32.4 C
Jakarta
Jumat, 13 Desember 2024

Ekstremisme dan Pendidikan, Bagaimana Penyebarannya?

Jika Ada yang bertanya apakah ekstremisme juga bisa menyebar di dunia pendidikan? Jawabannya tentu saja ya, ekstremisme sangat mungkin dan mudah menyebar di dunia pendidikan. Misalnya kegiatan pembelajaran di kelas atau buku yang diduga mengandung konten intoleran. Mereka juga dapat terkena dampak intervensi alumni dan lemahnya kebijakan sekolah dan kampus yang dirancang untuk melindungi dari pengaruh radikalisme.

Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa ekstremisme bahkan sudah mengarah pada dunia pendidikan; mulai dari bahan ajar sampai bahan ujian sampai pada bentuk karnaval yang melihatkan PAUD. Jika bisa kita sampaikan di sini intoleransi agama dan keyakinan yang ditanamkan oleh dunia pendidikan semakin memperlihatkan bahwa banyak orang yang tidak bisa menerima an menghargai perbedaan.

Penelitian lainnya juga yang di jelaskan fajar Riza ul haq salah satu temuan penelitian MAARIF Institute pada 2011 mengenai pemetaan gejala radikalisme di 50 SMAN di beberapa kota. Penelitian itu memperlihatkan guru pengampu Pendidikan Agama Islam berkontribusi terhadap tumbuhnya eksklusivime orientasi keberagaman para siswa. Penelitian Balitkom PGI di lingkungan sekolah-sekolah Kristen mengungkap bahwa peran keluarga sebagai faktor utama yang memengaruhi pola pikir anak.

Sebab lain, bahwa kaum milenial yang akhirnya bergabung dengan kelompok kekerasan bisa disebabkan karena adanya personal faktor. Misalnya trauma, kesepian, galau, hingga pada keadaan frustasi.
Lalu pemicunya, lahirnya masalah lingkungan maupun keluarga, serta tergiurnya dengan bujuk rayu. Seperti akan diberi imbalan, prestise dan yang lebih konyol adalah diberi janji surga. Hal ini biasanya menyasar pada kaum milenial yang kaku sekaligus dangkal dalam pemikiran.

Menerima dan menghargai perbedaan ini sangat penting bagi kita semua sebagai warganegara karena pada hakekatnya negara tidak mengistimewakan satu kelompok mayoritas atau kelompok tertentu . Artinya semua warna dan perbedaan yang ada pada warga adalah sama di mata negara. Semuanya dilindungi dan negara dituntut dengan keras untuk mengupayakan ini.

Ekstremisme di dunia pendidikan mau tidak mau harus diakui bahwa ini sangat berbahaya bahkan akan mengancam kita 10-20 tahun yang akan datang, karena intoleransi ditanamkan di benak anak-anak yang akan memimpin bangsa ini 20 -30 yang akan datang. Intoleransi memperlihatkan bahwa pihak tertentu punya kecenrungan untuk merasa lebih tinggi dan berbeda dengan yang lain.

Karena itu, keputusan pemerintah untuk mengeluarkan pepres soal terorisme yang dilakukan Januari lalu merupakan langkah yang tepat. Perpres soal ektremisme yang mengarah pada terorisme didasarkan akan keinginan demia kebahagiaan dan rasa aman untuk semua warga negara Indonesia. Jika di tanya adakah cara menangkal ekstremisme dalam dunia Pendidikan?

Jawaban nya pasti ada, yang utama ada dalam pada guru yang mengajar di sekolah yang menjadi ujung tombak pada Pendidikan nasional, Ia memiliki peran strategis dalam rangka “mencerdaskan kehidupan bangsa” sekaligus menangkal ekstremisme. Sebagaimana terkandung dalam UUD 45. Artinya siapa pun gurunya, apa pun mata pelajaranya dan jenjang sekolah tempat mengajar, semestinya paham.

Mereka adalah insan pedagogis yang sedang melakukan aktivitas kebangsaan, berlomba-lomba mencapai tujuan bernegara. Tetapi faktanya terbalik. Ada oknum guru yang justru terang-terangan mengajarkan kepada siswa untuk bersikap ekstremisme dengan memusuhi negara ini dengan segala konsensus dan simbol-simbol kebangsaanya. Seperti misalnya, mengatakan pancasila adalah thogut, UUD 1945 adalah buatan manusia sehingga tak wajib dipatuhi.

Hormat bendera merah putih adalah haram atau bid’ah. Bahkan ada oknum guru yang terlibat aktif menjadi anggota kelompok yang lantang menyuarakan ekstremisme. Oleh sebab itu, minimal ada dua cara untuk menangkal paham ekstremisme ini. Pertama, dengan konteks dakwah pendidikan wasathiyah. Di antaranya seperti cara berfikir, bersikap, bertindak yang mengupayakan keseimbang. Dilengkapi dengan sikap toleransi, mengambil jalan tengah, tidak egaliter, tidak membeda-bedakan, diskriminatif dinamis dan pendidikan perdamaian.

Kedua, seorang pengajar harus menginternalisasikan perspektif kewarganegaraan dalam proses penyususan instrumen pembelajarannya. Pendekatan kritik sejarah di sini memiliki peran penting untuk menangkan ekstremisme di dunia pendidikan. Kiranya perlu pula dilakukan pengawasan kepada kegiatan ekstra atau kegiatan yang berorientasi pada keagamaan. Misalnya rohis atau sejenisnya yang sekaligus menjadi infiltrasi ideologi yang nantinya tidak sejalan dengan Pancasila. Tentu tidak salah mencegah penyebaran paham ekstremisme sejak dini.

Terakhir, seorang pengajar harus meningkatkan pemahaman dan pembinaan yang bersifat lintas kelompok maupun golongan. Hal ini bisa dilakukan dengan menggandeng pelbagai komunitas masyarakat berpaham kebangsaan. Ini semua demi habitus pencerahan generasi muda agar berwatak welas asih untuk menjaga kondusifitas lingkungan Pendidikan Indonesia. Sehingga terhindar dari paham ekstremisme.

TERBARU

Konten Terkait