29.5 C
Jakarta
Minggu, 8 September 2024

Penguatan Bahasa Arab dalam Pencegahan Radikalisme

Salah satu upaya dalam mencegah ekstremisme dalam beragama adalah dengan pemaknaan katanya. Mengapa demikian? Karena setiap kata menyimpan berabagai macam makna dan penafsiran yang seharusnya bisa saling berkorelasi. Kendati demikian, pemaknaan sebuah kata tidak selamanya berjalan mulus. Sebab, ada beberapa kaidah yang terlewatkan sehingga pemaknaannya justru menimbulkan sebuah problemaktika dalam pemahaman.

Dengan ini, pemahaman ilmu-ilmu kebahasaan sangat diperlukan untuk pemahaman makna itu sendiri. Misalnya, di dalam semoitika yang membahas berbagai macam tanda, leksikologi dalam memahami kedalaman dari kata perkata, dan disiplin ilmu bahasa yang lainnya. Adanya ilmu bahasa bukan semata-mata sebagai pelengkap disiplin ilmu kebahasaan melainkan untuk memahami makna bahasa itu sendiri. Lantas sudah se-faham apa kita dengan ilmu kebahasaan itu?.

Sehubungan dengan ini, banyak problematika dalam ranah sosial yang disebabkan oleh pemaknaan kata. Apalagi jika kita menilik maslah isu-isu radikal yang terkenal dengan istilah takfiri, karena pemahaman kata yang kurang maksimal. Tidak bisa dipungkiri bahwa sumber hukum agama terletak pada teks sehingga pemahaman sebuah teks (red: kata) harus dibarengi dengan ilmu bahasa yang cukup sebagaimana yang sudah disebutkan. Hal ini juga senada dengan penyelesaian matematika yang tidak bisa diselesaikan tanpa adanya rumus.

Kendati dalam pemaknaan bahasa tidak hanya tersimpan makna kebahasaan melainkan terdapat sejumlah emosi yang melengkapi sebuah pemaknaannya. Kesalah fahaman dalam pemaknaan bahasa bisa menjadikan makna itu tidak tersampaikan dengan semestinya. Sehingga, muncullah berbagai faham yang berseberangan dengan nilai-nilai sebelumnya. Hal ini juga yang harus digaris bawahi menyikapi banyaknya aliran-aliran yang cenderung ekstrem dengan berbagai macam tingkah dan perilakunya.

Para ekstemis yang memiliki kecenderungan takfiri dan menganggap yang lainnya salah bisa jadi karena pemahaman teks yang kurang tepat. Karena sejatinya pemahaman teks membutuhkan waktu yang lama. Tapi kenyataannya para radikalis cenderung menggunakan waktu yang sangat singkat dalam memahami agama misalnya memahami sebuah teks/hukum hanya melalui internet. Yakni, youtube, google dan media yang lainnya, hal ini penulis temukan dibeberapa forum yang sengaja penulis ikuti.
Rata-rata, meraka baru menyelami agama selama beberapa bulan, tetapi semangat dakwahnya sudah sangat tinggi, meskipun dengan pengalaman belajar yang sangat singkat itu. Padahal para ulama baik terdahulu maupun masa kini membangun keilmuan secara bertahap dan tentunya dengan waktu yang lama. Karena bangunan dari disiplin ilmu tidak bisa berdiri begitu saja melainkan dengan pondasi dan tiang-tiang yang cukup kuat dan saling menopang.
Dengan demikian, salah satu sebab dari adanya ekstremisme yakni karena minimnya pengetahuan mengenai bahasa, kendati banyak juga aspek lain misalnya faktor ekonomi, politik dan lainnya. Tetapi paling tidak jika seseorang lihai dalam pemaknaan kata maka kekeliruan penafsiran bisa diminimalisir dan tidak mudah mengejawantahkan suatu hal termasuk sebuah teks dan hukum itu sendiri.
Sehingga, diperlukan beberapa sokongan informasi mengenai bahanya dari kesalahpahaman makna, seperti menunjukkan kritisisasi dari teks, membuat narasi yang anti kekerasan yang dinukil dari potongan-potongan teks dan usaha-usaha lain, hal ini juga menjadi peran dari para penggiat-penggiat bahasa (red: bahasa Arab) untuk menyebarkan narasi-narasi anti radikalisme yang bersumber dari sebuah teks. Mengapa demikian? Karena seseorang yang memiliki legalitas sebagai penuntut ilmu atau penggiat bahasa memiliki otoritasnya dalam memahami sebuah teks.
Di sisi lain terdapat pula serangkaian jaringan dan ruang yang bisa me-masifkan penyebaran narasi anti ekstremisme berbasis pemahaman teks. Kemudian, para penggiat bahasa diharapkan mampu menggiring narasi-narasi ekstremis menuju narasi kedamaian, kehangatan dengan otoritasnya tersebut. Sejatinya, penanganan mengenai penanganan dan pencegahan radikalisme dilakukan secara bersinergi. Misalnya, pemerntah yang membuat aturan atau undang-undang, para pengusaha yang membuka lapangan pekerjaan, para akademisi yang memberikan asupan nutrisi pendidikan yang baik dan yang tak kalah penting yakni penggiat bahasa (red: bahasa Arab).
Mulai dari organisasi atau komunitas yang berisi para aktivis bahasa Arab baik mahasiswa tau pengajar. Diharapkan mereka dapat memproduksi terjemah-terjemah yang dimaknai secara kritis tidak laterleg. Sehingga, memunculkan paham-paham yang menyimpang bahkan dari agama itu sendiri sebagaimana yang sudah disebutkan.

Dari sini akan difahami tentang esensi dari sebuah kata dalam bahasa. Lebih dari itu, maka sebuah bahasa akan dimaknai secara kompleks yang disesuaikan dengan berbagai hal seperti lingkungan, sikis, dan tujuannya. Narasi-narasi berbahasa Arab (red: Alquran dan Hadis) seharusnya bisa difahami secara kritis sebagai petunjuk dan sebuah afirmasi dalam hal kebaikkan bukan sebagai pemecah apalagi sebagai alasan untuk adanya pertikaian. Wallahua’lam bishshawab

TERBARU

Konten Terkait