Penting untuk membedakan antara ekstremis dalam kelompok agama dan penganut arus utama atau komunitas umum dari kelompok tersebut. Para ateis baru seringkali mengabaikan perbedaan ini. Memang, terdapat orang-orang dan kelompok agama yang berupaya memaksakan keyakinan dan praktik mereka kepada orang lain. Namun, masalah ini tidak hanya terbatas pada umat beragama, dan sikap ekstrim mereka tidak selalu mencerminkan pandangan mayoritas.
Hampir setiap kelompok, seperti Kristen, Muslim, Darwinis, politisi, ateis, feminis, Marxis, penggemar olahraga, aktivis lingkungan, aktivis hak-hak binatang, dan lainnya, memiliki ekstremis. Karena para ekstremis ini berada di luar aliran utama, ketika mengevaluasi tindakan dan sikap ekstremis, kita perlu berhati-hati agar tidak menggeneralisasi dan menilai seluruh kelompok berdasarkan tindakan sejumlah kecil orang yang lebih vokal dan agresif.
Ateis Baru sering menggambarkan gambaran agama yang sangat terdistorsi berdasarkan tindakan para ekstrimis agama, dan sebagian besar pendukung aliran utama tidak mengenali diri mereka sendiri dalam gambaran tersebut. Ketika kita mengkritik agama, kita harus waspada terhadap stereotip komunal. Ketika seorang anggota kelompok melakukan kesalahan, seringkali masyarakat akan menggeneralisasi dan menghakimi seluruh anggota kelompok tersebut.
Tindakan sejumlah orang radikal dapat menyebabkan stigma bagi mayoritas yang tidak radikal dan tidak agresif. Terkadang agama secara keseluruhan dianggap menindas karena tindakan ekstrim dan kekerasan yang dilakukan oleh sekte, kelompok, atau individu tertentu. Misalnya, ketika seorang umat Kristen terlibat dalam korupsi politik, seluruh umat Kristen secara kolektif dapat dikutuk. Akibatnya, masyarakat sering memberikan perlakuan yang keras kepada kelompok umat Kristen tertentu berdasarkan kesalahan sejarah. Ini adalah penyelewengan dari identitas sebenarnya dari semua kelompok agama tersebut.
Penting untuk diingat bahwa asosiasi sejarah semacam ini tidak selalu mencerminkan keyakinan agama itu sendiri. Apakah agama menyebabkan kekerasan, atau apakah agama disalahgunakan untuk menyebabkan kekerasan? Adakah kekerasan akan berakhir jika agama dihilangkan? Sejarah manusia menunjukkan bahwa harapan ini tidak selalu benar. Kekerasan tidak hanya disebabkan oleh agama atau kekurangan agama. Sejarah mencatat bahwa faktor ekonomi, bukan agama, seringkali menjadi penyebab perang dan pertumpahan darah di dunia.
Tinjauan singkat sejarah menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi, seperti sumber daya alam, tanah, dan keuntungan wilayah, seringkali menjadi pemicu perang. Bacaan Kitab Hakim-hakim dalam Alkitab yang penuh dengan peperangan, pertumpahan darah, dan kekerasan, menunjukkan bahwa perang yang dilakukan oleh berbagai kelompok seperti Filistin, Moab, Amori, dan bangsa lainnya di sekitar Israel, tidak selalu berkaitan dengan perbedaan agama. Alasan utama perang tersebut seringkali adalah persaingan untuk sumber daya alam, tanah, dan wilayah.
Ini menunjukkan bahwa penyebab perang kedua yang signifikan adalah perluasan wilayah, yang seringkali memiliki dampak ekonomi positif. Ketidaksetujuan dalam masyarakat mengenai tata cara pemerintahan, hak-hak, atau distribusi sumber daya juga dapat menjadi pemicu konflik, yang berujung pada perang saudara dan revolusi. Dalam sejarah, agama hanya memainkan peran kecil dalam pemicu perang; sebagian besar perang disebabkan oleh konflik sipil, revolusi, ekonomi, dan teritorial.
Dalam bukunya ‘Death by Government’, ilmu politik Rudolph J. Rummel memberikan analisis yang menarik mengenai penyebab kematian akibat perang, dengan statistik yang menunjukkan bahwa sebagian besar orang yang tewas dalam perang atau konflik sebenarnya adalah korban pemerintah dan negara, bukan agama. Untuk pembunuhan massal semacam ini, Rummel menciptakan istilah “democide”.
