bandara Internasional Hamid Karzai di tengah upaya evakuasi warga negara asing dan warga Afghanistan yang ingin meninggalkan negara tersebut setelah pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban. Angka Kematian dalam aksi tersebut pun cukup banyak.
Dalam serangan tersebut, teroris yang diyakini terkait dengan kelompok ISIS-K (Islamic State Khorasan) melakukan serangan bom bunuh diri, menewaskan sejumlah besar warga sipil, termasuk personel militer AS dan personel keamanan. Serangan ini menambah ketegangan yang sudah ada di Afghanistan dan menyebabkan banyak korban jiwa. Serangan bom bunuh diri seringkali merupakan tindakan terorisme yang sangat merusak dan mematikan. Mereka seringkali digunakan oleh kelompok teroris untuk mencapai tujuan mereka dan menyebabkan kerusakan besar serta ketakutan di kalangan masyarakat. Serangan bom bunuh diri adalah salah satu contoh kekerasan ekstrem yang mengancam perdamaian dan keamanan di berbagai negara di seluruh dunia.
Dari kasus tersebut, kita perlu merenung, terutama jika kita sering mendengar bahwa mereka yang melakukan tindakan terorisme dan tewas dalam prosesnya dianggap mati di jalan Allah (fisabilillah). Orang yang mati di jalan Allah ini juga dikenal sebagai “syahid.” Pada pandangan awal, doktrin-doktrin semacam ini mungkin tampak benar. Pasalnya, mati di jalan Allah dianggap sebagai tindakan mulia, dan syahid diyakini akan mendapatkan balasan surgawi.
Namun, apa sebenarnya konsep mati di jalan Allah atau syahid? Apakah melakukan pembunuhan dan terorisme terhadap warga sipil dan individu yang tidak bersalah bisa disebut sebagai “mati di jalan Allah” atau “syahid”? Jawabannya, Tidak. Mati di jalan Allah bukanlah konsep yang muncul secara sembrono, apalagi jika ditempuh dengan cara biadab dan terkutuk. Mati di jalan Allah hanya dapat terwujud ketika seluruh hidup seseorang diabdikan untuk jalan-Nya. Syahid hanya akan diperoleh setelah seseorang berupaya menegakkan kebenaran dalam hidupnya.
Mempersaksikan kebenaran melibatkan tindakan yang konsisten. Ini mencakup keyakinan yang teguh pada tauhid dan ubudiyah yang benar, yang diikuti oleh perilaku sosial yang baik. Ini adalah sebuah kehidupan yang menerapkan prinsip-prinsip kebenaran (syahadah) dalam tindakan sehari-hari. Dan ketika akhirnya hidup ini berakhir, itulah saat seseorang “mati di jalan Allah” dan menemukan “syahadah”(kematian syahid).
Sebagai akibatnya, tindakan terorisme sebenarnya adalah tindakan setan, dan mati dalam prosesnya akan membawa seseorang menuju jalan setan. Bahkan dalam situasi perang, membunuh warga sipil (non-kombatan) dilarang, dan melakukan hal tersebut dalam keadaan damai, terlebih lagi di tempat-tempat ibadah, jelas merupakan pelanggaran hukum dalam Islam. Oleh karena itu, konsep mati di jalan Allah yang menjanjikan surga harus dilihat dalam konteks sebuah perjalanan hidup yang penuh dedikasi. Mati di jalan Allah hanya dapat dicapai setelah seseorang benar-benar ”hidup di jalan-Nya”.
Merespons Teror
Saat ini, teror menjadi sebuah kejahatan yang harus kita perangi bersama. Teror harus dijadikan musuh bersama (common enemy) dan musuh peradaban manusia. Bahkan musuh agama dan semua nilai-nilai kebaikan yang ada. Sejak terjadinya serangan teror di Amerika yang dikenal dengan 9/1 di tahun 2001 lalu, gendang peperangan kepada teror (war on terror) telah ditabuh. Dimulai dengan serangan ke Afghanistan oleh Amerika dan sekutunya, yang diikuti oleh berbagai peperangan baik secara internasional, nasional maupun lokal.