Pada awalnya, 170 juta pria, wanita, dan anak-anak telah tewas akibat berbagai tindakan kekerasan, seperti penembakan, pemukulan, penyiksaan, penusukan, pembakaran, kelaparan, pembekuan, pemusnahan, atau kerja paksa hingga kematian; mereka juga dikubur hidup-hidup, ditenggelamkan, digantung, dibom, atau dibunuh dengan cara lain oleh pemerintah, yang menyebabkan kematian warga negara dan orang asing yang tak bersenjata serta tak berdaya.
Jumlah korban tewas bisa mencapai hampir 360 juta orang, seakan-akan spesies manusia telah dihancurkan oleh ”Black Death” modern. Dan memang benar demikian, namun itu adalah wabah Kekuasaan, bukan kuman. Faktanya, ateisme telah menyebabkan lebih banyak kematian daripada ideologi lain atau bahkan bencana alam. Yang paling penting adalah, tidak ada alasan untuk percaya bahwa kekerasan akan berhenti jika agama dihilangkan. Sebagaimana kami tunjukkan sebelumnya, sejarah membuktikan sebaliknya.
Kenyataannya jauh lebih kompleks, dan terlepas dari statistik, tampaknya agama atau kurangnya agama bukanlah penyebab langsung masalah kekerasan di dunia. Kekerasan dengan konsekuensi brutal telah dilakukan sepanjang sejarah oleh banyak orang, terlepas dari pandangan agama atau non-agama mereka. Penyebab sebenarnya dari kekerasan lebih dalam. Kekuatan pendorong utama di balik tindakan kekerasan adalah unsur-unsur politik, ekonomi, dan budaya. Ini menjelaskan mengapa kekerasan muncul baik dari pihak yang beragama maupun tidak beragama. Hal ini juga menjelaskan fakta bahwa sebagian besar umat beragama mengecam tindakan kekerasan, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bukan.
Agama bukanlah penyebab utama dari kekerasan. Harapan untuk mengakhiri kekerasan dengan menghilangkan agama adalah harapan yang salah. Sejarah manusia tidak mendukung gagasan bahwa tidak adanya agama di dunia akan mendorong perdamaian, mengurangi kekerasan, dan meningkatkan saling pengertian antar kelompok manusia. Baik orang yang beragama maupun yang tidak beragama melakukan tindakan kekerasan, sering kali dimotivasi oleh faktor politik dan budaya yang lebih dalam.
Salah satu contoh terbaiknya adalah Revolusi Perancis (1789-1815). Gerakan sosial ini mencoba untuk meninggalkan negara yang didasarkan pada agama, memproklamirkan ”kematian Tuhan” dan mengadopsi dua prinsip sekuler yaitu kebebasan dan kesetaraan. Cita-cita ini digunakan untuk memotivasi 2,4 juta tentara untuk berperang di seluruh Eropa, dengan tujuan memaksakan dominasi Perancis di seluruh benua. Tidak ada motif keagamaan dalam nasionalisme baru ini, kecuali, dengan cara paradoks, untuk mengakhiri agama di Perancis dan di seluruh Eropa. Agama dianggap mati.
Akibat dari seruan revolusi ini sangat mengerikan, seluruh penduduk dimobilisasi untuk berperang. Pertempuran tersebut menjadi lebih sengit, lebih luas, lebih banyak, dan lebih merusak daripada yang pernah terjadi di dunia hingga saat itu. Para prajurit bertempur selama mereka mampu berjalan secara fisik. Ketika Revolusi Perancis dan perang Napoleon berakhir dengan Pertempuran Waterloo, setidaknya 4 juta orang telah tewas. Semuanya terjadi tanpa motivasi agama dan, secara paradoks, perang-perang ini dimulai atas nama kesetaraan dan kebebasan.
Tidaklah realistis untuk berpikir bahwa menghilangkan agama akan menghilangkan atau bahkan secara signifikan mengurangi kekerasan dan mempromosikan perdamaian di masyarakat. Jika agama dihilangkan, akan muncul kelompok identitas lain yang akan menciptakan perbedaan dan konflik antar manusia. Ketegangan dan permusuhan antar kelompok akan muncul karena perbedaan etnis, warna kulit, budaya, dan suku bangsa.
Contoh-contoh seperti genosida di Rwanda dan Perang Saudara Amerika Serikat menunjukkan bahwa perbedaan etnis, warna kulit, budaya, dan suku bangsa telah menjadi pemicu konflik mematikan. Agama tidak selalu menjadi penyebab. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menerapkan prinsip dasar kasih Tuhan, yang mendorong kita untuk mencintai Tuhan dan sesama, bahkan musuh kita.