Permasalahannya adalah bahwa perang melawan terorisme seringkali melibatkan kepentingan dan motif yang sama jahatnya, bahkan lebih jahat dari terorisme itu sendiri, dengan kepentingan kapitalis yang cenderung menggunakan segala cara untuk membenarkan tindakan tersebut. Akibatnya, ribuan orang tak berdosa, terutama anak-anak dan perempuan, dibunuh demi tujuan ini. Semua atas nama pemberantasan terorisme internasional. Mari kita kembali ke kejadian terkini di Indonesia.
Atas nama pemberantasan terorisme, partai politik tertentu menjadi sasaran kepentingan khusus. Termasuk juga kepentingan politik, apalagi di musim politik seperti ini. Tentu kita juga harus ingat bahwa peristiwa teroris ini tidak boleh dijadikan alat untuk menyalahkan pihak tertentu. Pengalaman menunjukkan bahwa umat Islamlah yang paling sering dituduh saat ini. Sekalipun yang melakukan kejahatan itu adalah seorang Muslim, haruskah dia secara otomatis dicurigai dan dimintai pertanggung jawaban?
Fenomena ini (teror) sekali adalah musuh bersama (common enemy). Karenanya, cara terbaik untuk merespons adalah dengan melibatkan semua unsur masyarakat. Pemerintah, tokoh agama, pendidik, seniman, bahkan orang tua, semuanya memiliki tanggung jawab untuk melakukan apa saja agar kejahatan ini tidak membesar dan melebar. Jangan sampai peristiwa ini dipakai oleh pihak tertentu untuk semakin memperlebar saling mencurigai, permusuhan, dan perpecahan; baik antara masyarakat dan pemerintah maupun antarmasyarakat sendiri.
Dalam upaya menyelesaikan permasalahan ini, jangan sampai ada yang dirangkul, seolah pahlawan, tapi sebagian yang lain dicurigai bahkan dipandang musuh. Ini sangat berbahaya karena bisa menjadi pemicu penyebab teror seperti yang disebutkan tadi. Semua pihak harusnya menjadikan semua ini sebagai peringatan. Untuk pemerintah boleh jadi kejahatan ini karena adanya sesuatu yang tidak beres dengan “sense of justice” di masyarakat. Keamanan dan Keadilan sosial erat kaitannya. Dalam bahasa Al-Quran “Al-Khauf” (ketidakamanan) dan “al-Juu” (kelaparan/kemiskinan) sangat erat kaitannya. Untuk ulama dan tokoh agama peristiwa ini harus dijadikan peringatan bahwa ternyata masih ada paham-paham agama yang salah, dan menjadi kewajiban para ulama untuk meluruskannya.
Demikian seterusnya, untuk pendidik, pebisnis semuanya harus menjadikannya sebagai peringatan keras untuk mengambil bagian dalam usaha menangkal kecenderungan ini. Khusus kepada orang tua, adalah tanggung jawab besar di atas pundak mereka untuk menanamkan nilai-nilai “kasih sayang” sedini mungkin dalam diri generasi. Banyak anak-anak yang tumbuh besar dalam kemarahan karena kesalahan orang tua.
Akhirnya, demikian pula kepada masing-masing golongan dalam masyarakat. Keragaman itu adalah berkah, tapi gagal mengelola keragaman boleh jadi membawa musibah.
Satu hal yang krusial dalam mengelolah keragaman ini adalah dengan menumbuhsuburkan “saling memahami” dan “saling menghormati”. Bahkan membangun kerja sama di tengah keragaman itu demi terwujudnya common interest (kepentingan bersama) yang lebih besar. Dan adakah lagi kepentingan yang lebih besar dalam konteks keindonesiaan dari pada terwujudnya kesatuan, keadilan, keamanan, dan kesejahteraan nasional kita? Dengan bersama-sama menjaga keamanan akan terwujud negara yang baldatun thoyyibatun wa Rabbib Ghafuur. Insyaallah!